Tanda-Tanda Baligh (bag. 1)

Tanda-Tanda Baligh (bag. 1)

Serial Syarh Matan Safinatu An Najah 1

Oleh: Ust. Risdhi ar-Rasyid

فصل عَلَامَاتُ البُلُوغِ ثَلَاثٌ: تَمَامُ خَمْسَ عَشَرَةَ سَنَهً فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى، وَالْاِحْتِلَامُ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْن، وَالْحَيْضِ فِي الْأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِينَ

“Tanda baligh ada tiga: genap berumur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, iltilam bagi keduanya mulai berumur 9 tahun, dan haidh bagi perempuan mulai umur 9 tahun

Dalam pembahasan fiqihnya, Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami memulainya dengan pembahasan alamat al-bulugh (tanda-tanda baligh). Hal yang cukup menarik dan menjadi titik perbedaan kitab matan ini dengan kitab lainnya dari sisi sitematika.

Bahkan, lebih menariknya sebelum memulai bab fiqih dalam kitab ini, beliau memulai pasal yang pertama dengan pembahasan  rukun iman, rukun Islam serta makna dari kalimat syahadat. Adapun ketiganya adalah perkara pokok dan dasar yang harus diketahui dan diamalkan setiap muslim.

Syaikh Nawawi al-Bantani menjelaskan, “Pengarang kitab ini memulai awal pembahasan dengan menyebutkan rukun Islam dan iman karena hal tersebut merupakan perkara yang amat penting. Selain itu rukun Islam dan iman itu melingkupi dan mendasari seluruh bentuk peribadatan baik yang lahir maupun batin” (Syaikh Nawawi al-Bantani, Kasyifatu as-saja: 62)

Dari sini seakan beliau ingin menekankan tentang perkara-perkara dasar dalam Islam kepada kaum muslimin, sebelum merambah hal-hal yang bersifat cabang semisal ritual ibadah.  

Demikian juga tanda-tanda baligh termasuk dari hal yang paling mendasar dalam ibadah, sebab baligh merupakan sebuah masa dimana seorang mulai dibebani (ditaklif) dengan beberapa hukum syara’.

Oleh karena tuntutan hukum itulah orang tersebut dinamakan mukallaf. Sebenarnya tidak semua baligh disebut mukallaf, karena ada sebagian baligh yang tidak dapat dibebani hukum syara’ seperti orang gila. Disinilah kemudian muncul istilah aqil baligh yaitu orang yang telah mencapai kondisi baligh dan berakal sehat (mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah).

Dengan kata lain, seseorang yang sudah baligh dibebani hukum syara’ apabila ia berakal dan mengerti hukum tersebut. Orang bodoh dan orang gila tidak dibebani hukum karena mereka tidak dapat mengerti hukum dan tidak dapat membedakan baik dan buruk, maupun benar dan salah.

 Ulama fikih sepakat bahwa aqil baligh menjadi syarat dalam ibadah dan muamalah. Dalam ibadah  , berakal menjadi syarat wajib salat, puasa, dan sebagainya. Dalam muamalah, terutama masalah pidana dan perdata.

Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting mengetahui batasan antara baligh dan tidak baligh, karena ini merupakan kunci memasuki hukum syara’.

Adapun dalam kitab Matan Safinatu an-Naja disebutkan bahwa tanda-tanda seorang anak dikatakan baligh apabila telah mengalami satu dari tiga hal di bawah ini.

Mencapai Umur 15 Tahun

Dalam kitab ini, tanda pertama yang disebutkan seorang anak bisa dikatakan baligh adalah telah genap berumur lima belas tahun dengan hitungan tahun Hijriyah, baik laki-laki maupun perempuan. (Muhammad bin Ali ad-Du’ani, Ghayatu al-Muna: 108)

Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nafi maula Ibnu Umar radhiyallahu anhu, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ، وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْنِي ثُمَّ عَرَضَنِي يَوْمَ الخَنْدَقِ، وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَنِي ، قَالَ نَافِعٌ فَقَدِمْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ وَهُوَ خَلِيفَةٌ، فَحَدَّثْتُهُ هَذَا الحَدِيثَ فَقَالَ: إِنَّ هَذَا لَحَدٌّ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ، وَكَتَبَ إِلَى عُمَّالِهِ أَنْ يَفْرِضُوا لِمَنْ بَلَغَ خَمْسَ عَشْرَةَ

 “Telah menceritakan kapadaku Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia pernah menawarkan diri kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ikut dalam perang Uhud. Saat itu umurnya masih empat belas tahun, namun beliau tidak mengijinkannya. Kemudian dia menawarkan lagi pada perang Khandaq. Saat itu usiaku lima belas tahun dan beliau mengijinkanku.”

Nafi’ berkata, “Aku menemui ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Saat itu dia adalah khalifah, lalu aku menceritakan hadits ini. Dia berkata,

“(Hadits) ini menunjukan batas antara anak kecil (belum baligh) dan orang dewasa (sudah baligh)” Kemudian dia menulis kepada para gubernurnya untuk membebani kewajiban bagi mereka yang telah berusia lima belas tahun. (Muttafaqun ‘alaihi)

Pendapat ini juga merupakan pendapat jumhur ulama selain Abu Hanifah rahimahullah.

Sedangkan menurut Abu Hanifah, yaitu ketika genap berumur delapan belas tahun untuk laki-laki, dan tujuh belas tahun untuk perempuan. Sedang Imam Malik berpendapat ketika genap berumur delapan belas tahun, di lain pendapat ketika genap tujuh belas tahun dan masuk umur delapan belas.(Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih al-Islami wa Adilatuh:4/478)

Hikmah Umur 15 Tahun

Hikmah mengapa umur lima belas tahun dijadikan batasan anak dianggap baligh di antaranya;  masa umur tersebut adalah masa dimana gejolak syahwat, hasrat mulai meningkat, yang pada akhirnya mendorong anak tersebut untuk melakukan perkara-perkara yang dilarang oleh agama. Hal tersebut tidak dapat dibatasi dan dicegah kecuali dengan ikatan taqwa dan pengetatan dari segi agama.

Selain itu, pada masa ini kemampuan nalar (akal) semakin matang, begitu juga dengan kekuatan fisiknya. Maka, hikmah mengapa Allah menetapkan adanya taklif  atau beban ibadah tidak lain karena faktor kuatnya syahwat dan matangnya akal, serta sudah kuat terhadap hukuman syar’i apabila melanggarnya. (Muhammad bin Ali ad-Du’ani, Ghayatu al-Muna: 108)

Al-Kasani juga menyebutkan bahwa yang menjadi inti dari balighnya seseorang adalah akal, yang dengannya seseorang mampu untuk memahami dan mengerjakan syariat. Adapun Ihtilam dan haidh (akan dibahas dipembahasan selanjutnya) dijadikan oleh syariat sebagai tanda seorang anak telah baligh.

Sedangkan,  biasanya  seorang mengalami ihtilam sebelum berumur lima belas tahun. Namun, dalam beberapa kasus seorang anak belum ihtilam padahal ia telah berumur lima belas tahun, hal ini bisa jadi karena penyakit atau kekurangan pada tubuhnya. Sedang penyakit pada tubuh tidak berimbas kepada akal. Maka, akal yang sehat menjadi dasar seseorang dikenai tututan syariat. (al-Kasani, Bad’iu Sana’i :7/172)

Maka, jika ditarik kesimpulan umur lima belas tahun merupakan opsi terakhir untuk menentukan apakah seorang anak itu bisa dikatakan baligh. Meskipun anak tersebut belum mengalami ihtilam ataupun haidh. Wallahu a’lam .

Bersambung….

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *