Totalitas Dalam Kejelasan

TOTALITAS DALAM KEJELASAN

Muslim yang mengerti agamanya, tidak akan menolak Islam berjaya dan berdaulat di muka bumi. Jika ada yang menolak, pasti karena tidak mengerti atau salah paham tentang Islam. Bisa jadi lantaran nafsu yang membelokkannya dari tujuan yang benar. Ketika berjaya dan berdaulat, Islam akan terlihat dengan gamblang karena seluruh organ tubuhnya sempurna dan berada di posisi yang tinggi berwibawa. Sosok Islam muncul dalam rupa yang utuh, tak ada distorsi. Dan karenanya, umat manusia yang memandangnya akan dengan mudah mendefinisikan Islam dan mendefinisikan siapa lawannya.

Tapi tatkala Islam kalah dan lemah, hanya akan tampak bagian-bagian tertentu dari organ tubuhnya. Itupun organ yang tidak vital secara fungsi. Sedangkan yang memiliki fungsi vital, pasti sudah dipotong oleh kekuatan kafir yang mengalahkannya. Islam hanya akan berwujud sebagai boneka, yang secara rupa lengkap tapi secara fungsi tidak jalan. Karenanya, siapapun yang memandangnya akan kesulitan menangkap gambar utuh Islam, sehingga akan sulit juga melihat siapa lawannya.

Hari ini, umat Islam masih gagal menangkap gambar utuh Islam. Sebuah kenyataan tragis. Kegagalan ini berdampak jauh. Yang paling krusial gagal memahami jalan menuju kemenangan. Ketika beberapa syiar Islam sudah diberi ruang yang nyaman untuk hidup, segera disimpulkan bahwa upaya menjayakan Islam telah usai. Sama sekali tidak paham bahwa Demokrasi sebagai pemegang otoritas sejatinya telah memotong bagian paling vital dari lslam, sama sekali tak diberi ruang untuk hidup. Demokrasi memotong frasa fundamental, syariat adalah satu-satunya sumber hukum. Islam menjadi tubuh tanpa kepala. Banyak yang tidak mampu melihat gambar itu.

 

Hukum Kejelasan

Sebelum umat Islam bisa mengalahkan musuhnya, ada hukum alam yang mengikatnya. Salah satunya hukum kejelasan. Bila para pengusung perjuangan Islam belum memiliki kejelasan dan menampilkannya di hadapan manusia, tak akan pernah mencapai kemenangan. Sebab dengan begitu ia tidak memiliki kejelasan pijakan. Orang yang akan mendukung juga tidak mendapatkan kejelasan arah perjuangan. Siapa musuhnya akhirnya juga tidak jelas.

Para Nabi sejak hari pertama dakwah sudah membawa pesan yang jelas. Mereka berbicara menggunakan bahasa kaumnya agar jelas. Mereka mengaku sejak awal sebagai utusan Allah dan mengatakan bahwa siapa yang menerima dakwahnya akan selamat dan siapa yang menentang akan mendapat murka Allah. Mereka menerangkan dengan vulgar tentang  tauhid dan mengkritik secara lugas terhadap syirik. Semuanya dibingkai hukum kejelasan.

Mereka sudah memegang hukum kejelasan ini sejak awal. Tidak ada kekhawatiran ini itu yang berasal dari perasaan dan analisa pribadi. Tugas mereka memang menjelaskan agar tidak ada kesamaran. Agar jelas pula siapa yang menerima dan siapa yang menolak. Pada gilirannya, menjadi jelas siapa yang berhak diazab oleh Allah dan siapa yang berhak ditolong. Mereka memulai prinsip kejelasan ini sejak masih seorang diri. Benar-benar tangguh. Seperti Nabi lbrahim, mengusung tema tauhid dan menjelaskan kebatilan syirik seorang diri dengan semangat kejelasan. Bahkan masih perlu menghancurkan fisik berhala sebagai alat untuk memperjelas betapa rapuh logika syirik itu. Tak ayal, seluruh penduduk negeri dari mulut ke mulut mendengar pesan tauhid dan hancurnya simbol syirik itu dengan seluruh drama yang melingkupinya dan argumen yang dibawanya. Luar biasa.

Secara jumlah pengikut Nabi Ibrahim boleh dianggap gagal, sebab semasa dakwah di Babilonia yang serius menjadi pengikutnya hanya dua orang, Sarah yang kemudian menjadi istrinya, dan Luth yang kelak berdakwah dengan fokus tema anti homoseksual. Tapi secara praktek dakwah, Nabi Ibrahim dengan sempurna dan gemilang berhasil menerangkan tema tauhid dan batilnya syirik dengan terang benderang, meski nyawanya sendiri sempat menjadi taruhannya. Seorang diri tapi berhasil mengusung dakwah di tengah hegemoni syirik dengan hukum kejelasan yang tuntas. Menilik keadaan umat Islam hari ini, banyak yang meninggalkan hukum kejelasan. Padahal secara jumlah umat Islam melimpah.

Dakwah yang “ramah lingkungan” sedang menjadi tren sebagai ganti dakwah yang jelas dan tuntas yang dicontohkan para Nabi dan generasi salaf. Memilih menjadi safety player di zaman fitnah itu sudah jatuh dalam fitnah.

 

Hukum Totalitas

Dalam tradisi thalabul ilmi, terdapat adagium: ilmu tak akan memberimu sebagian, kecuali jika kamu memberinya total. Maksudnya, seorang penuntut ilmu tak akan mendapatkan tetesan ilmu sampai ia mengeluarkan totalitas hidupnya untuk ilmu tersebut. Ilmu tak dapat diraih dengan usaha setengah hati. Hukum ini berlaku secara universal. Semua bidang kehidupan terikat dengan hukum totalitas. Dalam bisnis, tak mungkin sukses tanpa totalitas menggelutinya. Dalam olahraga, tak mungkin jadi juara tanpa totalitas.

Dalam berburu, seseorang tak akan berhasil menangkap buruannya tanpa konsentrasi penuh sepanjang waktu. Demikianlah hukum totalitas berlaku dalam segala lapangan kehidupan. Sayangnya sebagian umat Islam kehilangan totalitas dalam memperjuangkan Islam. Mereka memperjuangkan Islam sambil lalu. Bahkan sebagiannya tak layak disebut memperjuangkan, hanya mengingat Islam saat memerlukannya, seperti banyak politisi muslim di negeri ini.

Totalitas merupakan sifat lanjutan dari sifat kejelasan. Berangkat dari kejelasan, orang punya peluang untuk totalitas. Tapi tidak selalu kejelasan melahirkan totalitas. Seseorang yang sudah total tapi berangkat dari ketidakjelasan akan melahirkan hasil yang parsial. Dua karakter ini yang paling dihajatkan dalam perjuangan Islam saat ini.

Para aktifis yang memperjuangkan Islam via perlemen, mungkin saja mereka sudah totalitas dalam bekerja. Tapi kejelasan posisi di depan teman dan lawan terasa absurd. Misalnya ketika harus menyatakan bahwa demokrasi adalah piranti syirik modern, rasanya tak mungkin terucap. Dilema ini membuat posisi mereka menjadi tidak jelas. Islam yang diperjuangkan di parlemen tentu bukan lslam yang dibawa secara terang benderang oleh para Nabi di hadapan lawan, tapi Islam yang disesuaikan dengan peluang dan kebaikan Demokrasi. Jika Demokrasi mengizinkan, alhamdulillah. Jika Demokrasi melarang, ya sudah tak usah dibahas dan diperjuangkan.

Demikian pula dengan aktivis HTI. Ketika mereka ditantang, apa pandangan mereka tentang Pancasila, kelu lidah untuk mengatakan sikap secara jelas. Padahal sudah nyata konsep khilafah tak mungkin bersanding dengan Pancasila. Prinsip kejelasan terlupakan, entah apa pertimbangannya. Ada kelompok yang mengusung pesan dengan jelas, salah satunya ISIS. Tapi sayang, prinsip ini digunakan secara overdosis, sehingga umat Islam yang terkungkung sistem Demokrasi ikut dikafirkan. Agaknya mereka terlalu bernafsu berburu kejelasan tanpa ilmu yang benar. Kelompok yang hingga saat ini eksis di atas prinsip jelas dan totalitas adalah kelompok AI-Qaeda. Pesan mereka jelas, ingin menumbangkan koalisi kekafiran global yang dipimpin AS.

Mereka juga totalitas dalam mengusahakannya. Jihad adalah simbol totalitas itu. Dan mereka sejauh ini tegar menghadapi segala risikonya. Nabi Nuh mengikuti prinsip kejelasan meski lemah. Nabi Ibrahim menganut hukum kejelasan meski seorang diri di hadapan tiran. Nabi Musa mengemukakan misi dengan jelas tanpa bias di hadapan Firaun yang arogan. Nabi Muhammad juga mengacu prinsip kejelasan meski masih lemah di Makah.

Problem mendasar umat Islam negeri ini adalah jauhnya mereka dari hukum kejelasan dan totalitas. Jika sunnatullah ini ditegakkan, akan melahirkan sunnatullah berikutnya, yaitu ibtila’ (ujian dan fitnah). Lalu berlanjut dengan sabar dan tegar di atas jalan benar. Waktu datangnya kemenangan Islam akan berbanding lurus dengan komitmen umat Islam sendiri dalam menapaki sunnatullah ini. Jika mereka menjauhinya, kemenangan juga ikut meniauh. Wallahua’lam bishawab. (alhakimi, an-najah 145)

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *