Beberapa waktu lalu, Indonesia menjadi tuan rumah KTT Islam Wasathiyah yang dihadiri perwakilan berbagai negara. Pada acara tersebut, Islam Wasathiyah sepakat diterjemahkan sebagai Islam yang moderat. Seolah moderat adalah arti yang pas untuk kata wasathiyah.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada hal yang mesti kita pertanyakan lebih dahulu, yaitu apakah mengartikan Islam wasathiyah dengan Islam moderat adalah terjemahan yang tepat? Untuk mengukur ketepatan terjemahan di atas, ada baiknya kita menggali terlebih dahulu makna wasathiyah di dalam surat Al-Baqoroh, Allah SWT berfirman :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً…
“Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umata wasatha (umat pertengahan) agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian,…” (QS. Al-Baqarah: 143)
Secara Bahasa, kata Wasathiyah berasal dari kata wasatha (وَسَطَ) yang berarti adil atau sesuatu yang berada di pertengahan. Pengertian ini diungkapkan oleh Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayisil Lughah (6/74). Sementara itu, jumhur ulama lain menambahkan bahwa makna wasath juga berarti pilihan (al-khiyar) atau yang paling utama (afdhal).
Dalam kitab tafsirnya, Imam at-Tabari mengartikan makna wasath adalah udulan (umat yang adil) dan khiyar (pilihan). Makna yang sama juga ungkapkan oleh Ibnu Katsir, yang dimaksud ayat 143 al-Baqarah tersebut adalah pilihan dan yang terbaik. (tafsir al-QUrthubi, 2/144, Ibnu katsir, 1/455)
Ibnu Jarir At-thabari menjelaskan, al-wasthu bermakna adil dan juga bisa bermakna pilihan. Sebab, orang yang terpilih di antara manusia adalah yang paling adil di antara mereka. (Tafsir At-Thabari, 3/143)
Al Baghawi dalam tafsirnya, (1/122) menukil dari Al-Kalbi sesungguhnya dia berkata, “Maksud dari ‘Umat pertengahan’ adalah: Pengikut agama yang adil antara berlebih-lebihan dalam beribadah dan teledor dalam menjalankan syariat agama, yang kedua sifat ini amat dicela dalam agama.”
Sementara itu, dalam Tafsir Al-Karim Al-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, (1/66), Imam As-Sa’di menjelaskan tentang umat pertengahan yaitu, ز“Umat yang memiliki sifat adil dan umat yang terbaik. Sebab, bila tidak ada di pertengahan rentan mengarah kepada bahaya. Sehingga Allah menjadikan umat ini umat yang senantiasa mengambil jalan tengah di setiap permasalahan agama. Nabinya nabi yang pertengahan di antara para nabi. mereka berada di pertengahan antara kaum yang berlebih-lebihan dalam beragama sebagaimana kaum Nashrani, dan mereka yang berperangai kasar sebagaimana bangsa yahudi, beriman terhadap apa pun yang datang dari-Nya, tidak membangkang sebagaimana orang Yahudi, dan tidak pula meremehkan sebagaimana orang Nashrani.“
Maka dapat disimpulkan bahwa kata wasatha mengandung dua sifat utama yang tidak bisa lepas darinya, yaitu: udulan (adil); tidak condong ke salah satu dua kutub ekstrem yang berbeda dan khiyar (pilihan, terbaik). Maka ketika disebut ummatan wasatha maknanya adalah umat yang adil dalam bersikap sehingga dipilih sebagai umat yang terbaik di antara umat-umat yang lain.
Pemaknaan ini sesuai dengan makna yang disampaikan oleh Rasulullah SAW ketika ayat 143 Al-Baqarah diturunkan. Karena sifat adil tersebut, Allah menjadikan umat ini sebagai saksi atas umat-umat lain di hari kiamat kelak.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abi Sa’id Al-Khudri Radliyallahu Anhu dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Nabi Nuh Alaihi As Salam dipanggil pada hari kiamat, dikatakan kepada beliau: Apakah engkau telah menyampaikan Riasalhmu? Beliau menjawab: Iya sudah; lalu dipanggillah kaumnya dan ditanyakan kepada mereka: Apakah dia telah menyampaikan risalahnya pada kalian? Kemudian kaumnya menjawab: Tidak ada seorang pun yang datang menyeru kepada kami. Lalu dikatakan kepada Nabi Nuh: Siapa yang bersaksi untukmu? Nuh menjawab: Muhammad dan umatnya, Rasulullah bersabda: Maka yang demikian itu Firman Allah: Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan}. Yang dimaksud umat pertengahan adalah: keadilan. (HR. Bukhari)
Sedangkan untuk memahami istilah Islam moderat, ada baiknya kita membaca sebuah tulisan dari Rand Coorporation yang berjudul “Building Moderate Muslims Network”. Di dalam dokumen rekomendasi tersebut Rand memberikan defenisi Islam moderat.
“Muslim moderat adalah mereka yang (setuju) dan menyebarkan cara pandang nilai-nilai inti demokrasi. Termasuk mendukung demokrasi, dan HAM yang diakui secara internasional (termasuk persamaan gender dan kebebasan beribadah), respek terhada perbedaan, setuju terhadap sumber hukum yang nonsektarian dan menentang terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan yang terlarang lainnya.” (Building Moderate Muslim Networks, hal 66)
Dari pemaparan singkat terhadap profil Islam moderat di atas, kita bisa menyimpulkan dalam bahasa yang sederhana bahwa Islam moderat adalah Islam yang permisif terhadap nilai-nilai Barat yang terbingkai dalam sebuah tatanan yang bernama demokrasi.
Lebih lanjut, perbedaan antara Islam moderat dan Islam radikal menurut mereka terletak pada pemberlakukan syariat Islam. Bagi mereka Islam radikal adalah Islam yang menuntut pemberlakukan syariat Islam yang menurut mereka adalah sumber hukum yang sektarian. Dan Islam moderat adalah mereka yang mampu adaptif dengan hukum-hukum Barat.
Wasathiyah; Menerapkan Syariat Islam Secara Kaffah
Dari sini, kita mendapati perbedaan yang cukup mendasar antara Islam moderat dan Islam washatiyah. Lantas seperti apa gambaran Islam wasathiyah?
Syaikh Abdul Azis Ath-tharifi mengatakan bahwa wasathiyah adalah sebuah kata yang Allah gunakan untuk mensifati umat Islam, oleh karena itu pemahaman wasathiyah harus dikembalikan kepada Allah SWT. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa segala perintah yang ada di dalam Al-Quran dan Sunnah, inilah hakikat dari wasathiyah Islam. Batas-batas wasathiyah itu telah digariskan dalam syariat. (Sumber)
Dalam Tafsir al-Manar, ketika menafsirkan ayat 123 al-Baqarah, Syaikh Rasyid Ridha menjelaskan, “Ayat ini adalah penegasan dari ayat sebelumnya, (…Dialah yang akan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya menuju jalan yang lurus) yaitu; jalannya orang-orang yang adil dalam berfikir, berakhlak dan beramal. Sehingga maksud umat terbaik dan terpilih adalah mereka yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu Wata’ala ke jalan yang lurus.” (Tafsir Al-Manar, 2/5)
Dalam surat al-Fatihah Allah Ta’ala menyebutkan bahwa jalan yang lurus ialah jalan yang bukan seperti orang-orang dimurkai (Yahudi) karena meremehkan syariat dan bukan pula seperti orang-orang yang sesat (Nasrani) karena berlebih-lebihan dalam beragama. Sehingga makna wasathiyah yang tepat di sini adalah adil dalam menerapkan syariat Islam secara totalitas, tidak ada yang dihilangkan atau diselewengkan dari makna yang sebenarnya.
Menariknya, ayat yang menjelaskan kata wasathiyah ini disebutkan oleh Allah ta’ala beriringan dengan ayat perpindahan kiblat. Artinya, ada satu hikmah dimana Allah Ta’ala hendak menjadikan Umat Islam ini memiliki indetitas sendiri yang berbeda dengan umat-umat sebelumnya. Lalu di penghujung ayat itu Allah Ta’ala jelaskan bahwa perpindahan kiblat itu hakikatnya hendak menguji keimanan kaum muslimin, seperti saat kejadian Isra’ Mi’raj, apakah akan mengikuti perintah Allah atau tidak. Allah juga hendak memisahkan secara total antara muslim dan Ahlul Kitab.
“Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah;….” (QS Al Baqarah 2:143)
Kemudian Allah tempatkan ayat tersebut dalam Surat al-Baqarah. Artinya dalam memahami ayat ini, ada konteks yang harus kita pelajari secara keseluruhan. Al-Baqarah adalah surat madaniyah yang diturunkan awal-awal Rasulullah SAW membangun Daulah (negara) di kota Madinah. Sehingga dalam surat ini, Allah Ta’ala menerangkan secara lengkap tentang etika bersosial, pondasi dalam membangun masyarakat yang islami, hukum tatanegara; ada daulah, khilafah (pemimpin), panglima perang, kekuatan pasukan, perjanjian dengan orang-orang kafir dan sebagainya. Karena itu, Syaikh Abdul Badi’ Abu Hasyim menyebutkan, “Surat al-Baqarah adalah surat yang menerangkan metode penegakkan daulah (secara sempurna). Maka siapa saja yang ingin mendirikan daulah yang lurus dan selamat dari intrik politik jahat maka lihatlah petunjuknya dalam surat ini.” (Sumber)
Ketika awal penciptaan manusia, Allah Ta’ala sebutkan bahwa tujuan penciptaannya adalah hendak menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi. Allah Ta’ala ingin bumi ini berjalan teratur sesuai dengan kehendak hukum yang telah ditetapkanNya. Dalam perjalanannya, Allah ta’ala menyebutkan bahwa banyak kaum yang telah dianugerahkan kekuasaan oleh Allah di muka bumi ini. Sebagian di antara mereka ada yang sukses mengemban amanah tersebut, ada pula yang berujung dengan kegagalan. semua itu Allah terangkan dalam surat Al-Baqarah.
Maka bila kita amati secara mendalam, kandungan surat Al-Baqarah ini bisa dikelompokkan menjadi beberapa bagian:
Bagian Pertama: Pada awal surat Al-Baqarah, Allah Ta’ala mengelompokkan jenis manusia di muka bumi ini. Ada yang disebut sebagai orang yang bertaqwa (dijelaskan dalam ayat 1-5), orang-orang kafir (dijelaskan dalam ayat 6-7) dan ada juga yang disebut dengan orang-orang munafik (dijelaskan dalam ayat 8-20)
Bagian Kedua: Allah Ta’ala menyebutkan tentang tiga kisah manusia dalam menjalankan kekuasaan yang diberikan oleh Allah.
Pertama, kisah Nabi Adam ‘alaihis salam yang dijadikan sebagai khalifah pertama di muka bumi. Dalam kisahnya itu, Allah Ta’ala tidak melepaskan begitu saja. Namun Allah mengajarkan kepada beliau ilmu sebagai bekal dalam menjalankan amanah tersebut. Artinya ilmu itu penting sehingga beliau sukses menjalankan amanah tersebut.
Kedua, Allah Ta’ala menjelaskan tentang kisah kegagalan manusia dalam memegang kekuasaan. Yaitu kisah Bani Israil yang diberikan kekuasaan lalu mereka melakukan kerusakan (dijelaskan dalam ayat 40) lalu setelah itu, Allah sebutkan beragam nikmat dan ujian yang mereka rasakan tapi tidak menjadikan mereka tunduk dengan hukum Allah.
Ketiga: Allah ta’ala menunjukkan bentuk kekuasaan yang diamanahkan oleh-Nya lalu dijalankan dengan sempurna. Permisalan yang disebutkan adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” (Al-Baqarah; 125) tiga kisah ini menunjukkan kepada kita bagaimana peran khalifah yang diinginkan Allah Ta’ala di muka bumi ini.
Bagian ketiga: Allah ta’ala menjelaskan tentang perintah dan larangan yang harus diperhatikan manusia agar menjadi umat wasathan sebagaimana yang di sebutkan di dalam ayat. Pada bagian ini terdapat beberapa bentuk penjelasan yang difirmankan Allah. Setelah Allah memulai juz 2 dengan mensifati bahwa umat ini umat wasathan. Allah menjelaskan beberapa kewajiban syariat yang harus mereka lakukan agar mereka berhak mendapat gelar tersebut.
Pertama: menjelaskan tentang ujian manusia terhadap ketundukannya kepada syariat, yaitu perintah pemindahan kiblat (Al-Baqarah, 143-144), kedua: penjelasan konsep reformasi yang menyeluruh (Al-Baqarah; 177), ayat ini Allah menyebutkan bagaimana menciptakan hidup yang lebih baik; beriman kepada Allah dan perkara ghaib, mendermakan harta, menepati janji, sabar, jujur dan bertaqwa. Seolah-olah sampai di titik ini, umat ini sedang dilatih untuk tunduk dengan syariat, kemudian memperbaiki diri dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan.
Selanjutnya Allah Ta’ala menjelaskan tentang perintah dan larangan yang terkait dengan perbaikan sosial. Mulai dari penyelesaian masalah hukum kriminal (al-Baqarah 179), pembagian warisan (al-Baqarah: 180), jihad dan infak (Al-Baqarah 190-191), hukum seputar haji (Al-Baqarah 196-200) kemudian dilanjutkan dengan perintah untuk menegakkan ajaran islam secara kaffah (menyeluruh) (Al-Baqarah; 208). Berikutnya, Allah Ta’ala jelaskan hukum seputar keluarga; nikah, thalaq, khulu’, ‘iddah, larangan riba dan sebagainya. Hampir semua pesan tersebut ditutup dengan perintah untuk selalu bertaqwa.
Lalu di penghujung surat, Allah sertakan beberapa kisah perjuangan para nabi. Diawali dengan perjuangan Thalut melawan Jalut, Nabi Ibrahim berhadapan dengan Namrud, kisah laki-laki yang dimatikan beberpa saat lalu dihidupkan lagi dan kisah Nabi Ibrahim yang menghidupkan seekor burung. Semua itu menunjukkan tentang kekuasaan Allah Yang Maha Menghendaki segala sesuatu. Lalu mengapa kita takut dan ragu menegakkan syariatNya secara kaffah, sementara Allah Ta’ala sendiri sudah cukup nyata menunjukkan kekuasaanNya.
Pada akhirnya, Umat Islam harus sadar dengan perannya yang dijadikan oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Ada manhaj dan undang-undang yang diturunkan oleh Allah Ta’ala, komprehensif dan mencakup semua lini kehidupan; ibadah, pendidikan, ekonomi, politik, budaya dan seterusnya. Untuk menjadi ummatan wasatahan (washatiyah), kita dituntut untuk mengamalkannya secara kaffah. Tidak ada yang diremehkan atau diselewengkan seperti orang Yahudi dan tidak juga dilebih-lebihkan seperti orang Nasrani. Wallahu a’lamu bissowab
Penulis: Fakhruddin-kiblat.net