TAUHID, SPIRIT PEMBEBASAN MELAWAN KEZALIMAN
Tauhid Asas Ajaran para Nabi
Pondasi risalah yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul adalah tauhid. Seruan untuk mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadatan; memperuntukkan totalitas ketundukan, hidup dan mati hanya untuk dan karena Allah. Allah Ta’ala berfirman,
“Tidaklah Kami mengutus seorang Rasulpun sebelummu (wahai Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak sesembahan yang hak melainkan Aku, maka beribadahlah kamu hanya kepadaKu.” (QS. Al-Anbiya: 25)
Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami para Nabi bersaudara dari ibu dan ayah yang berbeda, namun agama kami satu.” (HR. Al-Bukhari)
Tauhid berarti pula meniadakan dan mengingkari segala bentuk peribadatan selain kepada Allah lalu memperuntukkan ibadah hanya untuk Allah. Tidak seorangpun makhluk boleh mengekspresikan syaiar syiar ta’abudyah kepada makhluk, baik berupa ketundukan, ketaatan, takut dan harap. Jika secara lahiriyah nampak ada ketundukan, ketaatan, takut dan harap itu hanyalah ketundukan dan ketaatan yang derajatnya dibawah ketundukan dan ketaatan kepada Allah.
Tauhid Spirit Pembebasan
Islam bertujuan menjaga agar manusia tetap berada di atas fitrahnya, yaitu kesiapan untuk menerima ajaran Allah. Islam memerdekakan manusia dari segala bentuk peribadatan kepada sesama makhluk menuju peribadatan hanya kepada Al-Khaliq. Islam hendak membebaskan manusia dari kezaliman sesama manusia menuju keadilan sejati dalam naungan syariat Rabbul Izzati. Sebab tidak ada keadilan yang menentang dan berseberangan dengan syariat Allahu yang Maha Adil. Oleh karena tauhid menjadi pondasi seluruh ajaran para Nabi, tauhidlah menjadi nilai yang menjamin setiap keyakinan, perkataan dan perbuatan manusia tetap berada pada koridor keadilan. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada setiap umat seorang rasul untuk menyerukan kepada mereka “Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut…” (QS. Al An’am: 36)
Sebaliknya kezaliman adalah bentuk penyelewengan dari konsep tauhid, oleh sebab itu kezaliman yang paling besar adalah kesyirikan. Allah Ta’ala mengisahkan nasihat Lukman kepada putranya dalam firmanNya,
“Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesunggungnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang paling besar.” (QS. Lukman: 13)
Kesyirikan disebut sebagai kezaliman karena orang yang menyekutukan Allah berarti memperuntukan ibadah bukan kepada yang berhak, yaitu Allah Ta’ala. Adakah yang kezaliman yang lebih besar daripada menyelewengkan hak Allah atas makhluk ciptaanNya? Oleh itu pula Allah menyebutkan kaum musyrikin sebagai kaum yang zalim.
Jika tauhid bermakna mengesakan Allah dalam perkara yang menjadi hak-hak Allah atas hamba-hambaNya, dan syirik berarti menduakan Allah dalam perkara yang menjadi hak Allah, oleh karena mengatur hidup manusia, menetapkan hukum, adalah bagian dari hak Allah, maka memberikan hak mengatur dan menetapkan hukum kepada sasama manusia, menetapkan hukum yang bertentangan dengan dengan hukum Allah, menjadikannya sebagai undang-undang dalam kehidupan, adalah bentuk perbuatan menyekutukan Allah dengan makhluk. Karena Allah adalah Rabbul Alamin, Allah adalah Al-Hakim, Allah adalah Al-Malik. Dan ketaatan kepada kepada makhluk dalam perkara yang jelas bertentangan dengan ketetapan dan hukum Allah adalah bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Dan jelas ini adalah kezaliman yang nyata. Allah Ta’ala berfirman,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Dan mereka menjadikan rahib-rahib dan para pendeta mereka sebagai Tuhan selain Allah.” (QS, At-Taubah: 31)
Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits bahwa ketika Adi bin Hatim datang ke Madinah dan menghadap Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, ia datang dengan mengalungkan salib di lehernya. Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam membaca firman Allah, “Mereka menjadikan rahib-rahib dan para pendeta mereka sebagai Tuhan selain Allah…” Adi bin Hatim menimpali, “Mereka tidak pernah menyembah para rahib dan pendeta mereka.” Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukankah para rahib dan para pendeta mereka menghalalkan yang diharamkan oleh Allah dan mengharamkan yang dihalalkan oleh ALlah untuk mereka lantas mereka mentaatinya?” Adi bin Hatim menjawab, “Benar.” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itulah ibadah kepada para rahib dan pendeta mereka.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Sementara itu Abdullah bin Abbas dan Hudzifah Ibnul Yaman menerangkan bahwa maksudnya adalah bahwa mereka (kaum ahli kitab) mengikuti para pendeta dan rahib mereka dalam segala hal yang mereka halakan maupun yang mereka haramkan.
Jadi tauhid membebaskan manusia dari pengkultusan dan peribadatan kepada sesama makhluk dalam segala bentuknya, lalu mengkhususkan segala bentuk ibadah -yang mana ketaatan mutlak termasuk didalamnya- hanya kepada dan karena Allah semata.
Dakwah Tauhid Mendukung Kezaliman?
Tauhid juga berkonsekuwensi menegasikan segala bentuk kezaliman kepada sesama makhluk. Karenanya orang yang bertauhid adalah hamba Allah yang paling bisa berbuat adil kepada makhluk. Sebaliknya paling jauh dari segala bentuk kezaliman kepada sesama makhluk. Maka orang yang bertauhid dengan tauhid yang benar tidak akan pernah menjadi para pendukung kezaliman. Orang yang bertauhid pasti memahami bahwa Allah telah mengharamkan sifat zalim bagi diriNya dan menjadikannya haram pula atas sesama makhlukNya.
Namun, ada yang ganjil pada sebagian orang yang menasbihkan diri mereka sebagai pembawa bendera dakwah tauhid, akan tetapi pada saat yang sama memberi legitimasi terhadap berbagai tindakan zalim dan kesewenang-wenangan para penguasa sekuler bahkan kafir. Mendukung para penguasa yang menolak dan melawan syariat Allah sekalipun. Ini jelas adalah pemahaman yang keliru tentang hakikat tauhid. Allah Ta’ala berfirman memperingatkan orang-orang yang condong dan mendukung orang-orang zalim,
“Janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim sehingga kamu terkena api neraka…” (QS. Hud: 113)
Imam Ibnu Katsir menjelaskna, “Maksudnya janganlah kamu menolong orang-orang yang zalim, sehingga seakan kalian meridhai segala perbuatan mereka.”
Seseorang bertanya kepada Sufyan Ats Tsauri, “Saya bekerja menjahitkan pakaian orang-orang zalim, apakah saya termasuk mendukung mereka?” Beliau menjawab, “Kamu tidak termasuk pendukung mereka, akan tetapi kamu adalah bagian dari mereka, dan orang yang menjual jarum kepadamu itulah yang termasuk pendukung mereka.”
Alangakah indah nasihat yang ditujukan kepada Az-Zuhri oleh para ulama pada masanya, ketika mereka menyaksikan Az-Zuhri dekat dengan para penguasa,“Semoga Allah menjaga kami dan Anda wahai Abu Bakar, dari fitnah. Kini engkau berada dalam keadaan dimana siapapun yang mengenalmu selayaknya mendoakan agar Allah melimpahkan rahmatNya kepadamu. Engkau sudah menjadi seorang tokoh besar, dan teramat banyak nikmat yang telah Allah limpahkan kepadamu berupa kepahaman kepada kitabNya dan Sunnah Nabimu, Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dan bukan untuk hal yang demikian itu Allah mengambil janji dari pada ulama. Allah berfirman, “Agar kamu menjelaskannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.” ketahuilah bahwa hal paling ringan dan dosa paling kecil yang dilakukan oleh orang yang dekat dengan orang yang zalim adalah ia akan merasa nyaman bersama orang yang zalim. Dengan kedekatanmu engkau bisa jadi menjadi pemulus jalan penyimpangan bagi penguasa yang tidak memberikan hak rakyat dan tidak pula menunaikan kewajibannya. Ketika mereka semakin dekat denganmu, mereka menjadikanmu sebagai alat untuk meligitimasi kesalahan mereka. Mereka jadikan kamu sebagai jembatan kezaliman mereka, mereka jadikan kamu sebagai tangga untuk kesesatan mereka, dengan keberadaanmu mereka menebar kebingungan terhadap para ulama, dan denganmu pula mereka menarik simpati orang-orang bodoh. Dengan sangat mudah mereka bisa memberi kesenangan kepadamu namun pada saat yang sama mereka menghancurkan bagian lain dari dirimu; mereka mengambil banyak keuntungan dengan merusak agamamu, sehingga engkau tidak ada jaminan engkau tidak termasuk golongan yang Allah firmankan dalam kitabNya, “Kemudian datanglah sesudah mereka pengganti yang menyianyiakan shalat dan memperturutkan syahwat maka mereka akan dilemparkan kedalam kesengsaraan.” (QS. Maryam: 59). Sungguh Engkau berhadapan dengan dia yang tidak bodoh, yang senantiasa menjagamu dan tidak pernah lalai. Maka obati agamamu yang sakit, persiapkan bekalmu karena perjalanan panjang itu semakin dekat. Sedangkan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah baik dilangit maupun dibumi. Wassalam.”
Demikianlah ilmu semestinya menjadikan pemiliknya sebagai orang yang adil sebab ilmu adalah cahaya dan petunjuk yang akan menuntun kejalan yang lurus. Sebagaimana sebaliknya kejahilan menjadi sebab utama terjerumusnya seseorang kepada kezaliman. Oleh itu orang yang tetap dalam kezaliman setelah sampai ilmu kepadanya maka ia telah menambahkan sifat khianat terhadap ilmu yang telah diketahuinya. Mudah-mudahan Allah meneguhkan kita di atas tauhid dan menjauhkan kita dari kezaliman dan orang-orang zalim.
[Ust. Ibnu Syarqi ]