Tanda-Tanda Baligh (bag. 2)
Serial Syarh Matan Safinatu An Naja
Oleh: Ust. Risdhi ar-Rasyid
وَالْاِحْتِلَامُ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْن
“iltilam bagi laki-lai dan perempuan mulai berumur 9 tahun”
Pada pembahasan sebelumnya, telah dibahas tentang tanda pertama baligh yang terdapat dalam kitab matan Safinatunnaja, yaitu ketika seseorang genap berumur lima belas tahun.
Selanjutnya, tanda yang kedua adalah ihtilam. Adapun makna ihtilam secara bahasa; sebagaimana yang terdapat dalam kitab Lisan al-Arab berarti jima’ atau berhubungan badan dalam tidur (mimpi basah).
Sedangkan dalam istilah hukum fiqih, para fuqaha memberikan pengertian, ihtilam adalah keluarnya air mani dari laki-laki maupun perempuan, baik dalam kondisi tertidur maupun ketika sadar, tersebab karena hubungan badan ataupun selainnya, pada waktu semestinya. ( Ibnu Qudamah, al-Mughni, 4/297. Al-Mausuah al-Fiqhiyah: 8/188)
Selama ini, banyak orang yang beranggapan bahwa ihtilam bermakna sebatas mimpi basah. Padahal dalam istilah fiqih ihtilam memiliki cakupan makna yang lebih luas sebagai mana dalam pengertian diatas.
Dalam pengertian tersebut, para ulama mendefinisikan ihtilam dengan keluarnya mani dari kemaluan tanpa membatasi dengan sebab keluanya, baik karena mimpi, jima’ atau selainnya seperti onani, pun tidak membatasi dalam keadaan tertentu, baik waktu tidur maupun tersadar. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan arti ihilam secara bahasa dengan ihtilam dalam pengertian hukum fiqih. (Mahmud Syamsuddin Amir al-Khuza’I, Dhawabith al-Bulugh Inda al-Fuqaha’: 18)
Dari sini juga nampak sebuah indikasi bahwa para ulama menyamakan istilah ihtilam dengan inzal yang memiliki makna keluarnya mani. Artimya bahwa keluarnya air mani dari sesorang itu sudah menjadikan dia dianggap baligh.
Bahkan, ulama madzhab syafi’i berpendapat bahwa sekalipun tidak mengeluarkan mani, namun merasakan kenikmatan sebagaimana saat keluar air tersebut, itu cukup menjadikan seseorang dihukumi baligh, meski tidak diharuskan mandi wajib.
Adapun penetapan umur sembilan tahun merupakan hasil pengamatan para ulama, yang dimaksudkan sebagai pembatasan atau perkiraan, serta untuk membedakan jika terdapat kasus keluarnya mani dari anak kecil yang belum bisa dianggap baligh secara urf dan kebiasaan. (Kasyifatu as-saja: 75, Dhawabith al-Bulugh Inda al-Fuqaha’:19)
Dalil Ihtilam Sebagai Tanda Baligh
Tedapat banyak dalil, baik dalam Al-Qur’an, Sunah, maupun Ijma’, yang menunjukan bahwa ihtilam merupakan tanda seorang dikatakan baligh. Diantaranya:
Allah ﷻ berfirman:
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai hulum, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(An-Nuur:59)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar anak-anak meminta izin (isti’dzan) kepada orang tua mereka (masuk kamar) setelah ihtilam, ini artinya ihtilam tanda dari baligh yang merupakan sebab adanya tuntutan syariat.(Asy-Syairazi, al-Muhadzab: 1/330)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena diangkat dari tiga orang, yaitu; orang yang tidur hingga terbangun, orang yang masih kecil hingga ia dapat bermimpi (baligh), dan dari orang yang gila hingga berakal.” (HR. Abu Dawud)
Hadist ini menjelaskan bahwa anak kecil tidak dikenai beban syariat hingga ia mengalami ihtilam. Lalu apabila anak tersebut mengalami ihtilam, praktis ia menjadi seorang mukallaf yang dikenai beban syariat. Dari sini bisa dipahami bahwa Allah ﷻ menjadikan ihtilam iu sebagai pembatas antara masa baligh dan belumnya seorang anak, yang diistilahkan oleh Nabi ﷺ dengan istilah rufi’a al-qalam atau diangkatnya pena. Maka keismpulannya, ihtilam sama dengan baligh. (Dhawabith al-Bulugh Inda al-Fuqaha’:21)
Ihtilam Seorang Wanita
Dalam kitab Safinatunnajah disebutkan bahwa ihtilam bukan hanya tanda balighnya seorang laki-laki, namun juga bagi perempuan. Pendapat ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwa suatu ketika Ummu Sulaim datang menemui Rasulullah saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran. Jika seorang wanita ihtilam, apakah ia harus mandi?” Kemudian Rasulullah saw menjawab, “Iya, jika ia melihat air (mani).” Maksudnya adalah jika melihat air mani setelah bangun dari tidurnya. [al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, 1/388].
Dalam Riwayat lain, Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia bertanya kepada Nabi ﷺ tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi.” Ummu Sulaim berkata, “Maka aku menjadi malu karenanya”.
Ummu Sulaim kembali bertanya, “Apakah keluarnya mani memungkinkan pada perempuan?” Nabi bersabda, “Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan (anak dengan ibunya)? Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning. Manapun mani dari salah seorang mereka yang lebih mendominasi atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut jelas menunjukan bahwa seorang wanita juga mengalami ihtilam sebagaimana laki-laki, pun ihtilamnya menjadi tanda akan kebalighannya. Dalam hal ini tidak ada ranah untuk ijtihad, terlebih lagi pendapat yang mengatakan tentang tidak dianggapnya ihtilam wanita sebagai tanda baligh, maka jelas tertolak.
Namun, ulama empat madzhab berselisih pendapat tentang kondisi seperti apa hingga seorang wanita dikatakan ihtilam.
Pertama; wanita dikatakan ihtilam jika keluar air main sampai ke dhahirul farji; yaitu bagian yang nampak dan terlihat jika seorang wanita sedang buang air, ataupun sedang duduk bertumpu pada kedua kaki. Apabila didapati air keluar sampa dhahirul farji, maka dikatakan wanita tersebut telah ihtilam, walaupun air mani tidak sampai keluar dari kemaluan. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hambali dan Hanafi, serta pendapat madzhab syafi’i dengan mengatakan kondisi ini adalah kondisi bagi seorang yang bukan perawan.
Kedua; Apabila keluar air mani sampai bagian luar kemaluan, bukan hanya sampi ke dhahirul farji, karena bagian tersebut masih bagain dalam tubuh. Namun, air mani harus keluar sampai melewati kemaluan, sehingga dapat dihukumi sebagai ihtilam. Pendapat ini adalah madzhab Maliki dan madzhab Syafi’i dengan memberi keterangan; itu sifat ihtilam seorang yang masih perawan.
Ketiga; tidak harus keluar sampai dhahirul farji ataupun melewati kemaluan, cukup seorang wanita merasakan keluarnya air mani, walaupun sebenarnya tidak keluar apapun, itu sudah dihukumi ihtilam. Ini pendapat Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dari Madzhab Hanafi. (Al-Mausuah al-Fiqhiyah : 2/96) Wallahu a’lam.
Bersambung…..