Sejenak Bersama Nabi: Harga Untuk Menjadi Kekasih Allah

 

Ini adalah kisah berusia ribuan tahun, entah kapan persisnya peristiwa ini terjadi, tapi keteladanan dalam kisah ini; tentang ketaatan, berserah diri, dan cinta seorang hamba pada Tuhan-Nya adalah sebuah nilai keteladanan abadi. Membahasnya tidak akan pernah bosan, ceritanya tidak akan pernah usang diulang. Mari reguk manisnya hikmah dari kisah ribuan tahun ini.

Adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihi salam, bapak para Nabi, namanya disebut dalam keabadiaan al-Quran tidak kurang dari 69 kali penyebutan, potret-potret kisah hidupnya direkam dalam banyak peristiwa, bahkan sebuah surat khusus dinamakan dengan namanya. Allah menyebutkan kehidupannya sebagai millah dan kisahnya sebagai uswah.

Nabi Ibrahim ‘Alaihi salam disebut sebagai Sang Kekasih (الخليل), sematan sifat yang istimewa pada seorang hamba, disebut kekasih karena cintanya pada Allah tidak memiliki tanding dan banding. Ibnu ‘Asyur rahimahullah saat menafsirkan penggalan ayat 125 dari surat an-Nisa:

وَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا

“Allah telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya.”

Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasihnya, Jelas Ibnu ‘Asyur, sebagai sebuah deklarasi ilahi bahwa Allah sangat meridhai Ibrahim sebagai hamba-Nya. Dan capaian menjadi kekasih Allah, jelas as-Sa’di, diraih oleh Ibrahim ‘alaihi salam dengan ketundukan dan kepatuhan yang sempurna atas setiap perintah-Nya, serta sabar dan ridha untuk setiap ujian-Nya.

 

Ujian Cinta: Kepatuhan dan Pengorbanan

Setiap hamba bisa dengan mudah menyatakan cintanya hanya pada Allah, hanya untuk Allah. Tapi seperti petikan syair,

كُلٌّ يَدَّعِي وَصَلاً بِلَيْلَى … وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا

Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila

Namun Laila tidak mengakui mereka.

Maka untuk menggugurkan klaim-klaim cinta para hamba tersebut Allah menjadikan ujian sebagai tolak ukur kejujuran dan ketulusan cinta para hamba pada-Nya. Allah berfirman:

اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2)

Adapun Sang Khalil Ibrahim ‘Alaihi salam punya rekam jejak mencintai yang tidak biasa. Sangat istimewa. Salah satu episode paling menggugah adalah perintah untuk mengorbankan sang putra.

Ibrahim ‘alaihi salam berumah tangga hingga usianya senja, tapi belum juga memiliki putra. Permohonannya atas anak diabadikan di dalam al-Quran sebagai sebuah munajat yang penting untuk dimintakan kepada Allah, yaitu meminta keturunan yang shalih.

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ

(Ibrahim berdoa,) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang saleh.” Maka, Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak (Ismail) yang sangat lapang jiwanya.” (QS. Ash-Shaffat:100-101)

Dalam keterangan Ibnu Katsir, Nabi Ibrahim ‘alaihi salam memanjatkan doa ini paska ia diselamatkan dari kaum durhaka di negeri Babil, maka ia meminta kepada Allah keturunan yang bisa membantunya untuk berdakwah dan menghamba kepada Allah. Maka Allah karuniakan ia Ismail ‘alaihi salam dari pernikahannya dengan Hajar, dan saat itu usianya menginjak 86 tahun.

Mari sejenak membayangkan raut wajah bahagia seorang ayah yang telah menanti begitu lama akan hadir sang buah hati, bagaimana perasaan membuncah dalam jiwanya, penuh dengan cinta dan kasih pada sang putra yang baru saja dilahirkan.

Tapi di saat perasaan cinta itu berbunga, di saat itu pula ujian tiba. Allah perintahkan Sang Nabi untuk membawa ibu dan anaknya yang masih bayi merah untuk menjauh ribuan kilo di sebuah tempat gersang berbatu dan tidak berpenghungi; lembah Mekkah yang dimuliakan.

Patuh dan taat. Ibrahim menjalankan perintah tersebut, ia antar sang istri dan bayinya menyususi jalan panjang melelahkan menuju lembah Mekkah. Sesampainya di sana, segera ia tinggalkan keduanya, tanpa kata dan salam perpisahan, tanpa penjelasan dan tujuan.

Hajar yang kebingungan mengejar meminta penjelasan, Ibrahim tidak bergeming, akhirnya Hajar hanya memastikan satu hal, “apakah Allah yang memerintahkan ini?” Ibrahim ‘Alaihi salam menjawab “iya”. Maka sang Istri memastikan, “Kalau begitu, kami tidak akan disia-siakan.”

Mari sejenak menikmati episode mengharu biru tersebut. Cinta seorang ayah pada keluarganya dikalahkan dengan cinta pada pencipta-Nya. Itulah harga yang ditebus Ibrahim ‘alaihi salam untuk membuktikan cintanya kepada Allah.

 

Ujian Itu Akan Datang Lagi

Ibrahim dan Ismail ‘alaihi salam, sebagai ayah dan anak tidak punya kesempatan bersama yang cukup, Ismail hidup bersama ibunya di lembah Mekkah, sedangkan Ibrahim tinggal di Syam menjalankan tugas menyampaikan risalah.

Salah satu kebahagian Ibrahim ‘alaihi salam atas putrnya tersebut adalah ia bisa mendapatinya tumbuh dewasa, menjadi putra yang menyejukkan mata. Namun saat itu terjadi, ujian itu datang kembali, imtihan kepatuhan itu Allah hadirkan lagi.

Allah mengabadikan kisah pengorbanan ini dengan sangat ingah dan menggugah,

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

“Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (QS. Ash-Shoffat:102)

Ujian dua arah, sang ayah diperintah untuk menyembelih belahan jiwanya, sang anak diuji kepatuhannya atas perintah. Keduanya menunjukkan ketundukan yang menakjubkan. Syaikh Abdul Karim Zaidan dalam bukunya al-Mustafad min Qashashi al-Quran membagikan ketakjubannya atas kisah ini,

“Demi Allah, aku tidak tau mana yang lebih menakjubkan dari kisah ayah-anak ini. Apakah dari sisi sang ayah; Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, yang menerima dan menjalankan perintah untuk menyembelih putranya dengan tangannya sendiri yang tidak akan mampu diterima oleh manusia lain, ataukan pada kepatuhan sang anak; Ismail ‘Alaihi salam, yang dengan teguh dan sabar menerima tanpa ada keraguan, penentangan dan pertanyaan sedikit pun! Jawabannya jelas dan tegas, ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, insyaAllah kau akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar.”

Syahdan, dari sepenggal episode kisah Sang Khalil ‘alaihi salam, kita belajar pelajaran mahal dan besar, bahwa harga untuk menjadi kekasih Allah itu tidak mudah dan murah. Ujiannya bertubi-tubi, jalannya berliku-liku, pengorbanannya berkali-kali, harus patuh tanpa tapi, siap untuk terluka dan mengorbankan apapun yang kita cinta hanya untuk-Nya.

Akhiran, ada satu kalimat yang pernah saya baca tapi lupa entah di mana, bahwa setiap kita adalah “Ibrahim” dengan “Ismail” yang berbeda, dan setiap kita tengah diuji untuk menyembelih “Ismail” kita sendiri, dan Allah sedang melihat sejauh apa keberanian kita untuk berkorban, dan seberapa tulus kepatuhan kita pada setiap perintah dan aturan-Nya dalam kehidupan.

Setiap kita menanti pengakuan atas ketundukan dan kepatuhan yang kita lakukan, sebagaimana pengakuan itu telah Allah tunjukkan kepada kekasihNya Nabi Ibrahim ‘alasihi salam,

قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

“Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ash-Shoffat:105)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025 Himayah Foundation