Gambaran sifat terpuji adalah sesuatu yang ketika jumlahnya banyak maka dia tidak akan bernilai murah dan membosankan. Sebaliknya, ia bagaikan candu dan berdaya tarik, ia memikat hati siapa saja yang melihat para pemilik sifat yang terpuji ini.
Demikian karena sifat terpuji merupakan sebab lahirnya kebaikan dari diri seorang hamba, pun akan melahirkan kebaikan kolektif jika dimilki oleh segenap insan dalam kehidapan masyarakat dan bangsa. Itulah alasan Nabi Muhammad diutus kepada manusia, untuk menyempurnakan akhlak dan menyebarkan sifat-sifat terpuji sebagai rahmat bagi seluruh alam, beliau bersabda:
انما بعثت لاتمم صالح الأخلاق
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untyk menyempurnakan kesalehan akhlak” (HR. Ahmad)
Dari sekian banyak sifat terpuji yang dianjurkan oleh syariat dan sangat ditekankan kepada umat, salah satunya adalah sifat menunaikan amanah. Para ulama mendefinisikan amanah sebagai segala sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk ditunaikan dan dijaga sesuai dengan ketentuan yang semestinya. Al-Qur’an menyebutkan kewajiban manusia untuk selalu menunaikan amanah. Allah berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya.(an-Nisa:58)
Syaikh Abdurahman as-Sa’di menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan hambanya untuk menunaikan amanah dengan sempurna dan sebaik-baiknya, tidak terkurangi maupun juga ditunda tunda, baik berupa amanah kepemimpinan, harta, rahasia atau kebaikan lainnya. Para fuqaha menjelaskna bahwa siapapun yang diberi kepercayaan (amanah) maka wajib untuk menunaikannya (Tafsir as-Sa’di)
Baik dalam al-Quran maupun hadits Nabi, dijelaskan bahwa perilaku amanah merupakan tanda kesempurnaan iman seseorang, sedang lawannya adalah sifat khianat yang merupakan tanda dari kemunafikan. Allah berfirman:
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ
Artinya: (Sungguh beruntung orang-orang beriman) orang-orang yang memelihara amanat dan janji mereka. (al-Mukminun: 8)
Rasulullah bersabda:
لا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ.
Artinya: “Tidak sempurna keimanan bagi orang yang tidak amanah, dan tidak sempurna agama seseorang bagi yang tidak memenuhi janji.” (HR Ahmad)
Beliau juga bersabda:
آية المنافق ثلاث : إذا حدث كذب ، وإذا وعد أخلف، وإذؤتمن خان.
Artinya: “Tanda-tanda orang Munafiq ada tiga: Apabila berkata dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila diberi amanat berkhianat”. (HR. al-Bukhari)
Menjaga Amanah Allah dan Amanah Manusia
Dalam kitab Taisir al-Khallaq fi ilmi al-Akhlaq, Syaikh Hafidz Hasan al-Mas’udi mengategorikan amanah kedalam dua hal, yaitu; amanah dalam menunaikan hak-hak Allah dan amanah dalam menunaikan hak-hak manusia.
Senada dengan itu, Imam ar-Razi pun menjelaskan bahwa bentuk interaksi manusia baik dengan Rabbnya, dengan sesama hamba, maupun kepada diri sendiri mengharuskan untuk memelihara amanah dalam ketiganya. (Tafsir al-Kabir: 111)
Wujud menunaikan amanah kepada Allah adalah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Shalat, puasa, sedekah, serta amal baik lainnya, dan sebaliknya, menjauhi perbuatan seperti zina, mencuri, meminum khamr, dan berbagai keburukan lainnya merupakan bentuk nyata seorang hamba dalam menunaikan amanah kepada Allah. Dalam hal ini, amanah kepada Allah adalah bagian dari makna takwa, yang mencakup kepatuhan dan kesadaran akan kewajiban seorang hamba kepada Allah.
Adapun wujud menunaikan amanah manusia bisa berupa amanah harta ataupun selainnya, seperti menjaga barang titipan dan mengembalikannya, tidak mencurangi takaran, timbangan, dan ukurannya, menjaga dan tidak menyebarkan rahasia dan aibnya, serta berkata jujur.
Termasuk juga persoalan yang amat penting yaitu menjaga amanah kepemimpinan umat dan rakyat. Dalam hadits dari Abu Dzar al-Ghifari:
عن أبي ذرٍ رضي الله عنه، قال: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَىَ مَنْكِبِي. ثُمّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرَ إنّكَ ضَعِيفٌ وَإنّهَا أَمَانَةٌ، وَإنّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إلاّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقّهَا وَأَدّى الّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Dari Abi Dzar berkata, “Aku berkata, wahai Rasulullah tidakkah engkau memanfaatkan aku?. Abu Dzar berkata: Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menepuk tangannya pada pundakku kemudian bersabda, “Wahai Abu Dzar sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan dia adalah amanah, dan sesungguhnya dia pada hari kiamat adalah kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambilnya dengan hak-haknya dan menunaikan apa yang menjadi hak-haknya tersebut. (HR. Muslim)
Menjaga Amanah Mendulang Berkah
Tidak ada kebaikan apapun yang tidak mendapat perhatian dan balasan dari Allah Ta’ala meskipun bernilai kecil. Terlebih lagi dalam hal menunaikan amanah yang nilainya sangatlah besar dan berat. Hingga saking beratnya amanah, bahkan langit, bumi dan gunung menolak untuk mengembannya. Allah berfirman:
انا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh. (al-Ahzab: 72)
Al-Baghawi mengatakan dalam tafsirnya: “yang dimaksud dengan amanah dalam ayat ini adalah tha’ah dan faraidh (ketaatan dan kewajiban) yang Allah bebankan kepada hamba-Nya, Allah menawarkan kepada langit, bumi dan gunung (supaya memikulnya), yang apabila mereka bisa menunaikan maka akan diberi pahala, apabila tidak maka akan dikenai adzab. (Tafsir al-Baghawi)
Selanjutnya Ibnu Masud menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan amanah dalam ayat ini adalah shalat, zakat, puasa Ramadhan, haji, jujur, membayar hutang, adil dalam menimbang dan menakar, serta menjaga dan mengembalikan barang titipan. (Tafsir al-Baghawi)
Oleh karenanya, sebagai bagian dari ketaqwaan dan keimanan, sifat menunaikan amanah adalah jembatan untuk mendapatkan berlipat-lipat kebaikan dan keberkahan dari Allah. Setidaknya dua bentuk keberkahan yang akan didapatkan oleh seorang hamba ketika ia menjaga sifat amanah;
Pertama: keberkahan di dunia, berupa hadirnya cinta di hati manusia, lahirnya kepercayaan kepadanya, dan balasan kebaikan yang banyak dari manusia karena sebab cinta dan kepercayaan tersebut.
Sebagaimana teladan kita Rasulullah ﷺ, yang diberi gelar al-amin oleh kaumnya karena perilaku amanah sehingga ia mendapatkan kepercayaan dan cinta dari kaumnya.
Kedua, Keberkahan berupa balasan di akhirat, yaitu; ridha dan surga Allah Ta’ala. Rasulullah ﷺ bersabda:
خمْسٌ مَنْ جَاءَ بِهِنَّ مَعَ إِيمَانٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ: مَنْ حَافَظَ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ عَلَى وُضُوئِهِنَّ وَرُكُوعِهِنَّ وَسُجُودِهِنَّ وَمَوَاقِيتِهِنَّ، وَصَامَ رَمَضَانَ، وَحَجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا، وَأَعْطَى الزَّكَاةَ طَيِّبَةً بِهَا نَفْسُهُ، وَأَدَّى الْأَمَانَةَ ”
Artinya: “Ada lima perkara, barangsiapa yang melakukannya bersama dengan keimanan, dia akan masuk surga. Barangsiapa menjaga sholat lima waktu, menjaga wudhu’nya, ruku’nya, sujudnya, dan waktu-waktunya. Berpuasa bulan Ramadhan. Berhaji ke baitullah, jika mampu pergi ke sana. Memberikan zakat dengan senang hati. Melaksanakan amanah” (HR. Abu Dawud)
Wal akhir, marilah kita bersungguh-sungguh dalam menjaga dan menunaikan amanah yang saat ini kita emban. Selain agar kita dapat mendulang berkah, denganya dapat menghindarkan diri dari kehancuran dan kebinasaan. Rasulullah bersabda:
اذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Artinya: “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kehancuran” (HR. Bukhari) Wallahu a’lam (Rusydi Rasyid)






