Sejenak Bersama Nabi: Berperan Dengan Kekuasaan

 

Tahun 7-8 hijriyah, adalah tahun di mana Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mulai membangun korespondensi dengan para penguasa dan raja di kawasan, surat-surat dakwah dihantarkan, mulai dari Heraklius di Romawi, Najasyi di Habasyah, Muqauqis di Mesir hingga Kisra di Persia, tidak ketinggalan raja-raja kecil yang menjadi perpanjangan tangan negara-negara adidaya di jazirah Arab.

Tujuan dari korespondensi tersebut adalah menyampaikan risalah dakwah Islam, sekaligus “unjuk gigi” di kancah perpolitikan dunia, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mengerti geopolitik kawasan, sudah saatnya Madinah menjadi negara yang masuk dalam radar percaturan politik negara-negara adidaya. Ringkasnya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam sedang menata roadmap dakwah Islam jangka panjang.

Di tahun-tahun ini, patroli militer kerap terjadi. Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mengutus satuan-satuan kecil kavaleri (sariyah) menyusuri jalur-jalur dagang di sekitar madinah. Memastikan tidak adanya ancaman sekaligus mengontrol wilayah sekaligus memastikan kabilah-kabilah yang telah bergabung kepada Madinah dalam posisi aman, dan yang bersebrangan tidak sedang membangun serangan.

Di satu waktu, satuan sariyah yang diutus Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam di jalur Najd arah Yamamah menangkap seseorang. Kisah lengkap penangkapan ini dicatat di banyak riwayat; al-Bukhari, Muslim, Ahmad dalam Musnadnya, juga kitab-kitab sirah dan tarjamah seperti Sirah Ibnu Hisyam, Ishabah Ibnu Hajar dan Siyar A’lam Adz-Dzahabi. Kisah ini diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Sahdan, para sahabat membawa tawanan tersebut ke Madinah untuk dilaporkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, saat Nabi melihat tawanan tersebut, beliau bertanya, “kalian tau siapa yang kalian tangkap ini?” para sahabat menggeleng, mereka belum sadar bahwa kali ini mereka mendapat tangkapan besar. Tokoh besar Bani Hanifah; Tsumamah bin Utsal pembesar dari Yamamah.

 

Tsumamah: Tertawan, Berislam Lalu Berperan

Mulanya, niat awal keluarnya Tsumamah dari Yamamah adalah ingin menuju Makkah untuk Umrah. Apes. Justru ia tertangkap sariyah yang sedang patroli. ia diikat di salah satu tiang Masjid Nabawi. Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan para sahabat untuk memperlakukan Tsumamah dengan baik, hingga di satu pagi Nabi mendatanginya dan bertanya, “Apa yang kau miliki, Tsumamah?”

Tsumamah jelas memahami posisinya, karena dalam catatan Ibnu Hisyam, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengirim surat melalui utusannya, Salith bin Amr kepada Tsumamah, dan tentu surat itu adalah surat dakwah, mengajak pada Islam atau tunduk pada konstitusi Madinah.

Tsumamah adalah tokoh kaumnya, dengan status bangsawan dan nasab yang mulia, tentu gengsinya tinggi meski sebagai tawanan Nabi. Maka ia menjawab, dengan gertakan sekaligus tawaran

عِنْدِي خَيْرٌ، إِنْ تَقْتُلْ تَقْتُلْ ذَا دَمٍ، وَإِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْمَالَ فَسَلْ تُعْطَ مِنْهُ مَا شِئْتَ

“Aku punya tawaran baik. Jika kau membunuhku, kau membunuh orang yang darahnya akan dibalaskan, jika kau berbuat baik, kau berbuat baik pada orang yang tau berbalas budi, jika kau menginginkan harta, sebutkan saja, kau akan dapat sesuai yang kau inginkan.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam adalah komonikator yang ulung, mengerti cara menghadapi lawan bicaranya, paham psikologi dari sebuah percakapan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam hanya diam, lalu pergi meninggalkan Tsumamah.

Hari kedua, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam datang dengan pertanyaan yang sama, begitu juga di hari ketiga. Adapun Tsumamah masih dengan jawaban yang sama meski dengan urutan jawaban yang berbeda:

وَإِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِر، إِنْ تَقْتُلْ تَقْتُلْ ذَا دَمٍ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْمَالَ فَسَلْ تُعْطَ مِنْهُ مَا شِئْتَ

Jika kau berbuat baik, kau telah berbuat baik pada orang yang tau berbalas budi, Jika kau membunuhku, kau membunuh orang yang darahnya akan dibalaskan, jika kau menginginkan harta, sebutkan saja, kau akan dapat sesuai yang kau inginkan.”

Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam menangkap isyarat bahwa hatinya sudah melunak. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan untuk melepaskan Tsumamah dengan Cuma-Cuma. Tanpa kompensasi sedikut pun.

Ikatan sudah dilepaskan, akan tetapi hati Tsumamah tetap tertawan. Hidayah sudah memenuhi hatinya, iman telah meresap pada sanubarinya. Tiga hari terikat di tiang masjid, ia telah menyaksikan semua keindahan Islam sebagai pedoman kehidupan, hatinya tertawan dengan akhlak mulia Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabat.

Ia bergegas keluar masjid menuju kebun kurma terdekat yang dimiliki kaum Anshar untuk mandi dan kemudian kembali ke Masjid, di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam ia bersyahadat. Menyatakan diri sebagai hamba beriman.

Salah satu karakter orang Arab dahulu adalah kejujuran lisannya, tidak sungkan dan segan mengeluarkan apa yang ada di dalam hatinya, begitu pula dengan Tsumamah radhiyallahu ‘anhu, di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dia berucap:

“Wahai Muhammad. Demi Allah, tidak ada wajah di atas muka bumi yang lebih aku benci melebihin wajahmu, akan tetapi saat ini, tidak ada wajah yang lebih aku cintai melebihi wajahmu. Demi Allah, (sebelum ini) tidak ada agama yang lebih aku benci melebihi agamu, akan tetapi sekarang, agamamu adalah agama yang paling aku cintai. Demi Allah, tidak ada negeri yang lebih aku benci melebihi negerimu ini, tapi sekarang negeri ini menjadi negeri yang paling aku senangi.” HR. al-Bukhari

 

Berperan Dengan Kekuasaan

Tsumamah radhiyallahu ‘anhu melanjutkan niat awalnya untuk Umrah menuju Makkah. Tapi kali ini berbeda, dia datang sebagai muslim yang beriman, ia memasuki kota Mekkah sambil bertalbiyah, dengan cara manasik Umrah yang diajarkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, bukan dengan tradisi ibadah jahiliyah.

Orang-orang Mekkah mengerumuninya, dengan wajah berang dan penuh amarah, melihat Tsumamah sebagai orang luar yang ingin cari gara-gara, sebagian pemuda Mekkah bahkan sudah melepas sarung pedangnya, namun segera diperingati para tetua yang kenal betul siapa Tsumamah  dan bagaimana pengaruhnya.

Tsumamah dengan tenang dan suara yang lantang di hadapan para pemuka Quraisy berkata:

اتَّبَعْتُ خَيْرَ الدِّينِ، دِينَ مُحَمَّدٍ، وَلَا وَاَللَّهِ لَا تَصِلُ إلَيْكُمْ حَبَّةٌ مِنْ الْيَمَامَةِ حَتَّى يَأْذَنَ فِيهَا رَسُول الله عَلَيْهِ وَسلم

“Aku telah mengikuti sebaik-baik agama; agama Muhammad. Dan Demi Allah, tidak akan ada sebiji gandum pun dari Yamamah yang akan sampai kepada kalian, sampai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengizinkannya.” (HR. al-Bukhari dan Ahmad)

Inilah sebaik-baik kekuatan di tangan penguasa yang beriman. Tsumamah dengan kekuatan politiknya berani menyatakan perang ekonomi (baca: boikot) kepada Quraisy. Yamamah adalah produsen gandum utama di kawasan, di mana Mekkah sangat bergantung pada pasokan gandum mereka sebagai sumber pangan bagi penduduk.

Benar saja, sekembalinya Tsumamah ke Yamamah, ia “tanda tangan” embargo ekonomi atas Mekkah. Quraisy kelaparan, rapat darurat digelar dan mereka memutuskan untuk “mengemis” welas asih Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam agar boikot ini segera disudahi.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam iba, terlalu mulia hatinya untuk membiarkan sanak kerabatnya dari musyrikin Quraisy kelaparan sebab sangsi ekonomi dari Yamamah. Meski Mekkah dan Madinah tengah berseteru, tapi Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam ingin memenangkan pertarungan ini dengan menundukkan hati manusia, bukan dengan membinasakannya.

Akhiran, Berperan dalam memperjuangkan Islam itu bisa beragam bentuknya. Tidak selalu sama, tapi punya maksud yang senada. Besar-kecilnya peran seseorang tidak selalu diukur dalam bentuk  satuan angka. Karena peran yang diberikan berbanding lurus dengan kemampuan yang dimiliki. Nilai dari sebuah peran = kapasitas yang seharusnya diberikan.

Setiap kita dalam berperan akan mendapat nilai sesuai porsi yang kita miliki, itulah yang diminta oleh Allah dan Rasul-Nya.

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Beramalah! Maka, Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat amalmu. Kamu akan dikembalikan kepada (Zat) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada kamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025 Himayah Foundation