Penulis : Ustadz Rusydi Rasyid
Idul Adha merupakan satu dari dua hari raya bagi umat Islam yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Berada pada tanggal sepuluh dari bulan Dzulhijjah yang merupakan salah satu bulan mulia dan sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal saleh, terlebih dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa amal-amal saleh pada hari-hari di bulan ini sangat dicintai oleh Allah melebihi amal-amal saleh di hari selainnya, sekalipun jihad fisabilillah.
Lalu, dari sekian banyak amalan saleh didalamnya semisal shalat, puasa, dzikir bahkan haji, maka berqurban atau udhiyah merupakan amalan yang sangat dianjurkan kepada kaum muslimin. Hal mana seorang muslim memotong hewan sembelihan sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Rasulullah bersabda:
“Tidak ada amalan yang diperbuat manusia pada hari raya kurban yang lebih dicintai oleh Allah selain menyembelih hewan. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulu, dan kuku-kukunya. Sesungguhnya sebelum darah kurban itu mengalir ke tanah, pahalnaya telah diterima di sisi Allah. Maka tenangkanlah jiwa dengan berkurban,” (HR Tirmidzi)
Hadits di atas berisi tentang faidah dan keutaman dari berqurban, di samping masih ada beberapa dalil al-Quran maupun hadits yang menerangkan tentang hukum dan anjuran untuk mengerjakannya. Maka hari ini terkhusus di Indonesia, ditengah semakin semaraknya dakwah dan pengetahuan kaum muslimin tentang syariat qurban, semakin semarak dan berbondong-bondongnya kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah mulia ini, baik di kota bahkan sampai pelosok desa.
Dengan fenomena tersebut, sedikit banyak merubah kultur di masyarakat, di antaranya pada prosesi penyembelihan jamak dari masyarakat yang menyerahkan kepada tugang jagal atau bahkan membentuk panitia khusus guna mempemudah proses pelaksanaan, baik itu berbasis masjid, rukun tetangga atau bahkan kelompok tertentu yang bertugas untuk mengurus kurban dari A sampai Z.
Lantas bagaimana status, hak serta kewajiban dari panitia qurban ini menuut pandangan syar’i?
Status Panitia Qurban
Dalam ruang lingkup pelaksanaan ibadah qurban, panitia adalah perpanjangan tangan dari orang yang bekurban, atau dinilai sebagai wakil dalam teori akad wakalah. Hal mana dalam pengertian syar’i, wakalah atau niyabah adalah memberikan wewenang kepada orang lain untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan oleh dirinya sendiri, namun ia wakilkan kepada orang lain, dengan syarat tindakan tersebut memungkinkan untuk diwakilkan.
Tentunya dalam akad ini terdapat rukun, syarat serta ketentuan sebagaimana akad-akad yang lain. Seperti syarat pada orang yang mewakikan, syarat orang yang menjadi wakil, shigah akad, sampai pula kepada upah dari perwakilan yang dilakukan.
Adapun dalam hal qurban para ulama memperbolehkan prakteknya, meskipun statusnya lebih afdhal jika dilakukan sendiri oleh orang yang berqurban.
المستحبُّ أن يضحي بنفسه لحديث أنس: (أن النبي ﷺ ضحى بكبشين أملحين ووضع رجله على صفاحهما، وسمى وكبر) -والصفحة هي جانب العنق- ويجوز أن يستنيب غيره، لما روى جابر أن النبي ﷺ (نحر ثلاثا وستين بدنة ثم أعطى عليا فنحر ما غبر منها) والمستحب أن لا يستنيب إلا مسلما، لأنه قربة ، فكان الأفضل أن لا يتولاها كافر
“Disunahkan seseoang untuk menyembelihnya sendiri, sebagaimana dari riwayat Anas ‘bahwa Nabi menyembelih dua ekor kambing kibasy berwarna puti di leher keduanya, ia membaca basmalah dan bertakbir.’ Dan diperbolehkan untuk mewakilkan kepada orang lain, seperti dalam riwayat jabir bahwa ‘Nabi menyembelih 63 ekor unta dan menyerahkan sisanya kepada Ali untuk disembelih’. Disunahkan untuk tidak diwakilkan kepada selain muslim (Imam Nawawi, Majmu’ Syarh Muhadzab; 8/383).
Dalam Mausuah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan bahwa pada ulama sepakat tentang sahnya mewakilkan penyembelihan kepada orang lain, apabila wakil tersebut seorang muslim, karena dalam hadits Nabi kepada Fatimah disebutkan: ‘Berdirilah untuk qurbanmu dan saksikanlah’. Mengandung penetapan hukum bolehnya niyabah dalam qurban. (Mausuah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah: 42/47)
Tugas dan Tanggung jawab Panitia Qurban
Umum diketahui bahwa tugas dari panitia Qurban adalah membeli, menyembelih bahkan sampai pada proses pembagian daging qurban, hal mana ini merupakan tanggungjawab dan tugas yang sah dikerjakan.
Dijelaskan dalam fatwa Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi, pengarang syarah Ibnu Hajar dalam Al-Mukhtashar (Minhaj Al-Qawim) bahwa beliau ditanya tentang kebiasaan penduduk Jawa yang mewakilkan kepada seseorang untuk membelikan hewan ternak bagi mereka di Makkah, untuk Aqiqah maupun kurban, dan disembelih di Makkah. Padahal orang yang diaqiqahkan atau disembelihkan kurban berada di Jawa. Sahkah hal itu? Berilah fatwa kepada kami. Jawab: Ya hal itu sah. Boleh mewakilkan orang lain untuk membelikan kurban atau aqiqah dan penyembelihannya, meski di luar negara orang yang berkurban dan aqiqah.’’ (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu ath-Thalibin, 2/381).
Selain daripada tugas tersebut, ada beberapa hukum yang melekat orang yang menjadi wakil. Salah satunya adalah terkait dengan niat menyembelih bagi panitia penyembelihan. Maka dijelaskan:
Apabila seseorang mewakilkan penyembelihan kurban, maka cukup niatnya orang yang mewakilkan saja. Tidak dibutuhkan niatnya orang yang menerima perwakilan (penyembelih), bahkan meskipun apabila penyembelih tidak mengetahui bahwa yang disembelih merupakan hewan kurban sekalipun, tidak menjadi menjadi masalah,” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatu ath-Thalibin 2/379-380)
Kemudian ada yang memberi tambahan bahwa apabila orang yang berkurban belum pernah niat sama sekali, maka niat tetap harus dijalankan oleh pelaksana penyembelihan hewan kurban. (Qalyubi dan Amirah, Hasyiyah Qalyubi wa Amirah, 4/254).
Dan tak kalah penting tugas bagi panitia qurban adalah memahami seluk beluk fikih qurban itu sendiri, mulai dari fikih penyembelihan hingga aturan distribusi. Sebab, qurban merupakan ibadah yang memugkinkan status sah dan tidak sah.
Bolehkan Upah Daging Untuk Panitia Qurban?
Dalam akad wakalah, baik dalam pelaksanaanya seorang muwakkil atau orang yang mewakilkan memberikan imbalan ataupun tidak memberikannya maka hukum perwakilan tetap sah. Termasuk orang yang berkurban diperbolehkan memberikan upah kepada tukang jagal atau panitia pengurus. Akan tetapi upah tersebut dari harta lain dan bukan daging dari hewan yang dikurbankan, sebab hukumnya haram.
Namun, jika ia tetap ingin memberikannya, maka diperbolehkan atas dasar niat sedekah bukan memberi upah. Dalam hal ini Syeikh al-Baijuri menjelaskan:
“(Menjadikan [daging kurban] sebagai upah bagi penjagal juga haram) karena pemberian sebagai upah itu bermakna ‘jual’. Jika kurbanis memberikannya kepada penjagal bukan dengan niat sebagai upah, tetapi niat sedekah, maka itu tidak haram. Ia boleh menghadiahkannya dan menjadikannya sebagai wadah air, khuff (sejenis sepatu kulit), atau benda serupa seperti membuat jubah dari kulit, dan ia boleh meminjamkannya. Tetapi menyedekahkannya lebih utama,” (Lihat Syekh M Ibrahim Baijuri, Hasyiyatu al-Baijuri,2/311).
Alasan tidak diperbolehkannya seseroang memberi upah dengan menggunakan daging qurban adalah karena esensi kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah, sehingga tidak boleh mengambil daging tersebut untuk upah, seolah jika orang orang yang berkurban mengambil daging untuk dijadikan upah, seperti menarik kembali apa yang telah dipersembahkan kepada Allah.
Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari menjelaskan:
وَلِأَنَّهُ إنَّمَا أَخْرَجَ ذلك قُرْبَةً فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ إلَيْهِ إلَّا ما رُخِّصَ لَهُ فِيهِ وَهُوَ الْأَكْلُ وَخَرَجَ بِأَجْرِهِ إعْطَاؤُهُ منه لِفَقْرِهِ وَإِطْعَامُهُ مِنْهُ إنْ كان غَنِيًّا فَجَائِزَانِ
“Karena ia (orang yang berkurban) mengeluarkan kurbannya itu untuk mendekatkan diri kepada Allah (ibadah). Maka ia tidak boleh menarik kembali kurbannya kecuali apa yang telah diperbolehkan yaitu memakannya” (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarh Raudlath-Thalib 1/ 545).