Penulis :Ust. Fajar Jaganegara M.HI
Imam al-Bukhari meriwayatkan kisah dua sahabat mulia yang telah dipersaudarakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam; Abu Darda’ dan Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhuma. Suatu waktu Salman datang mengunjungi Abu Darda’, hal yang biasa dilakukan para sahabat untuk mengetahui kabar saudaranya yang lain setelah terpisah tidak bertemu sekian waktu karena kesibukan dan berbagai urusan.
Salman mendapati hal yang janggal dalam kunjungan tersebut, Istri Abu Darda’; Khairah bin Abi Hadrad al-Aslami atau yang lebih dikenal dengan Ummu Darda’ al-Kubra tampak kusut masai, terpahat letih dan sedih di wajahnya.
“Saudarammu sudah tidak hajat pada dunia!” kalimat itu meluncur deras dari lisan Ummu Darda’, sebuah sebab yang membuat keadaannya jadi seperti yang terlihat.
Sahdan. Salman menemui Abu Darda’, pertemuan hangat dua saudara yang diikat dengan persaudaraan iman, mereka saling melempar tanya, berbagi kabar berita, bertukar senyum dan tawa, hingga akhirnya makanan dihidangkan, dan tampak gelagat bahwa Abu Darda’ tidak ingin memakannya, “Aku sedang Puasa” jelasnya.
Salman mulai paham apa yang dikatakan istri Abu Darda soal suaminya, “Aku tidak akan makan sampai kau juga ikut makan” jelas Salman, meminta Abu Darda’ membatalkan puasanya. Dengan berat hati, Abu Darda’ akhirnya membatalkan puasa dan ikut makan bersama.
Kebersamaan tersebut berlanjut hingga malam, Salman memutuskan untuk menginap di rumah sahabatnya, hingga tiba waktunya untuk rehat, Abu Darda’ bangkit untuk mengerjakan shalat, padahal malam masih berada di paruh pertama.
“Tidurlah! kau bisa shalat nanti saat sepertiga malam yang akhir.” Tukas Salman. Akhirnya Abu Darda’ juga mengalah. hingga di seperti malam yang akhir mereka shalat bersama. Setelah jelas duduk perkara apa yang menggelisahkan Ummu Darda’ akan sikap suaminya, Salman akhirnya bicara memberi nasehat saudara terkasihnya,
إنَّ لنَفْسِكَ عليكَ حقًّا، ولِرَبِّكَ عليكَ حقًّا، ولِضَيْفِكَ عليكَ حقًّا، وإنَّ لِأهلِكَ عليكَ حقًّا؛ فأَعْطِ كلَّ ذي حقٍّ حقَّهُ
“Sesungguhnya ada hak (yang harus dipenuhi) untuk dirimu, juga ada hak untuk Rabbmu, juga ada hak untuk tamumu, begitupun juga ada hak untuk keluargamu, maka berikanlah porsi yang sesuai untuk setiap haknya” (HR. Al-Bukhari)
Kemudian keduanya pergi mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, mereka ceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan yang mengganjal di hati. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mengatakan, “Salman lah yang benar”
Berlebihan itu Bukan Sunnah
Allah mencintai ketaatan hamba-Nya, dan Allah ridha dengan setiap kebaikan serta ibadah yang dilakukan untuk-Nya. Itu benar. Tapi Allah juga tidak membenarkan setiap ibadah yang berlebihan hingga akhirnya mencederai kewajiban lainnya. Sebagaimana kisah di atas, ibadah yang dilakukan Abu Darda tentu baik dan berpahala, akan tetapi hal tersebut menjadi tidak baik saat mencederai hak istrinya untuk diperhatikan, hak tamunya untuk dimuliakan, inilah yang menjadi titik kritik Salman al Farisi pada sahabatnya tersebut. Dan hal tersebut dikomfirmasi oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam sebagai jawaban dan tindakan yang tepat.
Dalam kisah lainnya, Imam Ahmad dalam Musnadnya juga Abu Daud dalam sunannya meriwayatkan dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang tekad sahabat Utsman bin Madz’un radhiyallahu ‘anhu yang ingin melakukan tabattul; membujang, tidak ingin lagi mendatangi istrinya. Hingga akhirnya kabar tersebut terdengar di telinga Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.
“Apakah kau membenci sunnahku?” tajam pertanyaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam kepada Utsman atas sikapnya tersebut, sebuah isyarat yang pekat bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam tidak setuju jalan yang ingin dia ambil. “Justru sunnahmu yang aku ingin tiru, Ya Rasulullah.” Jawab Utsman membela diri, ia mengira dengan menjauhi dunia dan fokus beribadah adalah jalah yang diridhai Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Nyatanya tidak.
“Sesungguhnya aku tidur dan aku shalat, aku berpuasa juga berbuka, akupun menikahi para wanita…” kalimat Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam lugas dan tegas, pesan keseimbangan soal dunia-akhirat menjadi poin yang perlu digaris bawahi oleh Utsman bin Madz’un.
“…Bertaqwalah kepada Allah, ya Utsman. Sesungguhnya keluargmu memiliki hak atas dirimu, pun termasuk tubuhmu juga memiliki hak yang sama, berpuasa dan berbukalah, shalat dan tidurlah.”
Proporsional itu Ideal
Seimbang itulah ajaran Islam. Proporsional artinya pertengahan, tidak doyong pada dua sisi lainnya. Proporsional juga maknanya tidak berlebihan juga tidak kekurangan; Tidak Ifrath juga tidak tafrith.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, di suatu malam mendatangi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sedangkan di sampingnya ada seorang wanita yang sedang shalat malam sepanjang suntuk dan tidak tidur, maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mengoreksi sikapnya tersebut,
فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا، قَالَتْ: وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينَ إِلَيْهِ الَّذِي يَدُومُ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ،
“Hendaklah kaliam beramal sesuai yang kalian mampu. Demi Allah, Allah tidak akan bosan sampai kalian sendiri merasa bosan.” (HR. Abu Daud)
Allah menjadikan cara untuk bertaqarrub dengan-Nya itu mudah, tidak dibuat susah. Dan agama ini memandu setiap hamba sesuai dengan apa yang dia mampu, maka siapa saja beramal tanpa panduan pasti akan berguguran dan berjatuhan.
Istiqomah dalam taat itu ada seninya, seni mengelola hati agar terus bisa dinikmati dan dihayati. Bersikap moderat dalam taat adalah kunci untuk terus bisa membersamai sebuah amal hingga datangnya ajal. Dan tidak lupa meminta agar dikuatkan dan diistiqomahkan dalam amal adalah cara agar Allah berkenan terus membersamai dan meridhai.
Dawuh Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama ini mudah. Tidaklah seseorang berlebih-lebihan dalam urusan agama melainkan dia akan kalah (tidak mampu menyempurnakan amalnya). Sebab itu, hendaklah kalian melakukan yang seharusnya atau berusahalah mendekati (sempurna), serta bergembiralah (atas pahala) dan mohonlah pertolongan kepada Allah di waktu pagi, sore, dan sebagian malam hari (untuk melakukan ketaatan).” (HR.Bukhari)






