Mujahid dan Ulama Dua Mercusuar Umat

Mujahid dan Ulama Dua Mercusuar Umat

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah

Manusia tidak mampu memilih tempat dan waktu kematian sesuai dengan yang diinginkan. Akan tetapi manusia diberi pilihan unutk mengupayakan hidup sebagai apa dan mati dalam keadaan bagaimana.

Karena itu, manusia memiliki obsesi, cita-cita dan pilihan hidup yang berbeda-beda. Ada yang menargetkan hanya sebatas dunia, ada lagi yang menjadikan kenikmatan akhirat sebagai tujuan hidupnya.

Dua Mercusuar Umat

Dari sekian banyak pilihan, tak ada yang lebih mulia dari cita-cita seorang mukmin. Allah menyebutkan dua golongan yang menempati garda paling depan dikalangan orang-orang yang beriman dalam firman-Nya :

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah : 122).

Allah menyebutkan dua golongan orang mukmin dengan tugas yang utama, yang dalam bahasa Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “imma lit tafaqquh fieddien wa imma lil jihad,” apakah tugas untuk mendalami ilmu agama, apakah untuk berjihad fie sabilillah. Yang satu menempuh ikhtiar ke derajat ulama, dan yang satu golongan lagi menjadi mujahid fie sabilillah. Ulama menuntun manusia dan menjaga mereka supaya tidak tersesat, sedangkan mujahid menjaga ‘izzah (kewibawaan) ummat dan melindungi mereka dari ancaman musuh.

Adalah anugerah yang agung, ketika pada diri seseorang memiliki dua kelebihan itu, sebagai ulama sekaligus mujahid, seperti mayoritas para shabat radhiyallahu ‘anhum. Di kalangan tabi’in ada Abdullah bin Mubarok yang disebut-sebut sebagai amirul mukminin fil hadits (pemimpin orang-orang yang beriman dalam hal hadits) di zamannya, sekaligus aktif dikancah jihad fie sabilillah. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Setidaknya, cita-cita seorang mukmin tidak lepas dari dua golongan di atas, menjadi mujahid atau ulama. Dua golongan itu senantiasa menjadi mercusuar umat dalam kebenaran, sebagaimana diisyaratkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai tha’ifah (kelompok) pilihan dan dijanjikan selalu ada dari zaman ke zaman.

Adapun tentang mujahid di jalan Allah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Akan senantiasa ada segolongan umatku yang berperang di atas kebenaran hingga tegaknya Hari Kiamat.” (HR. Muslim). Ungkapan ‘laa tazaalu” menunjukkan keberadaan yang terus menerus, dari zaman ke zaman tak terputus. Termasuk hari ini, pastilah ada golongan itu.

Sedangkan tentang ulama, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Akan senantiasa ada segolongan umatku yang konsisten di atas kebenaran, tak akan memadharatkan mereka siapapun yang merendahkan mereka, hingga datang keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Bukhari mengomentari bahwa maksud tha’ifah (segolongan umat) itu adalah ahlul ‘ilmi (ulama) seperti disebutkan oleh Imam an-Nawai dalam Syarh Muslim. Sedangkan Imam Ahmad berkata, “Jika yang dimaksud bukan ahli hadits, maka saya tidak tahu lagi siapa golongan itu.” Golongan kedua ini juga selalu ada di setiap zamannya, termasuk hari ini.

Siapa Lagi Yang Lebih utama?

Dengan jihad, kewibawaan Islam terjaga, ummat terlindungi. Ia merupakan Dziwatu sanamil Islam, puncak ketinggian Islam yang tak semua individu muslim mampu melaksanakannya. Begitu pun dengan sisi keutamaannya, sulit ditandingi dengan amal selainnya. Abu Hurairoh meriwayatkan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah lalu bertanya, “Tunjukkan kepadaku satu amal yang setara dengan jihad.” Beliau menjawab, “Tidak aku temukan.” Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melanjutkan, “Apakah kamu mampu ketika seorang mujahid keluar, saat itu kamu masuk ke dalam masjid lalu shalat terus menerus tanpa terputus, kamu shaum tanpa henti (hingga mujahid kembali)?” Orang itu berkata, “Siapa yang mampu melakukan itu?” (HR. Bukhari).

Adapun dalam riwayat Muslim dengan redaksi yang berbeda, “Perumpamaan mujahid fie sabilillah itu seperti perumpamaan orang yang shaum dan shalat, menaati ayat-ayat Allah, tidak terputus shaumnya, tidak berhenti shalatnya hingga mujahid fie sabilillah kembali.” (HR. Muslim)

Tak ada kematian yang lebih utama dibandingkan orang yang terbunuh di jalan Allah. Bahkan Allah menyebutkan bahwa hakikatnya mereka tidak mati. Mereka hidup dengan mendapat karunia dari Allah. Dosa mereka diampuni saat darah pertama mereka mengalir. Mereka akan diselamatkan dari azab kubur, dikarenakan mahkota kehormatan, dan masih banyak lagi keutamaan mereka yang terbunuh di jalan Allah.

Adapun tentang ulama, bertebaran pula keutamaan mereka disebutkan dalam Al-Quran dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Allah akan mengangkat derajat mereka melebihi yang lain. Mereka adalah pewaris Nabi, dan tak ada warisan yang lebih berharga dibanding warisan para Anbiya’. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggambarkan keutanaan mereka, “Dan sesungguhnya keutamaan ulama dibanding ahli ibadah, seperti keutamaan bulan saat purnama di atas bintang-bintang.” (HR. Abu Dawud).

Subhanallah, jika para ahli ibadah diumpamakan bintang, maka ulama laksana bulan purnama. Ribuan bintang di langit tak mampu mengalahkan terangnya satu bulan purnama. Karena ahli ibadah keutamaannya untuk diri sendiri, sedangkan ulama mampu memberikan faedah kepada orang lain. Nilai ibadah mereka sebanyak ibadah semua orang yang mendapatkanmanfaat dari ilmunya, ditambah ibadahnya sendiri. Karena orang yang menunjukkan pada kebaikan, ia mendapat pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya.

Begitulah keutamaan dua mercusuar umat, selayaknya kita berproses menuju kesana. Yang paling ironi adalah ketika seseorang belum mencapai derajat ulama, belum pernah pula berjihad namun berani mencacat ulama atau merendahkan para mujahid, nas’alullahal ‘aafiyah. Ja’alanallahu wa iyyaakum minal ‘ulama’il ‘aamiliim wa minal mujaahidiina fie sabilihi, aamiin.

Sumber : Majalah ar-risalah edisi 145

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *