Banyak shahabat menjalin kedekatan dengan Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bukan karena faktor nasab, melainkan atas prestasi yang mereka torehkan dalam Islam. Misalnya, Umar bin Khattab atas inisiatifnya yang brilian, Abu Dzar atas keteguhannya, Abdurrahman bin Auf atas pengorbanannya dan Zaid bin Haritsah atas dedikasinya. Nama terakhir yang disebut, merupakan shahabat yang sangat Nabi shallahu ‘alaihi wasallam kasihi.
Zaid bin Haritsah memang tidak memiliki pertalian darah dengan Nabi. Zaid hanyalah anak angkat sebelum hal itu dilarang syariat.
Orang tua Zaid yang sebenarnya yaitu Su’da dan Haritsah bin Syarahil. Konon, Su’da sudah lama ingin mengunjungi kerabatnya di kampung Bani Ma’an. Tapi Haritsah tak bisa mengantarnya. Kebetulan ada rombongan pedagang yang melewati kampung bani Ma’an, sehingga ayah Zaid bisa menitipkan istri dan puteranya.
Ketika zaid berada di daerah asal ibundanya, segerombolan perampok padang pasir datang menyerbu dengan tiba-tiba. Penduduk kampung Bani Ma’an tak berdaya membela diri. Harta mereka dirampas. Ternak-ternak mereka dicuri. Bahkan anak-anak diculik untuk dijual sebagai budak. Para perampok itu tak segan membunuh orang yang melawan. Malang bagi Zaid, seorang perampok berhasil menangkapnya dan membawanya kabur.
Penculik itu membawa Zaid ke pasar Ukaz di Makkah. Hakim bin Hizam membeli Zaid. Lalu Hakim menghadiahkan Zaid kepada bibinya yang bernama Khadijah binti Khuwailid. Ya, benar! Khadijah adalah Istri dari Nabi Muhammad. Kemudian Khadijah menghadiahkan Zaid kepada suaminya. Begitulah bagaimana takdir Allah yang mempertemukan Zaid dengan Rasulullah.
Nabi Muhammad memerdekakan Zaid. Tak hanya itu, beliau mengumumkan bahwa Zaid kini menjadi anak angkatnya. Kebaikan Rasulullah dan Khadijah membuat Zaid nyaman, sebab Rasulullah tidak membedakannya dengan anak kandungnya sendiri.
Zaid dewasa dalam didikan Nabi. Saat Nabi mulai mendakwahkan Islam, Zaid termasuk angkatan pertama shahabat yang masuk Islam atau assabiqunal awwalun. Saat orang-orang kafir memusuhi Nabi, Zaid bersama para shahabatnya lain melindungi beliau. Di kala Rasulullah memerintahkan sesuatu, Zaid menjalankannya dengan sungguh-sungguh komentar beliau tentang zaid adalah, “Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat.” (HR. Ahmad)
Ketika Zaid hijrah ke Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin Haritsah. Semula Zainab dan saudara laki-lakinya tidak menyukai perjodohan itu. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan terhormat seperti Zainab menikah dengan orang mantan budak? Rasulullah menasehati mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turun ayat kepada mereka:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)
Pada akhirnya Zainab menikah dengan Zaid. Melalui pernikahan itu Rasulullah ingin menghapus tradisi jahiliyah yang membanggakan status, suku dan keturunan. Beliau menekankan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Akan tetapi, Zainab dan Zaid tetap tidak bisa melanggengkan pernikahan tersebut karena perbedaan mereka berdua yang begitu jauh. Suatu ketika Zaid menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab. Mendengar itu, beliau meneguhkannya agar terus menjaga keutuhan bahtera rumah tangga. Zaid memang berusaha bersabar, namun pada akhirnya rumah tangganya tetap kandas. Zaid mentalak Zainab.
Setelah Zainab melewati masa iddahnya, Allah memerintahkan Rasulullah menikahinya. Salah satu hikmahnya adalah untuk menghapus tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliyah. Juga untuk meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat. Melalui pernikahan itu Allah menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung. Sedekat apapun hubungan seorang ayah dengan putra angkatnya, hukumnya dalam Islam tidak sama dengan anak kandung.
Zaid yang merupakan satu-satunya shahabat yang namanya disebut secara langsung dalam Al-Qur’an dan bukan dengan kata ganti ini memiliki kelebihan dalam leadership atau kepemimpinan. Ia pandai mengatur pasukannya hingga selalu meraih kemenangan. Sikap itulah yang membuat Nabi begitu mencintai Zaid dan mempercayakan misi-misi penting kepadanya. Aisyah menceritakan, bahwa setiap kali Zaid pulang dari sariyyah, tempat yang pertama kali beliau jujuki adalah rumah Nabi. Rasulullah pun langsung memeluknya lalu menanyakan kabarnya. Berita yang Zaid bawa selalu tentang kemenangan yang Allah berikan kepada pasukannya.
Zaid memang hebat. Hingga Aisyah pernah mengatakan, “Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup, tentulah ia akan diangkatnya sebagai Khalifah.”
Pada tahun 8 H orang Romawi membunuh utusan Rasulullah yang bernama Al-Harits bin Umair. Rasulullah tidak terima dengan ejekan yang merendahkan Islam tersebut. Karena itu beliau menyiapkan pasukan Islam yang akan diberangkatkan menuju perang Mut’ah. Perang ini sangat berat karana musuh berjumlah 200 ribu pasukan sedangkan mereka hanya punya 3 ribu pasukan. Tapi kaum Muslimin tidak gentar. Apalagi Rasulullah memilih komandan yang tangguh, yaitu Zaid bin Haritsah.
Ketika perang pecah di Mut’ah, Rasulullah sedang duduk di mimbar. Tiba-tiba mata beliau sembab tergenang air mata. Tergambar di mata beliau pertempuran sengit di Syam, sehingga beliau menceritakan. Zaid dengan gagah maju ke tengah pasukan musuh tanpa rasa gentar sedikitpun. Satu tangannya mengayungkan pedangnya ke kiri dan ke kanan, tangan yang lain membawa bendera. Ketika pasukan musuh melihat keberaniannya mereka menikamnya dengan tombak dari belakang hingga akhirnya meregang nyawa sambil memegang bendera.
Rasululah kemudian melakukan shalat ghaib untuk Zaid. Beliau bersabda, “Beristighfarlah untuk saudara kalian, Zaid bin Haritsah. Dia telah masuk surga dengan berlari.”
Sumber: majalah arrisalah edisi 133