Tanda-Tanda Baligh (bag. 3)
Serial Syarh Matan Safinatu An Naja
Oleh: Ust. Risdhi ar-Rasyid
وَالْحَيْضِ فِي الْأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِينَ
“Haid bagi perempuan yang berumur sembilan tahun”
Tanda baligh yang ketiga adalah haidh, yang merupakan tanda khusus bagi perempuan. Haidh sebagai tanda baligh bagi perempuan merupakan tanda yang telah disepakati oleh para ulama, dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Ibnu Hajar al-Asqalani menerangkan:
وقد أجمع العلماء على أن الحيض بلوغ في حق النساء
“Para ulama telah sepakat/ijma’ bahwasannya haid merupakan tanda baligh bagi wanita” (Fathu al-Bari, 5/277)
Adapun batas awal umur keluarnya adalah sembilan tahun menurut perhitungan bulan qamariyah. Dalam hal ini, usia yang diperlukan seorang perempuan dikatakan menginjak baligh dengan haid tidak harus sembilan tahun pas. Artinya ketika keluar darah haid sedangkan usianya belum genap sembilan tahun, sudah bisa disebut haid dengan syarat jarak antara darah yang keluar dan masa suci dengan genapnya umur kesembilan tidak melebihi enam belas hari. (Nailu ar-Raja bisyarhi Safinati al-Naja, hlm.20)
Sedangkan para ulama berbeda pendapat terkait dengan masa haidh; Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa masa minimal haidh adalah tiga hari tiga malam, jika darah keluar pada masa kurang dari itu, maka ia bukanlah darah haidh tetapi darah istihadhah. Biasanya darah haidh keluar selama lima hari dan maksimal sepuluh hari sepuluh malam, jika melewati itu maka dianggap juga sebagai darah istihadhah.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa haidh paling minimal adalah satu tetes, darah tersebut dianggap darah haidh dan wajib mandi jika darah itu berhenti. Adapun paling maksimal adalah lima belas hari.
Lalu ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa masa minimal haidh dalam satu hari satu malam, paling umum adalah enam sampai tujuh hari, dan maksimal adalah lima belas hari. Apabila kurang dari itu maka dihitung sebagai darah istihadhah atau darah penyakit. (Al-Wajiz fi al-Fiqhi al-Islami, hlm.119)
Tanda-Tanda Lainnya
Selain dari tiga tanda yang disebutkan dalam kitab safinatunnaja, terdapat beberapa tanda yang disebutkan oleh para ulama sebagai tanda balighnya seseorang. Diantaranya;
Pertama, al-Inbat atau tumbuhnya bulu kemaluan. Hal ini didasarkan kepada Hadits Nabi ﷺ;”Pada perang bani Quraizhah, kami dihadapkan kepada Nabi . Saat itu, orang-orang yang telah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sementara orang-orang yang belum tumbuh bulu kemaluannya dibiarkan hidup. Dan aku termasuk orang-orang yang belum tumbuh bulu kemaluannya, maka aku pun dibiarkan”.(HR. Abu Dawud)
Ibnu Qudamah Berkata: “Adapun al-inbat, yaitu tumbuhnya rambut kasar di sekitar kemaluanlaki-laki atauwanita, yang hendaknya dibersihkan dengan pisau cukur. Adapun bulu-bulu halus, maka tidak dianggap. Bulu halus ini biasanya sudah tumbuh pada masa anak-anak. Inilah yang menjadi pendapat Imam Malik, dan juga Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya” (Al-Mughni, 4:551)
Kedua; hamil, yang tidak akan terjadi kecuali adanya pertemuan antara air mani dari pria dan sel telur wanita. Sehingga bisa dikatakan bahwa hamil sebagai tanda baligh bersangkut erat dengan tanda baligh yang kedua, yaitu ihtilam.
Ibnu Qudamah berkata, “Adapun hamil, itu adalah tanda baligh karena Allah Ta’ala menetapkan ketentuan bahwa anak tidaklah diciptakan kecuali dari air mani laki-laki dan perempuan.” (Al-Mughni, 4: 551)
Itulah diantara tanda-tanda balignya seseorang, baik yang disebutkan dalam kitab Safinatunnaja maupun selainnya. Hal mana apabila seorang anak telah mengalami tanda-tanda tersebut sebelum berumur lima belas tahun, ia dianggap baligh. Adapun jika tidak mengalaminya sampai ia berumur lima belas tahun, maka secara otomatis ia dianggap telah baligh bersamaan dengan genap umurnya lima belas tahun.
Dan bersamaan dengan itu juga, mulai saat itu anak tersebut telah dianggap sebagai seorang mukallaf yang dibebani berbagai tuntutan syariat, semisal shalat, puasa, zakat dll. Kemudian berhak pula menerima hukuman syar’i apabila melanggar larangan syariat.
Pendidikan Anak Pra-Baligh
Seorang anak-anak tentu tidak akan langsung terbiasa dengan tuntutan syariat ketika ia baligh tanpa ada pendidikan dan bimbingan sebelumnya. Maka, menjadi tugas orang tua untuk mendidik anak-anak pada usia tamyis (tujuh tahun), supaya terbiasa melaksanakan tuntutan-tuntutan syariat. Rasulullah ﷺ bersabda:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
“Perintahlah anak-anak kalian melakukan shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun. Pukullah mereka karena meninggalkan shalat jika mereka telah berumut sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka“. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Perintah dalam hadits diatas adalah perintah untuk orang tua agar melatih anaknya melakukan shalat dan kewajiban-kewajiban yang lain sejak anak berusia tujuh tahun. Bahkan, ika anak telah berumur sepuluh tahun, orang tua diperkenankan untuk memberi hukuman kepada anak bila ia meninggalkan shalat. Para ulama menjelaskan hukuman itu bisa berupa pukulan yang tidak melukai atau tidak berbahaya.
Syeikh Zainuddin al-Malibari menjelaskan, “Orang tua tidak hanya berkewajiban memerintahkan shalat saja, lebih dari itu orang tua berkewajiban menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya, baik itu perintah maupun hal-hal yang dilarang harus pula diajarkan, bahkan sunah sekalipun . (Fathu al-Mu’in; 25). Wallahu a’lam.