Sejenak Bersama Nabi: Tanah Bertuah dan Peralihan Risalah

Penulis : Ustadz Fajar Jaganegara

Tahun sepuluh dari kenabian disebut para ulama sebagai tahun kesedihan; ‘Am al-Huzn. Tahun di mana duka dan luka berkumpul memenuhi hari-hari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Sedih dan pedih datang bergandengan mengetuk dengan keras, mendobrak sanubari hati Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.

Belum kering air mata Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam atas wafatnya sang paman tercinta; Abu Thalib, pelindung sekaligus penolong dakwahnya, Allah juga memanggil pulang sang belahan jiwa; Khadijah, sekira dua bulan setelahnya, maka purna kesedihan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Sedih di atas sedih.

Tapi ujian itu belum usai, kehilangan dua sayap pendamping hidup Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam tampaknya hanya muqaddimah untuk rangkaian ujian berikutnya. Tambahkan peristiwa Thaif, di mana Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam harus terluka berlumur darah, di tolak ajakan dakwahnya, direndahkan harga dirinya, umpatan dan makian dari warga Tha’if menjadi pengantar kepulangan beliau dan Zaid menuju Mekah. Tapi keluhuran akhlak Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam justru semakin mewangi, seperti gaharu dibakar api,

“Aku berharap, Allah melahirkan dari keturunan mereka orang-orang yang hanya menyembah Allah semata.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

Hadiah “Liburan” Ke Tanah Bertuah

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِه لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَه لِنُرِيَه مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّه هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil haram ke Masjidil aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’:1)

Ayat ini adalah dalil terjadinya peristiwa Isra’ Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dari masjid al- Haram ke masjid al-Aqsha (Bait al-Maqdis). Allah menjadikan tanah ini sekelilingnya berkah dan bertuah, itulah tanah muqaddasah, negeri para Nabi, tempat turunnya wahyu ilahi, rumah Allah yang diberkahi dan disucikan ada di dalamnya, Allah jadikan tanahnya saksi-saksi kebaikan sepanjang zaman (al-Qasimi, Mahasin al-Takwil, 10/185)

Mari simak bagaimana perjalanan penuh berkah ini terjadi, langsung dari tutur lisan sang Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim:

“Didatangkan padaku Buraq, hewan berbulu putih, -lebih besar dari himar dan lebih kecil dari bighal-, jangkauan langkahnya sejauh mata memandang, aku menungganginya hingga tiba di Baitul Maqdis. Sesampainya di sana, aku menambatkannya di tempat para Nabi menambatkan tunggangan mereka, lalu aku memasuki masjid dan shalat di dalamnya dua rakaat, kemudian aku keluar dan Jibril datang menghampiriku dengan dua bejana berisi khamr dan susu, maka aku memilih susu. Jibril berkata, ‘Kau telah memilih fitrah’”

Kenapa Baitul Maqdis dipilih sebagai tujuan perjalanan “liburan” ini? Atau pertanyaan yang lebih mendasar, kenapa terjadi peristiwa Isra’ bagi Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam? Kenapa perjalanan ini tidak dijadikan lebih ringkas dan sederhana, dari masjid al-Haram langsung menuju sidratil Muntaha?

Syaikh Muhammad al-Ghazali punya jawaban yang menarik soal ini. Dalam Fikih Sirahnya beliau menulis:

“Allah menampakkan kebesaran tanda-tanda Kekuasaan dan Qudrah-Nya atas para Rasul, agar hati mereka dipenuhi keyakinan padaNya” (Muhammad al-Ghazali, Fiqh as-Sirah,  h.142)

Kenapa al-Aqsa?

Ini merujuk pada sejarah panjang kenabian, jelas Syaikh al-Ghazali, bahwa Allah menjadikan risalah kenabian atas Bani Israil dalam periode yang panjang, dan Baitul Maqdis adalah tempat turunnya wahyu, sumber cahaya yang menerangi dunia, tanah yang dipilih bagi bangsa pilihan Tuhan.

Akan tetapi, orang-orang Yahudi justru merusak kemuliaan wahyu, melecehkan hukum-hukum langit, maka Allah timpakan laknat atas mereka, lalu kenabian Allah alihkan menjauh dari mereka, Allah pilih hambaNya; Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Maka puncak kepemimpinan ruhani berpindah dari satu umat kepada umat yang lain, dari satu negeri ke negeri yang lain, dari keturunan Israil kepada keturunan Ismail. (Muhamamd al-Ghazali, Fiqh as-Sirah, h.140)

Allah mengganti kemuliaan pada suatu kaum disebabkan gagalnya mereka mengemban tugas kenabian sebagai penjaga risalah ilahiyah, dan Allah menyiapkan pengganti dengan kaum yang lain. Demikianlah ketentuan yang telah berlaku atas bani Israil, kaum pilihan yang berubah menjadi kaum yang terpinggirkan.

Isyarat ilahiyah akan kebenaran risalah dan keselarasan ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam dengan Nabi-Nabi sebelumnya juga ditunjukkan dengan peristiwa shalat berjamaah yang dilakukan bersama para Nabi sebelum dimi’rajkan ke langit. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

“ …Para Nabi dikumpulkan (di masjid al- Aqsha), dan Jibril memintaku untuk mengimami shalat, kemudian aku pergi ke langit dunia.” (HR. Muslim)

Maka masjdi al- Aqsa adalah adalah tempat untuk pentahbisan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam  sebagai penutup dan sekaligus pemimpin para Nabi dalam bentuk shalat berjama’ah. Seakan-akan Allah ingin tunjukkan, “wahai, Bani Israil, kalian sudah gagal, sudah saatnya tugas ini dialihkan untuk diperbaiki dan disempurnakan.”

Makna dari Perjalanan Ke Tanah Bertuah

Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buty punya komentar menarik dari peristiwa isra’ Nabi ke Baitul Maqdis, beliau menuliskan, “Bahwa peristiwa isra’nya Nabi ke Baitul Maqdis menunjukkan kemuliaan dan kesuciannya di sisi Allah Ta’ala. Peristiwa ini juga mengajarkan bagaimana seharusnya seorang muslim terhadap Baitul Maqdis, bahwa mereka wajib menjaga rumah suci ini dari semua musuh Islam.”

“Hikmah inilah yang masih terasa hingga sekarang. Umat Islam tidak boleh bersikap lemah, takut, apalagi meredahkan diri di hadapan kaum yahudi yang menginjak-injak tanah suci kita. Baitul Maqdis harus dibersihkan dari najis kaum yahudi. Rumah suci ini harus dikembalikan ke tangan kaum muslimin.” (Sa’id Ramadhan al-Buty, Fiqh Sirah, h. 128.)

Sunnatullah adanya peralihan risalah adalah kepastian yang Allah rencanakan, sebuah peralihan risalah dari kaum durhaka yang telah gagal mengemban tugas pada kaum lain yang Allah pilih sebagai penutup dan penyempurna agamaNya.

Sebab adanya peralihan risalah dari kaum yahudi adalah karena kejahatan dan kedurhakaan yang telah mereka lakukan. Mereka akhirnya tersisihkan dan tersingkir dari jalan yang benar. Syaikh Shafiyurrahman Mubarakfuri memberi penjelasan bagaimana kendali kepemimpinan risalah itu bisa berpindah kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang berada di lembah Mekkah, terpencil dari pusat peradaban manusia.

Ada dua hal yang beliau sebutkan, pertama; ini adalah momentum menyatukan dua sentral dakwah keturunan Ibrahim, momentum untuk mengalihkan kepemimpinan spiritual, dari umat yang sejarahnya penuh dengan pengkhianatan dan, permusuhan dan kejahatan kepada umat yang dibanjiri kebaikan dan kebajikan. Kedua, ini adalah tanda berakhirnya sebuah periode dakwah Islam dan dimulainya perjalanan periode dakwah baru yang berbeda dari sebelumnya.(Shafiyurrahman Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, h.163)

Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya:

وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا

“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah). Lalu, mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu sehingga pantaslah berlaku padanya ketetapan (azab Kami). Maka, Kami hancurkan (negeri itu) sehancur-hancurnya.” (QS. Al- Isra’:16)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025 Himayah Foundation