Himayah Foundation – Terkena Najis, Haruskah Mengulang Wudhu?
Pertanyaan:
Ada sebuah pertanyaan menarik, “Apa hukum orang yang terkena percikan air kencing ketika dia sedang kencing seperti biasa, atau kencing dengan terburu-buru?”. Pertanyaan ini menarik karena akan memunculkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pertanyaan di atas. Misalnya, apakah ia harus mandi karena pakaiannya terkena percikan air kencingnya (baca: najis)? Apakah harus dicuci secara keseluruhan ataukah hanya bagian yang terkena najis saja? Apa hukumnya bila seorang muslim ragu jika ia belum mencuci bagian yang terkena najis? Apakah orang yang sudah shalat, sementara dia ragu (bahwa ia belum mencuci bagian yang terkena najis) harus mengulangi shalatnya? Lantas, apa perbedaan antara hadats dan najis?
Lebih dari itu, bila dikaitkan dengan problem kebanyakan orang tua yang masih memiliki anak balita, maka pertanyaan yang sering menggelayut dalam benak mereka adalah apakah pakaian yang terkena najis, entah kencing atau berak anak membatalkan wudhu? Ataukah cukup dengan membersihkan bagian yang terkena najis saja?
Jawaban:
Yang pertama, setiap orang muslim harus menjauhi najis, dan berusaha menghindari najis, dengan sepenuh kesungguhan. Karena tidak membersihkan diri dari najis dikategorikan sebagai dosa besar, dan diancam dengan siksa di alam kubur.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِى قُبُورِهِمَا، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – : « يُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ »، ثُمَّ قَالَ: « بَلَى، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ »، ثُمَّ دَعَا بِجَرِيدَةٍ فَكَسَرَهَا كِسْرَتَيْنِ، فَوَضَعَ عَلَى كُلِّ قَبْرٍ مِنْهُمَا كِسْرَةً، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: « لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ تَيْبَسَا أَوْ إِلَى أَنْ يَيْبَسَا »
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Nabi – صلى الله عليه وسلم – melewati sebuah kebun di Madinah atau Mekah, lalu mendengar suara dua manusia yang disiksa dalam kubur keduanya. Maka Nabi – صلى الله عليه وسلم – bersabda, “Keduanya disiksa, dan keduanya tidak disiksa karena masalah yang besar.” Kemudian beliau melanjutkan, “Adapun yang satunya, ia tidak bersuci dari air kencingnya, sementara yang satunya suka mengadu domba.” (HR. Bukhari).
Adapun terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka jawabannya adalah sebagai berikut:
- Najis yang mengenai pakaian manusia tidak mewajibkan harus mandi, karena najis bukan termasuk pembatal wudhu. Karena najis bukan termasuk pembatal wudhu, atau mandi; mandi hanya wajib untuk hadats besar, sedangkan wudhu untuk hadats kecil. Sementara najis bukan hadats. Maka, jika ada orang yang bersuci kemudian pakaiannya terkena najis, maka ia bukan orang yang berhadats. Dan yang diwajibkan baginya adalah menghilangkan najis. Sebagaimana firman Allah, “Wa tsiyâbaka fa thahhir, dan pakaianmu, maka bersihkanlah.” (Al-Mudatstsir: 4), dan juga sabda Nabi – صلى الله عليه وسلم -, tentang darah haid yang mengenai pakaian, “Tahuttuhu tsumma taqrudhuhu bil mâ’i tsumma tandhahuhu tsumma tushallî fîh, Kamu gosok, lalu kucek dengan jemari atau kuku, kemudian cuci dengan air sedikit demi sedikit (dicuci hingga bekasnya hilang), setelah itu, shalatlah dengannya.” (HR. Al-Bukhari). Jika najisnya memungkinkan untuk diperas, maka harus diperas.
- Menghilangkan najis adalah dengan mencuci bagian yang terkena najis hingga bekas najisnya hilang. Maka jika najis mengenai baju, maka yang wajib dicuci adalah bagian yang terkena najis saja, dan tidak dicuci keseluruhan, dan mengganti pakaiannya. Tetapi jika ia ingin mengganti bajunya maka tidak mengapa.
- Adapun terkait hukum shalat dengan menggunakan pakaian yang terkena najis, maka perlu diketahui bahwa bersuci dari najis adalah syarat sah shalat. Jika ia tidak bersih dari najis, maka shalatnya batal. Karena dia shalat dalam keadaan memakai pakaian yang ternodai dengan najis. Ini berarti shalat dalam bentuk yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak juga sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sementara Nabi – صلى الله عليه وسلم -, pernah bersabda, “Sesiapa yang beramal tidak berdasarkan perintah kami, maka ia tertolak.”
Ada beberapa kondisi najis yang mengenai pakaian:
a. Orang tersebut tahu dengan pasti bahwa ada bagian tertentu dari pakaiannya yang terkena najis, maka ia wajib mencuci bagian tersebut.
b. Ia berprediksi kuat bahwa najis telah mengenai bagian tertentu (dari pakaiannya).
c. Ia ragu-ragu tentang bagian yang terkena najis. Maka terhadap kondisi kedua dan ketiga, ia harus berhati-hati, dan ia mencuci bagian yang diduga kuat terkena najis. (lihat Asy-Syarh Al-Mumti’, Ibnu Utsaimin: 2/221).
Adapun terkait dengan orang yang tidak tahu bahwa ia terkena najis, maka Syaikh bin Bazz menjawab, “Jika ia tidak tahu najisnya, kecuali setelah shalatnya selesai, maka shalatnya sah. Karena ketika Nabi – صلى الله عليه وسلم – sedang shalat, beliau dikabari oleh Jibril Alaihis Salam bahwa di sandal beliau ada kotorannya, lalu beliau langsung melepas kedua sandalnya, dan tidak mengulangi awal shalat. Begitu juga dengan orang yang tahu (bahwa ia terkena najis) sebelum shalat, kemudian dia lupa, lalu shalat, dan tidak ingat kecuali setelah shalat (ia tidak perlu mengulang shalatnya), berdasarkan firman Allah,
( ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا ).
Dan jika ia ragu tentang keberadaan najis di pakaiannya, sedangkan ia sedang shalat, maka ia tidak boleh berpaling dari shalat, baik berstatus sebagai imam, ataupun shalat sendirian, dan ia harus menyempurnakan shalatnya. (Fatâwâ Syaikh Ibn Bâzz: 12/396-397).
- Terkait dengan ragu dalam menghilangkan najis: jika najis mengenai pakaiannya, maka ini menjadi asalnya sehingga harus dicuci. Hilangnya keraguan ini dengan hilangnya najis. Jika ia ragu, apakah ia sudah menghilangkan najis, atau tidak, maka hal ini harus disandarkan pada keyakinan. Jika ia yakin masih najis, berarti masih najis. Begitupula sebaliknya, jika yakin suci, kemudian ia ragua apakah pakaiannya terkena najis atau tidak, maka asalnya adalah suci karena inilah yang diyakini.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Manusia dengan pakaiannya pada asalnya adalah suci, selama ia tidak yakin adanya najis yang mengenai badan atau bajunya. Asal ini dipersaksikan oleh sabda Nabi ketika ada seorang lelaki yang mengadukan bahwa ia mendapat sesuatu dalam shalatnya (baca: hadatas), lalu Nabi bersabda, “Jangan beranjak hingga engkau mendengar suara atau bau (kentut).”
Maka, selama seseorang tidak meyakini adanya najis, maka asalnya adalah suci. Terkadang, terlintas pakaiannya terkotori oleh najis, tetapi selama ia yakin (tidak najis), maka asalnya adalah tetap suci.” (Fatâwâ Ibn Utsaimîn: 11/107).
Adapun perbedaan antara hadats dan najis. Hadats adalah sebuah hukum yang ditujukan pada tubuh seseorang dimana karena hukum tersebut dia tidak boleh mengerjakan shalat. Dia terbagi menjadi dua: Hadats akbar yaitu hadats yang hanya bisa diangkat dengan mandi junub, dan hadats ashghar yaitu yang cukup diangkat dengan berwudhu atau yang biasa dikenal dengan nama ‘pembatal wudhu’.
Adapun najis maka dia adalah semua perkara yang kotor dari kacamata syariat, karenanya tidak semua hal yang kotor di mata manusia langsung dikatakan najis, karena najis hanyalah yang dianggap kotor oleh syariat. Misalnya tanah atau lumpur itu kotor di mata manusia, akan tetapi dia bukan najis karena tidak dianggap kotor oleh syariat, bahkan tanah merupakan salah satu alat bersuci.
Kemudian yang penting untuk diketahui adalah bahwa tidak ada korelasi antara hadats dan najis, dalam artian tidak semua hadats adalah najis demikian pula sebaliknya tidak semua najis adalah hadats.
Contoh hadats yang bukan najis adalah mani dan kentut. Keluarnya mani adalah hadats yang mengharuskan seseorang mandi akan tetapi dia sendiri bukan najis karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah shalat dengan memakai pakaian yang terkena mani, sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah. Demikian pula buang angin adalan hadats yang mengharuskan wudhu akan tetapi anginnya bukanlah najis, karena seandainya dia najis maka tentunya seseorang harus mengganti pakaiannya setiap kali dia buang angin.
Contoh yang najis tapi bukan hadats adalah bangkai. Dia najis tapi tidak membatalkan wudhu ketika menyentuhnya dan tidak pula membatalkan wudhu ketika memakannya, walaupun tentunya memakannya adalah haram. Jadi, yang membatalkan thaharah hanyalah hadats dan bukan najis.
Karenanya jika seseorang sudah berwudhu lalu dia buang air maka wudhunya batal, akan tetapi jika setelah dia berwudhu lalu menginjak kencing maka tidak membatalkan wudhunya, dia hanya harus mencucinya lalu pergi shalat tanpa perlu mengulangi wudhu, dan demikian seterusnya.
Kemudian di antara perbedaan antara hadats dan najis adalah bahwa hadats membatalkan shalat sementara najis tidak membatalkannya. Hal itu karena bersih dari hadats adalah syarat syah shalat sementara bersih dari najis adalah syarat wajib shalat. Dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudri di mana tatkala Nabi – صلى الله عليه وسلم – sedang mengimami shalat, Jibril memberitahu beliau bahwa di bawah sandal beliau adalah najis. Maka beliau segera melepaskan kedua sandalnya -sementara beliau sedang shalat- lalu meneruskan shalatnya. Seandainya najis membatalkan shalat tentunya beliau harus mengulangi dari awal shalat karena rakaat sebelumnya batal. Tapi tatkala beliau melanjutkan shalatnya, itu menunjukkan rakaat sebelumnya tidak batal karena najis yang ada di sandal beliau. Jadi orang yang shalat dengan membawa najis maka shalatnya tidak batal, akan tetapi dia berdosa kalau dia sengaja dan tidak berdosa kalau tidak tahu atau tidak sengaja.
Adapun terkait dengan orang tua atau ibu yang membersihkan kencing atau berak anaknya, dan menyentuh najis, maka apakah wudhunya batal dengan hal tersebut?
Dalam hal ini, Syaikh Ibn Bazz Rahimahullah pernah ditanya tentang dokter yang dalam operasinya terkadang terkena darah atau kencing, maka apakah ia harus mengulangi wudhunya? Kemudian beliau menjawab bahwa hal tersebut tidak membatalkan wudhu; -tetapi jika menyentuh aurat, baik qubul maupun dubur, maka ini membatalkan wudhu, adapun menyentuh darah atau kencing ataupun najis yang lain, maka tidak membatalkan wudhu, tetapi bagian yang terkena harus dicuci.” (Majmû Fatâwa Ibn Bâzz: 6/20).
Dari berbagai sumber.
Sepenuh Cinta, Akhukum fillah.