Pendahuluan
Tahun baru merupakan momentum tepat untuk membuat resolusi atau tujuan hidup yang ingin dicapai dalam waktu satu tahun ini. Bagi seorang Muslim, resolusi terbaik adalah yang dapat membawa lebih dekat kepada Allah dan menjadikan hidup lebih bermakna. Salah satu resolusi tersebut adalah bertekad menjadi hamba rabbani di tahun baru ini.
Selain itu, menjadi hamba rabbani juga merupakan perintah Allah kepada para rasul-Nya untuk disampaikan kepada kita semua. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 79:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”
Ayat tersebut secara tegas menjelaskan kepada kita bahwa para nabi menyeru umatnya untuk menjadi para rabbani. Adapun arti dari kata rabbani sendiri terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Tafsir Qur’an al-Adzim”, 2/66, menyebutkan perbedaan pendapat yang dimaksud, yaitu: pertama: bermakna orang-orang bijaksan, berilmu dan penyantun; kedua: ahli fikih; ketiga: ahli ibadah dan ahli takwa.
Kemudian, Imam al-Baidhawi dalam tafsirnya, “Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil”, 2/25, menambahkan, keempat: orang yang sempurna ilmu dan amalnya. Berikutnya, Imam al-Asyqar, dalam tafsirnya, “Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir, h. 76, menambah sekaligus meringkas pendapat sebelumnya terkait makna rabbani, yaitu: orang yang mengetahui agama Tuhan, yang memiliki keteguhan dalam perpegang dengan ketaatan kepada Allah, serta memiliki pemahaman, kelembutan, dan hikmah.
Jalan Menuju Hamba Rabbani
Dari ayat dan pandangan para mufassir tersebut dapat disimpulkan, bahwa jalan menuju hamba rabbani meliputi tiga syarat penting, yaitu syarat yang terkait keyakinan, keilmuan dan amal perbuatan. Adapun penjelasan ringkasnya adalah sebagai berikut ini:
Pertama: Terkait keyakinan.
Keyakinan atau keimanan merupakan perkara utama untuk menuju hamba rabbani. Demikian karena ayat tersebut menegakan kepada kita bahwa tidak mungkin orang yang telah Allah beri Al-Kitab, hikmah dan kenabian menyeru kepada perbuatan yang menyimpang. Sehingga, ayat tersebut secara tidak langsung juga menguatkan keimanan kita kepada Allah, kitab, kenabian dan ilmu yang Allah miliki.
Oleh karenanya, untuk menjadi hamba rabbani, penting bagi kita untuk senantiasa mengoreksi setiap perbuatan diri kita, apakah perbuatan tersebut dapat mendekatakan diri dan menambah keimanan kita kepada Allah Subhanahu wata’ala, atau justru menjauhkan diri dan mengurangi keimanan kita kepada-Nya. Di mana keimanan akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Berikutnya, kita juga harus senantiasa mengoreksi diri, apakah perbuatan yang telah, sedang atau akan kita lakukan tersebut, ikhlas karena Allah atau karena selain-Nya. Di mana keikhlasan merupakan kunci diterimanya setiap perbuatan yang kita lakukan. Oleh karenanya, untuk menjadi hamba rabbani hendaknya kita senantisana melakukan perbuatan yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah dengan niat ikhlas karena-Nya.
Kedua: Terkait keilmuan
Sebagaimana dalam ayat dan perjelasan para mufassir sebelumnya, bahwa makna hamba rabbani sangat erat kaitannya dengan keilmuan. Sehingga untuk menjadi hamba rabbani harus senantiasa menyelaraskan setiap perbuatan kita dengan ilmu syar’i dan senantiasa mencari ilmu atas seluruh perbuatan yang kita kerjakan, baik yang telah lampau, sedang, maupun yang akan kita lakukan.
Terkait pentingnya ilmu ini, Imam Bukhari dalam kitabnya, Shahih Al-Bukhari, 1/24, menyebutkan salah satu bab penting berjudul: al-‘ilmu qabla al-qaul wa al-amal” yang berarti: ilmu sebelum berkata dan beramal. Beliau lantas menyebutkan dalil yang menunjukkan pentingnya ilmu sebelum berucap maupun bertindak, yaitu firman Allah dalam surat Muhammad ayat 19:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ketahuilah (dengan ilmu), bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah (perbuatan) dan mohonlah ampunan bagi dosamu (ucapan)”.
Ketiga: Terkait Amal Perbuatan
Poin berikutnya, bahwa makna hamba rabbani juga sangat terkait erat dengan pengamalan ilmu, baik dengan cara mengajarkan atau mempraktekkannya. Untuk itu, sebagai jalan menju hamba rabbani, penting bagi kita untuk senantiasa mengoreksi diri, apakah kita telah mengamalkan ilmu-ilmu yang sudah diperolah, atau justu kita enggan untuk mengamalkannya. Di mana setiap ilmu yang telah kita peroleh, hendaknya kita ajarakan kepada orang lain dan kita praktekkan sebagai hak, tuntutan, serta rasa syukur atas karunia ilmu tersebut.
Oleh karenanya, marilah kita senantiasa bermuhasabah atas ilmu yang telah kita perolah, yaitu atas apa yang belum kita ajarkan dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Terkait pentangnya amal perbuatan hal ini, Allah mengingatkan kita akan tujuan diciptakannya kehidupan dan kematia, yaitu untuk menguji, siapakah yang paling baik amalnya, bukan siapa yang paling banyak ilmunya. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Mulk ayat 2:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
Kesimpulan
Dari berbagai pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa di awal tahun 2025 ini hendaknya kita berusaha untuk menjadi hamba rabbani, yaitu hamba yang mengetahui agama Islam, teguh dalam ketaatan, memiliki pemahaman, kelembutan, hikmah dan mau menyampaikan serta mengamalkan ilmunya. Sehingga jalan menuju hamba rabbani tersebut harus memehi tiga syarat utama tersebut, yaitu keyakinan yang mantap, ilmu yang memadahi dan menyampaikan serta mengamalkan ilmu tersebut. Semoga tahun ini kita dapat pemperoleh gelar hamba rabbani.
Amir Sahidin, M.Ag
(Mahasiswa Doktoral Unida Gontor)






