Tiga Pilar Ketundukan
Oleh: Ust. Lukman H. Syuhada’, Lc
Kerajaan Allah secara substansi sama dengan kerajaan manusia. Hanya beda skala dan penduduk. Kerajaan Allah meliputi langit dan bumi, alias alam semesta, sementara kerajaan manusia hanya teritorial kecil di muka bumi. Kerajaan Allah meliputi penduduk beragam; manusia, jin, malaikat, hewan, bulan, bumi, matahari, bintang-gemintang, planet, galaksi hingga seluruh apa yang ada di jagat raya. Sementara kerajaan manusia hanya meliputi manusia.
Jabatan raja adalah jabatan politik. Raja merupakan jabatan politik paling absolut yang dikenal manusia. Beda dengan presiden atau perdana menteri. Raja memegang seluruh kewenangan politik, baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Tidak ada pembagian kekuasaan sebagaimana dalam Demokrasi, yang membagi kekuasaan menjadi tiga bagian yang tak saling intervensi, yaitu kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif. Karenanya disebut check and balance, yaitu mekanisme saling kontrol antar sesama pemangku kekuasaan. Tak ada satu sosok yang memiliki kekuasaan absolut.
Jabatan raja yang absolut itu menjadi pujian jika dipegang Allah, karena memang sesuai dengan kemampuan Allah yang tanpa tanding. Allah Maha Kuasa, Maha Besar, Maha Tahu, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Justru ketika kekuasaan Allah dibatasi sebagaimana dalam Demokrasi, misalnya Allah hanya memegang kekuasaan eksekutif tapi tak punya kontrol terhadap sisi legislatif dan yudikatif, akan menjadi cela dan kelemahan bagi Allah. Justru Allah akan gagal untuk bijaksana, gagal untuk adil, gagal untuk penyayang dan seterusnya. Sebab ada kemungkinan rencana keadilan-Nya dijegal oleh pemegang kekuasaan legislatif, sebagaimana parlemen punya kuasa menjegal pemerintah dalam konteks manusia.
Sebaliknya, jabatan raja yang absolut akan menjadi cela jika dipegang manusia. Sebab manusia lemah, punya nafsu, tak boleh memegang kekuasaan absolut. Manusia sendiri yang mengatakan itu; power tends to corrupt, kekuasaan itu akan memancing korupsi. Dan kekuasaan absolut akan memancing korupsi absolut. Itu baru dari sisi kezaliman bernama korupsi, belum kezaliman lain, seperti menindas rakyat kecil, hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah, dan banyak potensi kezaliman lain.
Allah memegang seluruh kewenangan dan kekuasaan secara absolut, karenanya disebut Raja. Allah memegang kekuasaan legislatif, karenanya menurunkan undang-undang bernama Al-Qur’an untuk mengatur kehidupan manusia agar tak saling merugikan. Allah memegang kekuasaan yudikatif, karenanya menjadi maliki yaumiddin (hakim tunggal di hari pembalasan). Allah memegang kekuasaan eksekutif, karenanya la ya’uduhu hifdhuhuma (tidak lelah dalam memelihara langit dan bumi tiap hari).
Konsekwensi Allah sebagai Raja Langit dan Bumi, semua makhluq harus menempatkan diri sebagai “rakyat” yang taat. Tak boleh melawan Allah dalam tiga aspek kekuasaan tersebut, baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Toh kalau melawan, pada akhirnya akan sampai juga pada pengadilan Allah di akhirat (yaum ad-dien), tak ada yang bisa lolos, setinggi apapun kekuasaannya saat di dunia.
Dien, Sebuah Konsep Ketundukan
Al-Qur’an merupakan dokumen Ilahi yang berisi konsep bagaimana cara Allah memimpin alam semesta, terutama manusia, baik secara global maupun rinci. Sebagai Raja Langit dan Bumi, Allah ingin memastikan seluruh penduduk langit dan bumi tunduk absolut kepada Allah, baik dalam aspek eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Konsep ketundukan dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah dien. Kata dien mengandung kemiripan makna dengan dain (hutang). Dien dan dain sama-sama mengandung makna; timbal balik. Ketundukan (dien) yang diberikan manusia kepada Allah, merupakan timbal balik atas pemberian Allah kepada manusia. Sebagaimana dain (hutang) ada keharusan melunasi karena sebelumnya meminjam.
Dien membawa tiga variasi makna, mirip dengan pembagian kekuasaan dalam trias politica:
Pertama, Dien dengan makna pengadilan atau peradilan (yudikatif). Makna ini terkandung dalam firman Allah:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
“Yang merajai di hari pembalasan.” (QS. Al-Fatihah: 4)
Yaum ad-dien maksudnya hari pembalasan. Hari pengadilan. Hari persidangan. Hari hisab amal. Hari vonis apakah manusia bakal masuk surga atau neraka. Dengan demikian, dien dalam ayat ini membawa makna mekanisme peradilan, atau dalam dunia politik modern disebut kekuasaan yudikatif.
Pada hari pembalasan itu manusia benar-benar tunduk secara absolut. Manusia diadili dengan seadilnya, tak ada hal sekecil apapun yang lolos. Meski manusia di dunia bisa sombong dan durhaka dengan kekuasaan dan kekayaannya, toh pada akhirnya akan tertunduk hina di hadapan Hakim Tertinggi di akhirat.
Pengadilan akhirat ini berguna sebagai peringatan untuk memancing sikap dewasa manusia. Bahwa arogansi di dunia tak ada gunanya, kereka semuanya akan dipertanggung-jawabkan di depan hukum akhirat. Orang dewasa yang berpikir panjang tak akan berani meremehkan pengadilan akhirat.
Kedua, Dien mengandung makna ketundukan spiritual. Tunduk kepada Kitabullah. Syariat Allah. Undang-undang Allah. Konstitusi Allah (legislatif). Secara sukarela. Karena panggilan hati. Ketundukan sukarela ini dinamakan iman.
Manusia punya kekhasan bernama akal. Tak ada yang bisa mengendalikan akal kecuali hati, sebagaimana diterangkan dalam sabda Nabi saw; pada diri manusia terdapat organ (hati), jika ia baik akan baik seluruh anggota tubuh lain, jika rusak akan rusak pula yang lain. Karenanya hati diisi iman, agar ia bisa mengendalikan akal yang suka berkelana liar, dan anggota tubuh lain.
Dien dengan makna ini misalnya terdapat di ayat berikut:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tak ada paksaan dalam mengambil dien (Islam). Telah jelas mana jalan lurus dan mana jalan bengkok. Siapa yang kufur kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, sungguh ia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat… (QS. Al-Baqarah: 256)
Dien dalam ayat ini maksudnya ketundukan sukarela, atau ketundukan spiritual. Tunduk kepada Allah, Rasul-Nya dan Kitab-Nya. Tunduk kepada tata nilai yang tertuang dalam Al-Qur’an dan syariat Islam secara umum.
Mengapa ketundukan ini tak boleh dipaksa? Karena hati tak bisa dipaksa. Hati harus sukarela. Jika seseorang menodongkan pistol kepada orang lain agar hatinya cinta kepada Allah, cinta tak serta merta masuk ke hatinya. Mungkin kepalanya menunduk karena takut dengan todongan itu, tapi hati punya jalan sendiri untuk tunduk, bukan dengan paksaan.
Karenanya hati diminta secara persuasif agar menerima iman. Melalui mata yang membaca dan akal yang memahami. Setelah akalnya tahu bahwa jalan yang ada di hadapannya lurus, diturunkan ke hati menjadi iman. Dengan iman yang mengendap di hati, seluruh organ tubuh bisa nurut kepada syariat Allah atas perintah hati.
Jika dimirip-miripkan dengan konsep manusia, dien dengan makna ini mewakili sisi legislatif atau konstitusi. Manusia tunduk terhadap kitab undang-undang yang Allah turunkan. Tunduk kepada ideologi yang Allah turunkan – Islam. Sebuah tata nilai untuk mengukur baik dan buruk, salah dan benar.
Ketiga, Dien dengan makna ketundukan politik. Ketundukan karena dikalahkan. Terpaksa tunduk kepada pihak lain – Allah SWT. Ketundukannya bukan pada perkara detail, tapi hanya ketundukan global. Ditandai dengan tunduk hormat dan tak mengganggu kerajaan Allah. Tak mengganggu para hamba beriman dalam menunaikan ketundukan sukarela kepada Allah.
Dien dengan makna ini misalnya terdapat di ayat berikut:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ (193)
“Dan perangilah mereka hingga tak ada fitnah, dan dien (ketundukan) kembali kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 193)
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (39)
“Dan perangilah mereka hingga tak ada fitnah, dan seluruh dien (ketundukan) kembali kepada Allah…” (QS. Al-Anfal: 39)
Dien dengan makna kedua di atas, tidak boleh dipaksa, karena domainnya hati yang harus sukarela. Tapi dien dengan makna ketiga ini justru mengandung paksaan, yakni perang untuk menghasilkan dien (ketundukan). Tentu jalan perang hanya akan menghasilkan ketundukan politik, bukan ketundukan hati. Ketundukan hati hanya bisa dihasilkan melalui dakwah, bukan perang.
Ketundukan di sini lebih sebagai ketundukan politik. Domainnya pada kekuatan fisik. Artinya, buatlah kaum kafir itu tunduk secara kekuatan agar mereka tak berani mengganggu kerajaan Allah. Gangguan ini disebut fitnah. Agar stabilitas kerajaan Allah di bumi terjaga.
Jika dimirip-miripkan dengan konsep politik modern, katundukan di sini mewakili aspek eksekutif. Aspek kepemimpinan politik Allah. Bahwa meski kaum kafir tidak mau ruku’ dan sujud secara sukarela kepada Allah, namun mereka harus tunduk tak berani menggunakan senjatanya untuk membuat kekacauan di kerajaan Allah.
Dalam ayat yang lain, ketundukan politik itu ditandai dengan membayar jizyah (pajak kepala) sebagai simbol ketundukan secara politik.
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (29)
Perangilah mereka yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir, tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah, dan tidak tunduk dengan ketundukan yang benar, dari kalangan ahli kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan mereka sendiri dalam keadaan hina (QS. At-Taubah: 29)
Tradisi bayar jizyah atau upeti sebagai tanda ketundukan politik berlaku dalam kerajaan manusia pada zaman dahulu. Caranya, dibayarkan berdasarkan jumlah kepala, dengan nilai tertentu. Dibayarkan tahunan. Jika menolak bayar, akan diperangi kembali hingga mau bayar lagi.
Pada zaman modern, caranya lebih halus. Misalnya Amerika sebagai super power tunggal, memastikan seluruh negara tunduk kepada Amerika dengan kekuatan senjatanya. Upeti yang diminta Amerika lebih halus, misalnya wajib memakai mata uang Dolar yang diterbitkan Amerika sebagai alat transaksi global. Dengan cara itu Amerika mengambil keuntungan. Atau diberi akses untuk mengeruk kekayaan di perut bumi, seperti Freeport di Papua.
Fakta bahwa Amerika bisa menempatkan pangkalan militernya di berbagai titik strategis di dunia menjadi bukti bahwa seluruh negara di dunia tunduk secara politik kepada Amerika. Disamarkan dengan PBB. Meski tak harus tunduk terhadap undang-undang (legislatif) yang berlaku secara internal untuk rakyat Amerika. Dan tak terikat peradilan (yudikatif) di Amerika. Masing-masing negara punya undang-undang sendiri, dan punya sistem peradilan sendiri. Tapi secara politik (eksekutif) tunduk kepada Amerika.
Dengan demikian, ketundukan yang Allah inginkan di balik perintah memerangi kaum kafir adalah ketundukan politik. Wa yakuna ad-dienu kulluhu lillah, hingga ketundukan politik kaum kafir seluruhnya diberikan untuk Allah. Dien dalam ayat ini bermakna ketundukan politik (ketundukan eksekutif) bukan dien dengan makna agama Islam.
Perang bukan cara yang cocok untuk membuat orang menerima Islam, sebab menerima Islam harus dengan sukarela dari hati, tapi dakwah yang cocok. Meski perang berguna untuk melucuti arogansi kaum kafir yang disebabkan arogansi itu tak mau merenungkan kebenaran Islam.
Alurnya menjadi sebagai berikut: Kaum kafir diperangi hingga kalah, agar arogansi yang menempel di hatinya bisa dibuang. Hilangnya arogansi dari hati akan membuka mata dan hati kaum kafir perihal kebenaran Islam yang disodorkan melalui dakwah. Setelah perenungan, hatinya kemudian menerima Islam dengan sukarela.
Kesimpulannya, Islam tidak disebarkan dengan pedang (perang). Tapi disebarkan dengan dakwah. Pedang digunakan untuk memastikan ketundukan politik dan membuang arogansi. Itu saja. Karena memang tak boleh ada paksaan untuk menerima Islam (la ikraha fie ad-dien). Tapi boleh ada paksaan untuk melucuti kekuatan dan membuang arogansi (wa qotiluhum hatta laa takuna fitnah wa yakuna ad-dienu kulluhu lillah).
Allah hanya akan memberi pahala atas ketundukan sukarela, dengan mengamalkan seluruh ajaran Islam. Tidak memberi pahala atas ketundukan politik. Tapi Allah meminta kita untuk “membantu-Nya” dalam memerangi kaum kafir agar mereka tunduk secara politik. Jika terlaksana, maka kerajaan Allah menjadi kerajaan yang sempurna, semua makhluk-Nya tunduk kepada-Nya tanpa kecuali. Mereka yang beriman tunduk secara sukarela, sementara mereka yang kafir tunduk secara politik. Keduanya disebut dengan istilah dien.
والله أعلم بالصواب