Di balik runtuhnya bangunan, debu yang belum sempat mengendap, dan suara ledakan yang kini tergantikan oleh kesunyian, sejatinya ada tangisan yang tak terdengar, bukan karena diam, tetapi karena dunia memilih menulikan diri. Palestina hari ini bukan hanya tentang sekaratnya nilai-nilai kemanusiaan, melainkan juga krisis keimanan di dalam diri umat Islam sendiri. Setiap insan yang gugur karena kelaparan, tertimpa reruntuhan, terkena rudal, atau disiksa dengan kejam, adalah cerminan dari ketidakpedulian global dan lemahnya keimanan yang seharusnya dapat menumbuhkan kepedulian terhadap saudara-saudara seiman.
Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengibaratkan orang-orang beriman seperti satu tubuh: jika salah satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya pun turut merasakan sakit. Rasulullah bersabda riwayat al-Bukhari, no. 6011 dan Muslim, no. 2586:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya)”
Dalam hadis lainnya, riwayat al-Bukhari, no. 6026 dan Muslim, no. 2585, Rasulullah juga menegaskan bahwa pemisalahan seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling menguatkan. Oleh karena itu, penderitaan masyarakat Palestina tidak dapat hanya dipandang dari sudut kemanusiaan dan sekedar isu geopolitik, melainkan juga sebagai isu keyakinan dan keimanan. Sehingga, diam atas kezaliman, ketidakpedulian, serta menormalisasi segala pembantaian, pembunuhan, pengusiran dan penyiksaan terhadap saudara-saudara seiman; merupakan perkara yang akan mengikis keyakinan dan keimanan dalam diri seorang Muslim.
Refleksi Keimanan
Tidak hanya karena saudara seiman yang menuntut adanya pengorbanan, pembelaan, perjuangan dan solidaritas. Bagi umat Islam, Palestina juga merupakan bagian dari keyakinan yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah. Dalam Al-Qur’an misalnya, Allah menyebut wilayah Palestina sebagai tanah yang disifati dengan keberkahan. Penyebutan tersebut muncul sebanyak lima kali dalam empat surat Makkiyah yaitu: Surat al-Anbiya’: 71 dan 81; surat Saba:18; surat al-A’raf : 137 dan surat al-Isra’: 1.
Empat ayat pertama berkaitan dengan masa sebelum Islam, menyebut Baitul Maqdis yang berada di Palestina sebagai tanah yang telah dikaruniai keberkahan. Ayat kelima berkaitan dengan perjalanan malam (isrā’) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengacu kepada masjid al-Aqsha. Sehingga empat ayat pertama mengarah pada kawasan Baitul Maqdis, sementara ayat kelima mengacu pada pusat barakah yang berada di Baitul Maqdis yaitu masjid al-Aqsha.
Sedangkan dalam sunah, Rasulullah pernah bersabda bahwa masjid al-Aqsha termasuk dari tiga masjid yang Allah spesialkan dari segi keutamaan dan pahala beribadah di dalamnya. Rasulullah bersabda, riwayat al-Bukhari, no. 1189 dan Muslim, no. 1397:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Jangan (bersusah-payah) melakukan perjalanan (untuk beribadah) kecuali ketiga masjid: Masjidil haram, masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan masjid al-Aqsha”
Semua ini menguatkan betapa pentingnya membela dan membantu penduduk Palestina, mereka tidak hanya sekedar saudara seiman yang dijajah, melainkan mereka juga tinggal di daerah penuh berkah yang harus dijaga kesuciannya. Maka, ketidakpedulian terhadap kedua perkara ini, sudah menjadi bukti akan rendah dan tipisnya keimanan seseorang.
Refleksi Kemanusiaan
Bahkan, tidak hanya aspek keimanan yang dipertaruhkan ketika seseorang tidak peduli dengan penderitaan rakyat Palestina. Sisi-sisi kemanusiaan seseorang pun dapat runtuh ketika ia menyaksikan penjajahan, pembantaian, dan penghancuran suatu bangsa, namun tidak merasa tergugah, tidak terusik, dan tidak tergerak sedikit pun untuk membela atau sekedar mendoakan.
Bagaimana tidak demikian? Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun terakhir ini, lebih dari 50.000 penduduk Palestina meninggal dunia dan lebih dari 111.000 orang terluka akibat penjajah Israel. Selain itu, bangunan-bangunan tempat tinggal hancur, rumah sakit diserang, sekolah-sekolah rata dengan tanah; anak-anak belajar di bawah tenda, di tengah puing-puing, atau bahkan tidak belajar sama sekali karena guru mereka telah wafat atau ditahan; dan juga obat-obatan langka, serta makanan dan air minum pun sulit didapat.
Pada titik inilah, seseorang tidak perlu menjadi Muslim untuk peduli terhadap Palestina. Cukup menjadi manusia yang memiliki hati dan nurani, untuk dapat membantu dan mengakui bahwa apa yang terjadi di Palestina adalah bentuk penjajahan yang tidak berperikemanusiaan.
Usaha Membantu Saudara di Palestina
Oleh karena itu, penting bagi seluruh masyarakat yang memiliki hati serta nurani, dan khususnya umat Islam, untuk menyongsong kemerdekaan Palestina dari penjajah Yahudi Israel saat ini. Masyarakat dan umat Islam perlu berjuang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Perjuangan ini meliputi anggota badan bagi mereka yang mampu membantu dengan anggota badan; kebijakan bagi mereka para pemangku kebijakan, harta bagi yang mampu dengan harta, ucapan bagi seorang dai dan influencer, tulisan bagi seorang cendekiawan, dan lain sebagainya yang dapat menguntungkan penduduk Palestina dan mengakhiri aksi penjajah.
Hal inilah yang disebutkan oleh para peneliti, seperti al-Kailani dalam bukunya, “Hakadzā Dhahara Jīl Shalahuddīn wa Hakadzā ‘Ādat al-Quds, menerangkan bahwa kemenangan Shalahuddin al-Ayyubi, diawali oleh perjuangan panjang para sultan sebelumnya, para ulama, para hakim, para panglima jihad, para penyair, para wanita dan berbagai lapisan masyarakat lainnya.
Penutup
Dari berbagai pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tragedi Palestina bukan semata-mata isu kemanusiaan. Meskipun penderitaan rakyat Palestina seharusnya sudah cukup menggugah empati siapa pun pemilik hati nurani, namun umat Islam memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Demikian karena hal ini juga merupakan perkara keimanan dan keyakinan, yaitu menyangkut saudara seiman dan tanah suci umat Islam yang kini dijajah dan dinistakan oleh penjajah Yahudi Israel. Semoga Allah memberi kemenangan atas penduduk Palestina, amin ya Rabb.
Amir Sahidin, M.Ag
Mahasiswa Doktoral Unida Gontor






