Dua Taktik Licik

Oleh: Abu Athif, Lc. -غفر الله له ولوالديه-

Setelah dakwah secara terang-terangan dimulai oleh Nabi Muhammad ﷺ di bukit Shofa, banyak manusia yang mulai mengenal tentang Islam. Tidak berselang lama, jumlah kaum muslimin bertambah dari semua kalangan dan lapisan masyarakat Quraiys setiap harinya. Tentu saja situasi ini membuat geram rezim kafir Quraisy. Gelombang permusuhan dan kebencian pun muncul dari mereka demi menghadang jalan dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Berbagai upaya dari intimadasi hingga kriminalisasi terus dilancarkan oleh rezim kafir Quraisy agar bisa menghambat dan menghentikan tersebarnya Islam di tengah masyarakat kota Makkah dan sekitarnya.

Saat tiba musim haji, seluruh penduduk jazirah Arab berbondong-bondong mengunjungi Makkah. Kesempatan ini tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh Nabi ﷺ, melainkan beliau gunakan untuk menyampaikan dakwah Islam dan ajaran tauhid serta membacakan wahyu-wahyu Allah ﷻ kepada setiap kafilah dan rombongan haji dari berbagai suku Arab.

Di saat yang bersamaan, rezim kafir Quraisy pun juga tidak tinggal diam, mereka berupaya sekuat tenaga untuk menghalang-halangi manusia dari berinteraksi dan berkomunikasi dengan Nabi Muhammad ﷺ. Tidak berhenti sampai di sini, Abu Lahab -paman kandung Nabi ﷺ- juga turut serta menghalangi jalan dakwah dengan sering kali membuntuti Nabi ke mana pun beliau pergi, lalu membubarkan kerumunan yang mendengarkan Nabi seraya berkata; “Menjauhlah kalian darinya, jangan ikuti dan taati dia, sungguh dia telah gila lagi pendusta!”.[1]

Tokoh Quraisy lain seperti Nadhr bin al Harits menyuruh budak wanitanya untuk melantunkan nyanyian-nyanyian saat Nabi Muhammad ﷺ membacakan ayat-ayat Al Quran. Tidak hanya itu, dia pun sering menyela dan memotong pembicaraan Nabi ﷺ dan mengalihkan tema pembicaraan dengan menyebutkan kisah-kisah dari Persia dan Romawi[2]. Sementara Abu jahal menyerukan kepada khalayak untuk berteriak di depan wajah Nabi saat menyampaikan wahyu-wahyu Allah agar mereka berhasil membuat Nabi ﷺ tidak lagi bisa mengetahui apa yang diucapkan.[3]

Upaya-upaya rezim kafir Quraisy dalam menghalangi manusia untuk mendengarkan wahyu-wahyu Allah terekam dalam Al Quran:

﴿وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ۝﴾

Artinya: “Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka”. [QS. Fushilat: ayat 26]

Dalam ayat tersebut, Allah memberitahukan kepada kita tentang dua taktik licik yang dimainkan oleh rezim kafir Quraisy dalam menghadang tersebarnya Islam; yang pertama adalah larangan mendengarkan al Quran ﴿لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ﴾ dan yang kedua adalah melakukan hiruk-pikuk kegaduhan  ﴿وَالْغَوْا فِيهِ﴾. Dua taktik licik ini demi satu tujuan utama yaitu mengalahkan narasi dakwah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Imam Al Qurthubi menjelaskan bahwa makna dari ﴿لَا تَسْمَعُوا﴾ adalah jangan menaati apa yang disampaikan oleh Nabi ﷺ. Sementara ungkapan ﴿وَالْغَوْا فِيهِ﴾ dijelaskan oleh Imam Mujahid dengan perbuatan sia-sia  dalam bentuk bersiul-siul, tepuk tangan dan mencampur-adukkan perkataan hingga menjadi ungkapan tidak bernilai. Imam al Dhohak menambahkan bahwa maksud dari hiruk pikuk kegaduhan adalah dengan memperbanyak pembicaraan dan omongan agar tercampur. Pendapat lain datang dari -sahabat Nabi yang mulia- Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa bentuk perbuatan hiruk pikuk kegaduhan ﴿وَالْغَوْا فِيهِ﴾ adalah berdiri di tempat dan memberikan celaan. Secara Bahasa makna dari اللَّغْوُ adalah perbuatan dan perkataan yang tidak ada hakikatnya dan tidak terjadi, dengan ungkapan lain adalah sia-sia belaka.[4]

Di era modern seperti saat ini, dua taktik licik ini masih terus dilancarkan dan digulirkan dalam menghalangi manusia untuk mendapatkan hidayah al Quran. Target operasi mereka bukan hanya non muslim saja melainkan juga menyasar kaum muslim agar tidak lagi mengenal al Quran. Dalam konteks taktik larangan mendengarkan al Quran yang menjurus kepada hilangnya ketaatan kepada al Quran dikemas dalam beraneka ragam bentuk. Mulai dari pendekatan halus seperti yang terjadi di dunia pendidikan saat ini yaitu menggantikan materi pelajaran al Quran dengan materi-materi pelajaran lain, atau dengan mengurangi jam belajar al Quran. Disadari atau tidak, hal ini sudah menjadi fenomena di tengah umat muslim. Al Quran tidak lagi menjadi pedoman dan tujuan pembelajaran, namun hanya sekedar aksesoris pelengkap pendidikan agar masih memiliki warna dan corak keislaman.

Lebih dari itu, acapkali kita temukan dan dengarkan di masyarakat anggapan bahwa belajar al Quran hanya di tingkat taman kanak-kanak dan sekolah dasar saja. Adapun jenjang sesudah itu, al Quran tidak wajib dipelajari. Akibatnya, banyak dari umat Islam yang tidak bisa membaca al Quran apalagi jumlah yang bisa memahaminya jauh lebih sedikit. Menurut hasil data sensus nasional Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 menemukan angka 53,57% umat Islam Indonesia tidak bisa baca Al-Qur’an.

Dalam pendekatan yang lebih brutal juga dipertontonkan dengan pembakaran al Quran secara terbuka oleh beberapa orang di beberapa negara eropa seperti Swedia, Denmark dan Belanda pada tahun 2023 silam.

Upaya-upaya dalam menghalangi taat kepada al Quran secara sistemik juga dilancarkan di semua bidang kehidupan. Dalam bidang politik kepemimpinan, manusia dihalangi untuk mengenal system kepemimpinan qurani. Masyarakat luas dibuat alergi dengan istilah kholifah, imaroh dan istilah islam lainnya.

Dalam bidang ekonomi, manusia dihalangi untuk mengenal system ekonomi yang diajarkan al Quran. System kapitalis ribawi dan komunis lebih akrab di telinga masyarakat. Dalam bidang social dan budaya, manusia dihalangi untuk penerapan kehidupan social yang harmonis lagi beradab sesuai al Quran. Masyarakat lebih didekatkan dengan budaya permisive yang dibungkus dengan kata modern.

Dalam konteks taktik kedua; perbuatan sia-sia di era masa kini bentuknya bermetamorfosis dalam ujud yang sangat banyak. Tidak hanya nyanyian dan konser music saja namun juga program-program hiburan atraktif dan interaktif seperti munculnya gadget. Saat ini, betapa banyak kawula muda yang hari-harinya dihabiskan di depan gadget dan internet. Dalam sebuah survey yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menemukan bahwa rata-rata orang Indonesia bermain game online selama 1-2 jam per hari. Sebuah laporan per Februari 2025 menunjukkan 63% Gen Z lebih suka menghabiskan waktu luang mereka dengan scrolling media sosial.

Fenomena lain muncul berupa tradisi “hang out” kawula muda di kafe-kafe. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam dengan mengobrol santai ditemani dengan secangkir kopi. Tema yang dibahas pun seringnya berputar soal kasmaran, kuliner, hobi, film dan lain sebagainya yang jauh dari pembahasan al Quran.

Inilah yang terjadi saat umat Islam tidak sadar bahwa mereka dalam target pembodohan dan pembangkaan terhadap ayat-ayat al Quran. Oleh sebab itulah, pentingnya penyadaran umat Islam terhadap serangan-serangan pemikiran dan kebijakan yang dilakukan oleh pihak eksternal. Di era seperti ini, kaum santri dan para dai haruslah mengambil peran penting di garda terdepan sebagai pelopor penyadaran umat dengan banyak mengkaji Al Quran serta memberikan hasil kajiannya kepada umat. Agar ilmu-ilmu al Quran bisa terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai solusi.

Tidak ada cara lain dalam menangkal dua taktik licik ini kecuali hanya dengan konsisten menyebarluaskan al Quran kepada khalayak seperti yang diteladankan oleh baginda Nabi Muhamad ﷺ. Beliau secara konsisten selama 23 tahun mengajarkan, membacakan dan memperjuangkan ayat-ayat al Quran sebagai pedoman hidup. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita bagian dari ahlul Quran di akhir zaman.

 

[1]  Al Muabarokfuri, Shofiyyur Rahman, al Rahiiq al Makhtum (Daar al Wafa, tc, 1425 H) hal 86

[2]  Ibid, hal 89 – 90

[3] Al Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, al Jami’ li Ahkam al Quran (Kairo: Dar al Hadits, tc, 1423H/2002 M) juz 15 hal 301

[4] Ibid, hal 301.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025 Himayah Foundation