Terbaik Untuk-Nya

TERBAIK

Dikisahkan ada seorang tukang bangunan yang telah lama berkerja bersama seorang kontraktor. Saat usanya sudah mulai tua si tukang merasa dirinya tidak mampu lagi berkerja berat, maka ia meminta izin kepada kontraktor untuk berhenti berkerja.

Si kontraktor pun mengizinkan namun dengan syarat si tukang membangun satu rumah yang menjadi karya terakhirnya. Karena ingin cepat selesai, si tukang pun mengerjakannya dengan asal-asalan, yang penting selesai.

Setelah bangunan jadi, si tukang memberikan kunci kepada si kontraktor, dan kontraktor pun mengembalikan kunci tersebut kepada si tukang dan berkata sebagai penghargaan rumah ini untukmu, seketika itupun si tukang terkejut dan menyesal, ia tidak sadar bahwa rumah terakhir yang ia kerjakan itu adalah rumah miliknya. Jika ia menyadari pasti akan dikerjakan dengan sebaik-baiknya ujarnya dalam hati.

Dari kisah ini ada pelajaran penting yang harus kita ambil, dalam kehidupan ibadah, manusia banyak menyangka bahwa ibadah yang ia lakukan itu menjadi kebutuhan Allah. Allah butuh terhadap ibadah hamba-Nya. Sehingga ia beribadah dengan asal-asalan, yang penting selesai.

Padahal Allah tidak butuh terhadap ibadah hamba-Nya, justru hamba lah yang butuh ibadah kepada Allah. Sekiraya seluruh makhluk dari awal hingga akhir taat beribadah kepada Allah niscaya tidak akan menambah sedikitpun kemuliaan Allah, dan sekiranya seluruh makhluk dari awal hingga akhir membangkang tidak mau beribadah kepada Allah pun hal itu tidak mengurangi sedikitpun kemuliaan Allah. Inilah penjelasan dalam hadits qudsi.

Maka lakukanlah ibadah terbaik, karena ibadah yang kita lakukan pada dasarnya akan kembali untuk diri kita sendiri.Hamba butuh ibadah kepada Allah tidak sebaliknya, Sebagaimana firman Allah:

إِنۡ أَحۡسَنتُمۡ أَحۡسَنتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡۖ وَإِنۡ أَسَأۡتُمۡ فَلَهَاۚ

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. (QS. Al-Isra’:7)

Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari karena tidak maksimal dalam ibadah. Karena di akhirat orang shalih pun menyesal karena tidak maksimal dalam beribadah ketika di dunia setelah melihat betapa besarnya pahala yang didapatkan. Lantas bagaimana dengan penyesalan orang kafir, dhalim dan munafik tidak mereka tidak memiliki tabungan amal? wallahu a’lam.

Ust. Zaid Royani, S.Pd.I – Ketua Himayah Foundation

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *