Apakah Nasionalisme Sejalan Dengan Islam??
Oleh: Abu Athif, Lc –غفر الله له ولواديه-
Secara bahasa kata nasionalisme berakar pada kata nation yang berarti bangsa, sementara isme bermakna sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial atau ekonomi[1]. Secara terminologi, nasionalisme berarti paham yang menciptakan dan mempertaruhkan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional. Nasionalisme juga diartikan sebagai rasa ingin mempertahankan negaranya, baik dari internal maupun eksternal[2]. Dalam bahasa Arab ideologi seperti ini diistilahkan dengan الوطنية (al wathoniyyah).
Unsur mendasar dan terpenting dalam ideologi nasionalisme ini adalah membangun loyalitas berdasar atas identitas bersama dalam kebangsaan dan tujuan politik bersama. Akar sejarah munculnya ideologi ini tidak terlepas dari sejarah penandatanganan perjanjian Westphalia di abad 17 masehi di daratan Eropa yang mengakhiri 30 tahun konflik berdarah di tengah mereka. Perjanjian tersebut menetapkan batas teritorial tetap setiap negara dan menetapkan gagasan bahwa rakyat harus tunduk pada undang-undang dan tindakan pemerintah masing-masing[3].
Dalam perjalanannya, ideologi nasionalisme dibawa dan disebarkan ke wilayah kaum muslimin oleh para kolonialisme barat. Tidak diragukan lagi, bahwa tujuan utama penyebaran paham ini adalah menggerogoti kedaulatan khilafah Turki Ustmani. Pelan namun pasti, satu demi satu wilayah kaum muslimin yang terintegrasi dalam konsep keumatan khilafah islamiyah mulai memudar. Berkedok “cinta tanah air dan bangsa” ideologi ini berupaya memecah-belah persatuan umat Islam hingga gol settingnya berakhir seperti saat sekarang ini. Masing-masing suku, bangsa dan ras mengklaim memiliki wilayah otoritas sendiri yang tidak boleh diganggu kedaulatannya oleh pihak lain. Sejak saat itulah mulai muncul tatanan peradaban baru berbentuk negara bangsa (Nations State).
Dari sinilah pentingnya kita mencermati bersama secara lebih kritis, apakah nasionalisme sejalan dengan Islam ataukah bertentangan? Apa benar ada nasionalisme dalam Islam? Apakah benar jika loyalitas tertinggi diberikan kepada bangsa dan negara? Dari pertanyaan-pertanyaan inilah tulisan sederhana ini mencoba untuk memberikan pencerahan. Semoga Allah ta’ala memberikan taufiq dan hidayah kepada kita semua.
Loyalitas tertinggi untuk Alloh atau bangsa ?
Dalam doktrin nasionalisme, loyalitas tertinggi diberikan kepada bangsa dan negara. Karena esensi nasionalisme adalah rasa cinta yang dalam terhadap bangsa dan tanah airnya[4]. Dari sikap inilah setiap warga negara dituntut untuk selalu membela bangsanya secara buta. Dengan ungkapan lain “Right or wrong, it’s my country”. Itulah semboyan nasionalisme.
Sementara dalam Islam, sikap loyalitas yang menggambarkan ketaatan dan kepatuhan diberikan secara keseluruhan kepada Allah ﷻ Robb semesta alam. Demikian pula dengan kecintaan tertinggi dan paling dalam juga diberikan hanya kepada-Nya semata. Inilah yang menjadi esensi ajaran Islam. Beberapa ayat Al Quran telah menyebutkan tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin memberikan loyalitas dan kecintaannya, di antaranya dalam firman-Nya:
﴿إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55)﴾ -المائدة-
Artinya: “Sesungguhnya yang menjadi wali kalian adalah Alloh, Rosul-Nya dan orang-orang yang beriman yang senantiasa mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan mereka ruku’ (tunduk kepada Allah)”. [QS. Al Maidah: ayat 55]
Secara tegas ayat ini menjelaskan bahwa yang berhak untuk diberikan loyalitas (perwala’an) dan dedikasi hanya untuk Allah, kemudian rosul-Nya dan kaum mukminin. Setelah sebelumnya Allah memberikan larangan keras memberikan loyalitas kepada musuh-musuh-Nya dari kalangan yahudi dan nashrani[5]. Selanjutnya tentang masalah cinta teragung dan terdalam bagi seorang mukmin adalah diberikan hanya kepada Allah. Sebagaimana yang tertuang dalam firman-Nya:
﴿وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ (165)﴾ -البقرة-
Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat) bahwa kekuatan itu semuanya hanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal). [QS. Al Baqoroh: 165].
Kata أنداد adalah bentuk plural dari نِدٌّ yang memiliki arti sesuatu yang menyamai atau semisal dalam keagungan ataupun peperangan. Bagi bangsa Arab istilah ini sering dipakai dalam konteks tandingan yang menyerupai lawannya[6]. Dalam ayat ini kata ندّ lebih dimaknai sebagai sesembahan atau perkara yang lebih diagungkan sebagai tandingan bagi Allah ﷻ [7]. Dari sini kita bisa memahami bahwa perbedaan yang paling mendasar antara orang beriman dan orang kafir adalah dalam meletakkan kecintaan. Orang-orang kafir lebih mencintai apa yang mereka agungkan sementara orang beriman lebih mencintai Allah dari pada selain-Nya.
Menyangkut masalah loyalitas dan cinta, Islam telah menjadikan Allah dan Rosul-Nya menjadi yang tertinggi. Selain dari pada itu harus diletakkan sebagai bagian yang pelaksanaannya dalam koridor ketaatan dan kepatuhan kepada Allahﷻ. Di sinilah ikatan loyalitas dan cinta terbentuk karena landasan iman kepada-Nya bukan karena faktor lain.
Sementara dalam nasionalisme, loyalitas tertinggi hanya untuk bangsa dan tanah air. Ibadah kepada Allah dijadikan sebagai bagian penopang ideologi kebangsaan. Dari poin inilah, nasionalisme dianggap oleh Emile Durkheim dalam hipotesanya sebagai “agama baru” dalam masyarakat modern, karena dianggap mampu menjadi integrator masyarakat majemuk tatkala hubungan-hubungan sosial semakin terasa longgar dan sangat berbau materialis.[8]
Dari akar dan landasan pemikiran dalam masalah loyalitas tertinggi ini agaknya sulit dan bahkan mustahil untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara Islam dan nasionalisme. Kalaupun terjadi, bisa dipastikan ideologi Islamlah yang akan dikurangi porsinya dan dibajak untuk membenarkan tandingannya. Karena keduanya membutuhkan totalitas, sementara Islam tidak bisa diduakan dengan yang lain.
Bagi orang muslim, ketika dihadapkan dengan dua pilihan antara loyal kepada Allah atau nasionalisme, maka sudah barang tentu dirinya akan lebih memilih Allah ﷻ dibandingkan dengan yang lainya. Saat nasionalisme mengajak untuk menyerahkan jiwa dan raga demi negeri dan bangsa, maka bagi seorang muslim loyal kepada Allah adalah harga mati yang tidak dapat digantikan dengan yang lain, sebagaimana yang diikrarkan :
﴿قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162)﴾ –الأنعام-
Artinya: “Katakanlah, sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Robb semesta alam”. (QS. Al An’aam: 162).
Apakah nasionalisme ekuivalen dengan cinta tanah air ?
Sudah dimaklumi bersama bahwa jargon yang sering kali dimunculkan dalam nasionalisme adalah cinta tanah air dan bangsa. Namun semboyan ini tidak serta merta mencerminkan realitanya. Hari ini bisa kita lihat orang-orang yang sering menyuarakan nasionalisme dan cinta tanah air ternyata berani berkhianat terhadap bangsanya sendiri dengan menjual aset-aset negara dan bahkan mengorbankan anak bangsa yang dibungkus dengan dalih kepentingan nasionalisme.
Indoktrinasi nasionalisme di tengah masyarakat yang masif digelar menjadikan akal fikiran tumpul untuk mendeteksi gerak-gerik pengkhianatan berdalih cinta tanah air dan bangsa. Sering kali rakyat dan sumber daya alam menjadi tumbal nasionalisme oleh kalangan elit politik. Hal tersebut bisa dilihat dengan munculnya permasalahan seperti terusirnya jutaan pengungsi Rohingya Arakan dari tanah kelahiran mereka di Myanmar dan ratusan ribu warga sipil yang terbantai di Suriah oleh rezim penguasanya sendiri. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa nasionalisme tidak lebih sebagai pintu pembuka chauvanisme.
Dalam Islam, cinta tanah air tidak berdiri sendiri. Rasa cinta tersebut haruslah terbingkai dalam kecintaan kepada Allah ﷻ dan loyalitas kepada-Nya. Sebuah pelajaran penting yang diajarkan oleh Nabi tentang bagaimana mencintai tanah air, adalah saat beliau mengungkapkan kesedihannya ketika harus berhijrah meninggalkan Makkah menuju Madinah:
مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ ، وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ ، وَلَوْلاَ أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ –رواه الترمذي-
Artinya: “Tidak ada negeri yang lebih baik dan lebih aku cintai melebihi darimu (wahai Makkah), kalau bukanlah karena kaumku yang mengusirku darimu niscaya aku tidak tinggal selain engkau (wahai Makkah)”. (HR. Tirmidzi)
Ungkapan tersebut tidaklah menjadikan cinta tanah air sebagai tuhan baru. Melainkan sebagai wujud tanggung jawab untuk menjaga tanah air dengan syari’at Allah ﷻ. Sudah menjadi perkara yang diketahui oleh khalayak banyak bahwa terusirnya Nabi dari negerinya karena misi dakwah tauhid yang mengajak manusia kepada peribadatan hanya kepada Allah ﷻ semata.
Spirit tauhid inilah yang mendorong Nabi ﷺ dan kaum muhajirin untuk kembali menyucikan kota Makkah dan membersihkannya dari kotoran-kotoran syirik. Tepat di tahun ke-8 hijiriyah kaum muslimin berhasil mengembalikan kota Makkah sebagai kota suci yang menerapkan konsep tauhid. Dari perjalanan perjuangan dakwah Nabi ﷺ ini, umat Islam harus memahami bahwa cinta tanah air bukan menjadikannya sebagai sesembahan baru melainkan menjadi bagian cinta kepada Allah ta’ala dengan merealisasikan otoritas kedaulatan tertinggi hanya milik-Nya.
Akhirnya hanya kepada Allah ta’ala kita memohon agar kaum muslimin dijauhkan dari pemikiran dan pemahaman yang menyimpang dari aqidah Islam. Sholawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ beserta keluarganya dan para sahabatnya serta para pengikutnya hingga akhir zaman nanti. Wallohu a’lam bis showab.
[1] https://kbbi.web.id/-is%20isme
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme
[3] K. Mustarom, Akhir Negara Bangsa, Syamina, edisi; 10, Agustus 2017
[4] Sutarjo Adisusilo, Drs., S. Th., M. Pd., Nasionalisme – Demokrasi – Civil Society, hal 3
[5] Abu Muhammad Makki bin Abi Tholib al Qoisi, al Qurthubi, al Hidâyah ilâ buluh al nihayah (Jami’ah al Syâriqoh, cetakan I, tahun 1429 H) juz 3 hal 1786
[6] Muhammad al Thohir bin Muhammad bin ‘Asyur al Tunisi, Al Tahrir wa al Tanwir (Tunisia: al Dâr al Tunisiyah lil al Nasyr, t.c, tahun 1984 M) juz 1 hal 334
[7] Muhammad bin Jarir Ath Thobari, Jâmi’ al Bayân fii ta’wiil al Qurân (Muassasah al Risalah, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, cetakan I, tahun 1420 H) juz 3 hal 279
[8] Sutarjo Adisusilo, Drs., S. Th., M. Pd., Nasionalisme – Demokrasi – Civil Society, hal 2