Tempat-Tempat Terlarang Untuk Shalat

Tempat-Tempat Terlarang Untuk Shalat

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يصلى في سبعة مواطن: في المزبلة والمجزرة والمقبرة وقارعة الطريق وفي الحمام وفي معاطن الإبل وفوق ظهر بيت الله.

“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang menunaikan shalat di tujuh tempat; tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan hewan, kuburan, di tengah-tengah jalan, di kamar mandi, di kandang unta dan di atas bangunan ka’bah.” (HR. At-Tirmidzi No. 346).

Di antara hal penting yang perlu kita perhatikan sebelum melaksanakan shalat adalah memastikan bahwa tempat yang digunakan untuk shalat bukan tempat-tempat yang terlarang. Terdapat beberapa tempat yang terlarang untuk digunakan sebagai tempat shalat.

Pertama, tanah ghashab (rampasan). Artinya shalat yang dikerjakan di tempat yang dimiliki dengan cara mengghashaab/ merampas. Dalam hal ini mazhab Hanafi berpendapat bahwa shalatnya tetap sah. Karena yang haram dan dilarang itu adalah ghashabnya, bukan perbuatan shalatnya. (Hasyiyah Raddil Mukhtar, 2/502)

Menurut mazhab Maliki, manakala di atas tanah tersebut dibangun bangunan oleh orang yang mengghashab, maka haram shalat di dalamnya. Sedangkan tanah ghashab yang tidak dibangun bangunan oleh orang yang mengghashab, maka boleh shalat di atas tanah tersebut. Tetapi kalaupun terlanjur melaksanakan shalat di atas tanah ghashab yang sudah dibangun oleh orang yang mengghashab, shalatnya dianggap sah. (Syarhul Khalil Lil Kharasyi, 3/237)

Menurut mazhab Syafi’i, orang yang shalat di atas tanah ghashab adalah sah. Imam an-Nawawi berkata, “Shalat di atas tanah ghashab adalah haram berdasarkan ijmak para ulama. Akan tetapi, menurut kami dan mayoritas fuqaha’ shalatnya dianggap sah. Adapun menurut Imam Ahmad bin Hambal, al-Jubbai dan yang lainnya shalatnya batal (Al-Majmu’ Syarhul Muhazzab, 3/164)

Menurut mazhab Hambali, shalat yang dikerjakan di atas tanah ghashab tidaklah sah. Hal ini karena shalat dikerjakan di atas tanah yang hukumnya haram baginya. (Daliluth Thalib ‘Ala Mazhab al-Mubajjal Ahmad bin Hambal, 27)

Kedua, kuburan. Menurut mazhab Hanafi, shalat di kuburan hukumnya makruh. Hal ini karena Nabi SAW melarang umatnya shalat di kuburan. Rasulullah SAW bersabda,

“Seluruh bumi adalah masjid (boleh digunakan untuk shalat) kecuali kuburan dan tempat pemandian.” (HR. At-Tirmidzi No. 317; HR. Ibnu Majah No. 745; HR. Ad-Darimi No. 1390; HR. Ahmad, 3/83. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Mazhab Hanafi membolehkan shalat di kuburan asalkan dikerjakan di tempat khusus shalat dan bersih dari najis. lbnu Abidin dari mazhab Hanafi berkata, “Tidak mengapa shalat di dalamnya yaitu kuburan, jika di dalamnya disediakan tempat untuk shalat dan tidak ada makam di dalamnya serta tempat tersebut bersih dari najis.” (Hasyiah lbnu Abidin, 1/380)

Menurut mazhab Maliki, shalat di kuburan hukumnya boleh dan begitu juga di kamar mandi, asalkan tempat-tempat tersebut dalam kondisi suci bersih dari benda najis. Ibnu Qasim berkata, “Hadits yang melarang shalat di kuburan maksudnya adalah kuburan orang-orang musyrik”. (At-Taj wal lklil li Mukhtashar Khalil,1/345). Pendapat ini menyandarkan pada hadits Rasulullah,

“Seluruh bumi dijadikan sebagai tempat shalat dan untuk bersuci. Siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka shalatlah di tempat tersebut.” (HR. Al-Bukhari No.438; HR. Muslim No. 521)

Menurut mazhab Syafi’i, shalat di kuburan hukumnya makruh. An-Nawawi berkata, “Apabila telah dipastikan bahwa kubur tersebut keluar, maka shalat di dalamnya tidak sah manakala tidak membentangkan sesuatu di bawahnya. Tetapi, bila bisa dipastikan tidak ada yang keluar maka shalatnya sah dan tidak ada perbedaan pendapat dari para ulama. Shalat di kuburan hukumnya makruh tanzih. Sedangkan ketika ragu-ragu ada yang keluar apa tidak dari kubur tersebut, maka ada dua pendapat yaitu shalatnya sah akan tetapi makruh dan tidak sah shalatnya.” (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 6/495)

Mazhab Hambali memiliki dua pendapat soal ini. Ibnu Qudamah berkata, “Ada perbedaan riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal; diriwayatkan bahwa beliau berpendapat tidak sah shalat yang dikerjakan di kuburan dalam kondisi apapun, dan dalam riwayat yang lain, beliau berpendapat bahwa shalat yang dikerjakan di kuburan adalah sah selama tidak ada najis di tempat tersebut. (Al-Mughni, 1/754)

Ketiga, di tengah Jalan, yaitu jalan yang dilalui oleh orang. Sedangkan jalan yang tidak terpakai atau di sisi jalan yang tidak dilalui oleh orang, maka tidak dilarang (menunaikan) shalat di dalamnya.

Sebab dilarang shalat di tengah jalan karena mempersempit (jalan) orang dan menghalangi lalu lalang serta mengganggu dirinya sehingga menghalangi kesempurnaan shalatnya. Shalat di tengah jalan hukumnya makruh dan bisa jadi haram jika menghalangi orang lewat atau khawatir menyebabkan dirinya kesulitan atau terjadi kecelakaan atau yang lainnya.

Dikecualikan dari hal itu, jika ada keperluan atau darurat seperti shalat Jumat atau ‘Id di jalan jika masjid telah penuh sesak. Hal ini telah biasa dilakukan oleh umat Islam.

Keempat, kamar mandi yaitu tempat yang digunakan untuk mandi. Telah ada ketetapan dari Nabi SAW tentang larangan shalat di kamar mandi dalam hadits Abi SaId al-Khudhri, Rasulullah SAW bersabda,

“Seluruh bumi adalah masjid (boleh digunakan untuk shalat) kecuali kuburan dan tempat pemandian” (HR.At-Tirmidzi No. 317; HR. Ibnu Majah No. 745; HR.Ad-Darimi No. 1390; HR. Ahmad 3: 83. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Hadits di atas menunjukkan batalnya shalat di dalam kamar mandi. Illat (sebab) larangan shalat di dalamnya karena kamar mandi merupakan tempat tinggal setan dan tempat dibukanya aurat.

Kalau shalat di kamar mandi saja dilarang, maka larangan shalat di tempat buang air (WC) yaitu tempat membuang kotoran, lebih utama lagi untuk dilarang. Tidak adanya (dalil tentang) larangan shalat di WC. karena bagi setiap orang berakal, apabila mendengar Nabi SAW melarang shalat di tempat mandi, dia akan mengetahui bahwa shalat di WC pelarangannya lebih utama lagi.

Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar tentang masalah ini, “Tidak ada nash yang khusus, yakni larangan shalat di dalam WC, karena masalahnya sangat jelas bagi kaum muslimin bahwa hal itu tidak memerlukan dalil lagi.” (Majmu Fatawa, 25/240)

Kelima, kandang unta yaitu tempat dikumpulkannya unta. Illat (sebab) larangannya adalah bahwa kandang adalah tempat tinggal tinggal para setan, dan kalau untanya berada di dalam, maka (dapat) mengganggu orang yang shalat dan menghalangi kesempurnaan khusyuk karena khawatir dari gangguannya.

Salah satu pendapat imam Ahmad menyatakan bahwa hukumnya makruh shalat di kandang unta. Akan tetapi, Shalat yang di kerjakan di dalamnya tetap Sah. (Al-Mughni, 1/754)

Keenam, di atas bangunan Ka’bah. Para ulama melarang hal tersebut, karena tidak dapat menghadap kiblat, akan tetapi hanya menghadap sebagiannya (saja) karena sebagian Ka’bah berada di belakang punggungnya. Sebagian ulama lainnya berpendapat sah shalat di atas Ka’bah Karena telah ada ketetapan bahwa Nabi SAW shalat di dalam Ka’bah waktu penaklukan Mekkah. Maka demikian juga hukumnya shalat di atasnya.

Menurut mayoritas ulama shalat di atas bangunan Ka’bah dilarang. Menurut mazhab Syafi’i Makruh hukumnya shalat di atas bangunan Ka’bah. Dan shalat yang dikerjakannya sah. (Mughni al-Muhtaj,1/200)

Ketujuh, shalat di dalam gereja. Para Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada sebagian yang memakruhkannya dan sebagian yang lain membolehkan dengan syarat bersih dari najis. Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hambali berkata, “Tidak masalah melaksanakan shalat di dalam gereja asalkan bersih (dari najis). Ini adalah pendapat dari al-Hasan al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, asy-Sya’bi,al-Auza’i dan Sa’id bin Abdul Aziz.” (Al-Mughni, 1/7 59) Wallahu ’alam. [Luthfi Fathoni-majalah hujjah 49 ]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *