Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu Amirul Mukminin Umar bin Khattab menginspeksi rakyatnya. Amirul Mukminin tak pernah bosan melihat kondisi rakyat untuk mengetahui, adakah di antara mereka yang –tanpa sengaja- terzhalimi olehnya atau –tanpa sepengetahuannya- membutuhkan bantuan-nya.
Umar takut jika di akhirat kelak, ia ditanya tentang rakyatnya dan ia tidak bisa memjawab, sehingga siksa yang pedih menantinya. Ia berusaha untuk komitmen kepada pernyataannya, “Hisablah di kalian (di dunia) sebelum kalian dihisab (di akhirat)!”
Di pinggiran kota Madinah, Umar yang berjalan seorang diri mendengar suara rintihan wanita dari sebuah tenda. Di depan tenda, duduk seorang laki-laki Badui yang biasa berpindah-pindah tempat tinggal dalam rangka menggembalakan kambing-kambingnya.
“Aku heran, katanya Amirul Mukminin adalah seorang yang adil dan bijaksana. Mana buktinya?” keluhnya seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Umar bertanya, “Maaf, siapa di dalam? Kenapa merintih? Sepertinya sedang kesakitan.”
Karana tidak tahu sosok yang ada di depannya adalah Amirul Mukminin, orang Badui itu mengusir Umar, “Pergi sana! Jangan turut campur urusan orang lain!
“Ee, siapa tahu saya bisa membantu.”
Apalah yang bisa dilakukan oleh seorang laki-laki di hadapan orang wanita yang hendak melahirkan?!” wanita itu istrimu?”
Tentu saja! Sudah, pergi sana! Kamu tidak bisa membantu, kan?” sungutnya.
Umar bergegas meninggalkan orang badui itu dan pulang ke rumah, menemui Ummu Kultsum, istrinya. Umar menceritakan adanya seorang wanita yang hendak melahirkan. Ia menawarkan kepada istrinya untuk membantu wanita yang sedang dalam kesulitan itu. Umar tidak pernah memaksa wanita yang sangat disayanginya itu.
Ummu Kultsum binti Ali lahir dari rahim fatimah az-Zahra. Dia adalah adik kandung Hasan dan Husain, cucu Rasulullah. Ummu Kultsum dilahirkan pada tahun keenam Hijrah. Dan seperti halnya kedua kakaknya, Ummu Kultsum tumbuh sebagai gadis belia dalam bimbingan kakeknya, Rasulullah dan kasih sayang ayah ibunya.
Sebelum Ummu Kultsum baligh, Amirul Mukminin Umar bin Khattab melamarnya untuk dirinya sendiri. Ali yang melihat kenyataan Ummu Kultsum masih sangat belia menanyakan keseriusan Umar. “Kenapa anda menginginkannya wahai Amirul Mukminin?” tanya Ali “Kudengar Rasulullah bersabda, “Semua sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku dan nasabku.” Jawab Umar.
Dalam riwayat lain, Umar bin Khattab berkata, “Wahai Abul Hasan, nikahkan aku denga putrimu. Kulihat kemuliaan dirinya yang tidak dilihat oleh orang lain”
“Kamu boleh melihatnya. Akan kusuruh seseorang untuk mengantarnya. Jika kamu ridha kepadanya, maka kau telah menikahkanmu dengannya,” jawab Ali. Kepada Ummu Kultsum Ali berpesan, “Pakailah kain burdah ini! Sesampainya ke rumah Amirul Mukminin katakan kepadanya bahwa kain burdah ini milik Anda!” Ummu Kultsum yang belum begitu memahami lafal kinayah di dalam pernikahan tidak memahami maksud ayahnya. Sesampainya di rumah Amirul Mukminin ia sampaikan pesan ayahnya. “Katakan kepada ayahmu aku telah ridha, semoga Allah meridhai Anda.”
Lantas Umar memegang betis Ummu Kultsum dan menyingkap kain yang dipakainya. Serta merta Ummu Kultsum berteriak, “Apa-apaan ini! Kalau bukan karena kamu adalah Amirul Mukminin, sungguh aku sudah menamparmu hingga patah hidungmu!” Ummu Kultsum berlari pulang dan mengadukan perlakuan Amirul Mukminin kepada ayahnya. “Ayah! Kenapa Ayah menyuruh aku menemui seorang tua yang kurang ajar?”
Ali hanya tersenyum. Setelah emosi Ummu Kultsum mereda Ali menjelaskan bahwa baru saja ia menikahkannya dengan Amirul Muminin. Jadi yang dilakukan Amirul Mukminin bukanlah tindakan yang kurang ajar, seperti yang diduga Ummu Kultsum. Meski sudah menikah, baru pada bulan Dzulqa’dah 17 H. Ummu Kultsum hidup serumah dengan Umar bin Khattab. Dari rahim Ummu Kultsum, Umar dikaruniai Zaid bin Umar Al Akbar dan Ruqayyah binti Umar.
Sesampainya mereka di tenda yang didirikan orang badui itu. Ummu Kultsum segera masuk dan membantu proses persalinan istri orang Badui itu. Di Luar, Umar bersama orang badui membuat roti dari gandum dan minyak samin yang dibawanya.
Tak berapa lama kemudian terdengar suara bayi menangis kencang. Dari dalam tenda, Ummu Kultsum berseru, “Wahai Amirul Mukminin, berilah kabar gembira suami wanita ini. Dengan izin Allah, istrinya telah melahirkan bayi laki-laki yang sehat.”
Orang badui itu terperanjat. Ia sama sekali tak menyangka bahwa temannya memasak dan meniup api itu ternyata Amirul Mukminin. Istrinya yang baru saja melahirkan tak kalah terkejutnya. Wanita muda yang baru saja membantu proses persalinannya adalah istri Amirul Mukminin, sang ibu negara! Ibu Negara yang sebenarnya. (azm)
sumber: majalah arrisalah edisi 70 hal. 34-35