Tangan Tangan Barakah

 

Sebagai muslim, membicarakan harta memang bukan hanya tentang bagaimana memperoleh dan membelanja-kannya. Namun juga, dan ini jauh lebih penting, tentang bagiamana kondisi hati kita dalam menyikapinya. Salah me-manage, kelimpahan harta malah bisa jadi memiskinkan hati kita. Sehingga kita menjadi orang kaya yang miskin, sebab tidak pernah merasa puas dengan apapun dan berapapun yang kita miliki.

 

Titipan Yang Dikuasakan

Pertama kali yang harus kita ingat sebagai pemegang harta adalah bahwa ia mutlak milik Allah. Bukan milik kita sendiri. Sebab bukan kita yang membuat. Kita hanyalah mencari dan mengumpulkannya. Dan, Allah-lah yang telah mengijinkan dan memberi kemudahan  kepada kita menguasai pengelolaannya. Jujur saja, ada banyak manusia yang lebih pintar dan lebih keras berkerja daripada kita untuk mengumpulkan harta, namun tidak mendapatkan sebanyak yang kita dapatkan.

Karenanya, adalah satu kesombongan jika kita membanggakan harta yang kita miliki karena merasa sebagai empunya. Padahal yang sebenarnya, Allah-lah yang mengaruniakan kepada kita, meski untuk mendapatkannya kita harus bekerja keras membanting tulang. Sebab kerja keras bukanlah mesin produksi harta. Ia hanyalah mesin pencari sebagai pembuka jalan rejeki. Faktanya, banyak juga mesin pencari yang kecele (tertipu) dan mandul.

 

Peran Sosial

Karena hanya titipan, maka pengelolaan harta akan dimintai pertanggung jawaban di sisi Allah kelak. Ia bukan hanya alat pemuas kesenangan pribadi, yang atas namanya, segala bentuk ‘pembiayaan mubah dan dosa’ merajalela. Hal yang akan menimbulkan kesenjangan sosial dan berpenyakit kemasyarakatan yang lain.

Pengelolaan harta haruslah bijaksana sebab titipan ini bernilai sosial. Alias ada hak orang lain di dalam harta kepunyaan kita itu. Ia bisa bernama fakir miskin, kerabat, tamu, masyarakat, hingga usaha-usaha iqamatuddin. Hal ini agar harta kita berbarakah karena bisa memberi manfaat secara luas. Sehingga kemaslahatan umat terwujud nyata dan bukan hanya angan-angan kosong. Karena hakikatnya, masyarakat adalah wakil Allah di muka bumi yang memiliki hak atas kemanfaatan harta para aghniya’ yang notabene juga anggotanya. Allah berfirman, “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian.” (QS. An-Nuur: 33)

Pada kenyataannya banyak manusia yang ‘lupa daratan’ ketika bergelimang harta, dan tidak peduli dengan berbagai bentuk penyimpangan realisasi anggaran pembelanjaan yang sia-sia, atau bahkan menimbulkan kerusakan sosial yang dampak negatifnya bisa sangat luas.

 

Pedang Bermata Dua

Menjadi hartawan yang dermawan tidaklah mudah. Apalagi jika kedermawanan itu ikhlas dilakukan karana Allah. Dorongan antara keinginan memiliki, membanggakan, memuaskan sebanyak mungkin keinginan, hingga mencari berbagai rasa aman karena kepemilikannya, seringkali tidak menyisakan rupiah yang pantas untuk dibagikan kepada orang-orang lain yang membutuhkannya. Kalaupun ada derma, biasanya hanya dari recehan sisa yang kadang tidak cukup memenuhi rasa lapar si peminta. Sedang pemberinya sendiri, seringkali menjadi semacam ritual gugur kewajiban, bukan upaya pengentasan.

Dari sisi ini, menjadi hartawan ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi ia adalah alamat terpilihnya seorang hamba akan kemampuannya memikul amanat ‘tebar rahmat’ bagi sesama, di sisi lain ia adalah ujian keimanan yang tidak ringan dijalani. Sebab, banyak manusia yang menjadi penjahat sosial dan biang keladi berbagai macam kerusakan, justru kerena dia orang berharta. Lembaran-lembaran rupiah yang ada di tangan seolah menjadi kekuatan untuk berfoya-foya melakukan apa saja, meski yang paling jahat sekalipun.

Menumbuhkan perasaan ‘terpilih’ akan membuahkan kesyukuran yang menjadi modal awal perbaikan diri. Kita merasa dipercaya untuk meluaskan manfaat harta kepada sesama. Selain harus yakin bahwa kita mampu melakukannya, kita pun harus selalu sadar bahwa menjadi kaya adalah ujian sebagaimana kemiskinan. Meski dalam bentuk yang berbeda. Ada yang lebih baik menjadi kaya karena kemiskinan menjerumuskannya, pun ada pula manusia yang lebih baik menjadi miskin karena kekayaan merusaknya. Allah telah memberi kesempatan emas itu kepada kita, namun, kemanakah pedang akan kita ayunkan?

 

Penting dan Bermanfaat

Kalau Ibnu Qayyim menjelaskan alasan pilihan aktifitas manusia adalah pemahamannya akan makna penting dan bermanfaat, maka menanamkan kepentingan sikap dermawan dan kemanfaatannya bagi pribadi si pelaku mutlak diperlukan. Agar dia tidak merasa melakukan sesuatu dengan sia-sia  atau terpaksa. Apalagi jika harus menunda atau mengorbankan beberapa kesenangan diri sendiri. Kedermawanan harus muncul dari hati yang tulus agar menambah manis buah iman yang pohonnya telah tertanam di dalam kalbu.

Di balik pesona kelezatannya, harta sesungguhnya menjadi penjara yang menyiksa jiwa. Ia mengikat hati untuk selalu tergantung kepada keberadaannya, sehingga ketiadaannya membuat manusia menderita. Selain itu, ia mematikan hati dan menumpulkan rasa, hingga kepekaan nurani menjadi barang langka yang sangat mahal harganya.

Padahal, kedermawanan akan membersihkan hati dan mencerahkan pikiran. Ia juga akan membentengi diri dari sikap kikir dan bakhil yang tercela, menghilangkan  kedengkian  si miskin, melunakkan hati, mengentalkan ukhuwah, serta menambah jumlah bibir pelantun doa. Semakin kita sering berderma, semakin banyak yang akan mendoakan kita. Subhanallah, alangkah indahnya! Bukankah harta milik kita, sebenarnya adalah yang telah kita infakkan, sedang yang kita simpan dan sisakan adalah warisan milik orang lain atau handai taulan?

Dari sisi ini, berderma sesungguhnya adalah penolong bagi kebaikan diri. Sebab akibat buruk kikir, hakikatnya akan kembali pada diri sendiri, bukan orang lain. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang kikir, sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri.” (QS. Muhammad: 38)

 

Good Money Habit

Pengaturan keuangan bukanlah menjaminkan masa depan kepada kecukupan finansial, kemudian berlaku bakhil, melainkan menjamin masa depan kepada Sang Penjamin, Allah Ta’ala. Mengalokasikan sebagian harta kita, dengan jumlah prosentase tertentu setiap kali kita mendapat harta, untuk berderma jelas merupakan tutunan yang mestinya menjadi prosentase tertentu setiap kali kita mendapat harta, untuk berderma jelas merupakan tuntutan yang mestinya menjadi prioritas. Sedikit memaksa, namun setelahnya akan menjadi kebiasaan baik yang manis. Istilah asingnya ya good money habit itu. Bahkan meski harta kita pas-pasan sekalipun. Seringkali kita merasa takjub, karena si miskin ternyata lebih mudah memberi. Lalu, siapa sebenarnya yang miskin itu?

Untuk itu, kita bisa membaca banyak buku tentang keberkahan finansial para dermawan yang mengagumkan. Bahwa berderma ternyata tidak memiskinkan mereka, sedang bersikap kikir juga tidak membuat mereka bertambah kaya. Juga kisah-kisah keajaiban infak, shadaqah, dan zakat bagi pribadi dan masyarakat. Termasuk kisah para miliyader yang akhirnya jatuh miskin sebab hartanya tidak barakah. Agar kita semakin yakin.

Termasuk kebiasaan baik di sini adalah selalu menganjurkan orang lain berbuat sama; mencari keberkahan harta dengan melakukan zakat, infak, dan shadaqah. Selain membentuk komonitas yang saling berta’awun dalam suka duka, mencari keberkahan atas harta membebaskan kita dari gelar para pendusta agama. Komunitas tangan-tangan yang di atas dan memberi, bukan tangan-tangan tengadah yang meminta. Tangan-tangan berbarakah, Insyaallah. Wallahu a’lam. (trias)

Sumber: majalah arrisalah edisi 68 hal. 45-47

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *