Oleh: Rusydi Rasyid
Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk berbahagia di bulan Syawal, salah satunya karena hadirnya hari raya Idulfiri sebagai bentuk perayaan atas purnanya amal ibadah di bulan Ramadhan. Juga karena itu menunjukkan rasa bahagia sebagai bentuk syukur pada hari raya merupakan bagian dari syiar agama. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:
إِظْهَارُ السُّرُورِ فِي الْأَعْيَادِ مِنْ شُعَارِ الدِّينِ
Artinya, “Menunjukkan kegembiraan dalam hari-hari raya adalah salah satu ciri/syi’ar agama.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari. 2/443).
Tentu saja dalam mengekspresikan rasa bahagia hendaknya dengan tidak menghilangkan esensi dari adanya hari raya; membeli dan memakai baju baru dan bagus, makan dan minum yang enak dan bentuk perayaan lainnya tentu sangat diperbolehkan, selama tidak berlebihan, mubadzir atau bahkan sia-sia dan mengandung dosa. Karena esensi dari hari raya adalah ungkapan kebahagiaan karena bertambahnya rasa takwa dan ketaatan kepada Allah, rasa syukur atas diampuninya dosa-dosa dengan kehadiran bulan Ramadhan.
Syaikh al-Bujairami mengatakan: “Allah menetapkan bagi orang-orang mukmin di dunia tiga hari yang sangat berarti: Hari Jum’at, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha, hari-hari tersebut ada setelah mereka menyelesaikan ibadah dan ketaatan. Hari raya bukanlah untuk mereka yang hanya memakai pakaian baru, tetapi untuk mereka yang ketaatannya bertambah, dan bukan pula untuk mereka yang berhias dengan pakaian dan perhiasan, namun untuk mereka yang dosa-dosanya diampuni”. (Al-Bujarimi, Tuhfatul Habib bi Syarhil Khathib, 2/218).
Pun Idulfitri dan Syawal sejatinya merupakan momen pertama untuk mengetahui apakah amal seorang muslim pada bulan Ramadhan diterima atau tidak oleh Allah, sebab karakter amal akan melahirkan amal baik lainnya apabila makbul dan diterima Allah, sehingga siapa yang mudah untuk merawat ketaatan di bulan Syawal dan seterusnya, mereka adalah orang yang telah lulus dalam segenap tarbiyah Allah pada bulan Ramadhan, dan menjadi hamba yang bertaqwa sebagaimana tujuan disyariatkannya puasa..
Lalu, pada bulan Syawal khususnya terdapat amalan-amalan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan dan sangat erat dengan Ramadhan, bahkan menjadi penyempurna pahala amalan di bulan Ramadhan; salah satunya adalah puasa sunah Syawal. Maka, edisi kali ini akan membahas mengenai anjuran, keutamaan serta ketentuan dalam puasa sunah enam hari di bulan Syawal.
Hadits Anjuran dan Keutamaan Puasa Sunah Syawal
Terdapat beberapa riwayat shahih dari Rasulullah shalallahu alahi wa sallam yang menjelaskan tentang anjuran dan keutamaan dari melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, di antaranya Rasulullah shalallahu alahi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر.
Artinya: “Barang siapa sudah melakukan puasa Ramadan, kemudian menambahkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seolah-olah ia telah melaksanakan puasa sepanjang masa”. [HR Muslim].
Imam Nawawi dalam al-Minhaj Syarh Shahih ibni Hajjah mengatakan: ‘Hadits ini adalah dalil sharih atas sunahnya puasa enam hari di bulan Syawal menurut Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Dawud dan lainnya yang sepakat dengan mereka. Imam Abu Hanifah mengatakan hukumnya makruh, Imam Malik juga mengatakan bahwa aku tidak pernah melihat seorang ahli ilmupun yang mengejakannya, mereka berpendapat agar tidak disangka sebagai puasa wajib. (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 7/167)
Dalam hadits lain Rasulullah shalallahu alahi wa sallam menjelaskan logika mengapa puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa syawal senilai pahala satu tahun, beliau bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ .
Artinya: “Barang siapa berpuasa Ramadan, maka pahala satu bulan Ramadan itu (dilipatkan sama) dengan puasa sepuluh bulan, dan berpuasa enam hari sesudah Idul Fitri [dilipatkan sepuluh menjadi enam puluh], maka semuanya (Ramadan dan enam hari bulan Syawal) adalah genap satu tahun”. [HR Ahmad].
Syaikh al-Umrani menjelaskan: “Para pengikut kami berkata: yang demikian ini benar dalam hitungan matematika. Sebab satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali. Puasa Ramadhan sebanding dengan berpuasa selama 300 hari (sepuluh bulan). Maka bila seseorang berpuasa enam hari setelahnya, sebanding dengan berpuasa 60 hari (dua bulan). Demikian ini adalah hitungan hari selama setahun” (Syekh al-‘Umrani, al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafi’i, 3/548).
Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan: ‘Pahala puasa seperti puasa satu tahun, sebab satu kebaikan digandakan sepuluh, maka setiap hari (di bulan Ramadhan dan enam hari syawal) seperti dikali sepuluh (Izzuddin bin Abdissalam, Maqashid Shaum: 20)
Ketentuan Pelaksanaan Puasa Sunah Syawal
Puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya sunah dikerjakan baik dengan cara enam hari berturut-turut ataupun terpisah-pisah selama bulan Syawal. Akan tetapi yang paling utama adalah dikerjakan secara berturut-turut serta segera satu hari setelah Idulfitri. (Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu: 3/1641)
Imam Jalaluddin al-Mahalli mengatakan:
وتتابعها افضل و كذا اتصالها بيوم العيد مبادرة إلى العبادة
“Adapun mengerjakan berturut-turut lebih utama, demikian juga menyambungnya setelah idulfitri sebagai bentuk bersegera dalam ibadah”. (Imam Jalaluddin al-Mahalli, Syarhu al-Mahalli ala al-Minhaj 3/232)
Adapun bagi seorang muslim yang memiliki tanggungan qadha puasa, maka hukumnya menyesuaikan alasan dan sebab orang tersebut meninggalkan puasa Ramadhan, pertama: bagi orang yang meninggalkannya karena udzur baik itu sakit dan lainnya, ia masih disunnahkan untuk melaksanakannya. Baik dengan mengerjakannya terlebih dahulu ataupun dengan menyelesaikan qadha. Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
أما من لم يصم رمضان ولو لعذر فهو وان سن صومها على الأوجه، ولكن لا يحصل الثواب المذكور.
“Adapun bagi yang tidak mengerjakan puasa Ramadhan karena ada udzur, maka ia disunahkan untuk mengerjakan puasa Syawal menurut beberapa pendapat, akan tetapi tidak mendapat pahala sebagaimana yang disebut dalam hadits”. (Al-Haitami, Minhaj al-Qawim, 419)
Boleh untuk mengerjakan puasa syawal bahkan sebelum mengerjakan qadha puasa, sebab kewajiban qadha adalah kewajiban yang boleh ditunda. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi:
ومذهب مالك وأبي حنيفة والشافعي وأحمد وجماهير السلف والخلف أن قضاء رمضان في حق من أفطر بعذر كحيض وسفر يجب على التراخي، ولا يشترط المبادرة به أول الإمكان.
“Adapun Madzhab Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad serta jumhur salaf dan Khalaf sepakat bahwa qadha Ramadhan untuk orang yang meninggalkannya karena udzur wajib dengan adanya kelonggaran, tidak disyaratkan untuk dikerjakan segera mungkin”. (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 8/23)
Kalaupun mengerjakan qadha terlebih dahulu kemudian tidak tersisa hari di bulan Syawal untuk mengerjakannya, diperbolehkan untuk melaksanakan puasa Syawal di bulan Dzul Qa’dah.
Imam al-Bujairami menjelaskan:”Barang siapa yang pada bulan Syawal mengqadha puasa Ramadhan, dan berniat mengakhirkan puasa sunah Syawal, lalu kemudian tidak tersisa waktu untuk mengerjakannya, maka hendaknya mengerjakan pada bulan Dzulqa’dah. (Hasyiyah al-Bujairami: 2682)
Kedua: bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena tidak ada udzur, maka tidak disunnahkan untuk mengerjakan puasa Syawal, bahkan diharamkan sebelum mengerjakan qadha.
Imam ar-Ramli menjelaskan: “Apabila seseorang sengaja tidak berpuasa Ramadan tanpa sebab, maka ia diharamkan untuk berpuasa sunah Syawal, sebelum ia mengqadha puasa”. (Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, 3/208)
Terakhir terkait dengan kebolehan menggabungkan niat qadha dan puasa Syawal, perlu pembahasan yang cukup panjang, adapun Dr. Labib Najib Abdullah menerangkan bahwa yang paling utama adalah melaksanakan dua ibadah tersebut sendiri-sendiri (Dr. Labib Najib Abdullah, Tahrirul Maqal fi Ahkam Tata’alaqa bi Shiyami Sittin mi Syawal: 12). Wallahu a’lam.






