TAHUN-TAHUN PENUH TIPU DAYA
Oleh: Abu Athif, Lc –غفر الله له ولواديه-
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّهَا سَتَأْتِي عَلَى النَّاسِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ ” قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: ” السَّفِيهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ ” –(رواه أحمد في مسنده)-
Dari Abu Huroiroh beliau berkata: telah bersabda Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- : “Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya, seorang pendusta akan dianggap jujur dan orang jujur akan dianggap sebagai pendusta, seorang pengkhianat akan diberikan amanah sementara orang yang amanah akan dianggap sebagai pengkhianat dan di masa-masa itu ruwaibidloh berbicara”. Dikatakan: dan apakah ruwaibidloh itu wahai Rosululloh? Beliau menjawab: “orang bodoh yang berbicara tentang permasalahan orang banyak”. (HR. Ahmad)
Takhrij hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari sahabat Abu Huroiroh dan Anas bin Malik (13/291, 21/25), dikeluarkan oleh imam al Hakim dalam al Mustadrok, kitab; al fitan wa al malâhim, no; 8439, dikeluarkan pula oleh Imam al Thobroni dalam al Mu’jam al Ausath dengan redaksi yang berbeda (3/313), dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Sunan, kitab: al fitan, bab: al shobr ‘ala al bala’, no: 4036.
Derajat hadits
Berkata Imam al Hakim: “hadits ini shohih isnadnya dan belum dikeluarkan oleh dua syaikh (Imam Bukhori dan Imam Muslim)”[1]. Imam al Dzahabi menyepakati penilaian beliau. Syaikh al Albani juga menshohihkan hadits ini dalam al silsilah al shohihah[2].
Kosa kata hadits
سنون adalah bentuk jamak dari kata سنة yang berarti tahun. Adapun خَدَّاعَةٌ berasal dari kata خدع yang berarti menipu, bila seseorang bertingkah laku bukan seperti kelakuannya ( تخلَّق بغير خُلُقِه)[3]. Menggunakan wazan (bentuk kata) فعّالة menunjukkan sesuatu yang hiperbola. Jadi kata خَدَّاعَةٌ memiliki makna sangat menipu. Dijelaskan oleh para ulama makna secara bahasa dari سنون خداعة adalah masa-masa yang sedikitnya hujan dan tumbuh-tumbuhan serta meratanya kekeringan. Bisa juga bermakna banyak hujan namun tidak ada pertumbuhan maka itulah bagian dari kebohongannya. [4]
Kata الرُّوَيْبِضَةُ berasal dari kata الرَّابِضة yang berarti orang lemah yang tak mampu menggapai ketinggian prestasi dan menyerah untuk mencarinya. Ditambahkannya huruf ( ـة ) sebagai bentuk hiperbola. dalam bahasa lain sering diungkapkan dengan kata الرجل التَّافِه yaitu orang yang memiliki kehinaan dan tidak memiliki harga diri. [5]
Penjelasan hadits
Perjalanan kehidupan manusia di dunia ini semakin mendekati titik akhirnya. Inilah sebuah pesan penting yang disampaikan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- kepada seluruh umat manusia ini. Dengan harapan agar setiap hamba lebih fokus menjaga iman dan memperbanyak amal sholih. Karena hari dihisabnya seluruh amalan semakin dekat dan menjadi keniscayaan yang tak dapat dihindarkan.
Dengan hikmah Allah –Jalla Jalâluh- yang Maha Luas, informasi tentang detail waktu kapan terjadinya hari kiamat menjadi rahasia tersendiri yang tidak ada mengetahui selain dari-Nya. Namun dengan segala kemurahan-Nya, disampaikanlah tanda-tanda yang menunjukkan dekatnya momentum tersebut baik dalam ayat-ayat Al Qurân maupun juga dalam hadits-hadits Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Ini semua bertujuan agar setiap hamba semakin meyakini kebenaran setiap kabar dari Allah dan Rosul-Nya dan selanjutnya menempa diri menjadi pribadi taqwa.
Fenomena tersesatnya banyak manusia dikarenakan masifnya makar dan tipu daya di tengah mereka menjadi problematika krusial yang akan dihadapi oleh manusia di akhir zaman. Kondisi tersebut ditandai dengan hilangnya standar kebaikan dan kebenaran dalam menilai seseorang. Terlebih khusus lagi dalam kekeliruan penyerahan amanah besar yang menyangkut kemaslahatan orang banyak.
Secara umum hadits yang mulia ini menyebutkan tiga kondisi yang mewarnai tahun-tahun penuh tipu daya. Tiga kondisi yang dimaksudkan adalah :
- Orang jujur dianggap sebagai pendusta sementara pendusta dinilai sebagai orang jujur.
- Seorang pengkhianat diberikan amanah sementara orang yang amanah dianggap sebagai pengkhianat.
- Munculnya ruwaibidloh.
Fenomena pertama yang menandai tahun-tahun penuh tipu daya adalah menyebarnya kedustaan dan hilangnya kejujuran. Dalam kesempatan lain, Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda:
«إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ كَذَّابِينَ فَاحْذَرُوهُمْ»
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya hari kiamat adalah munculnya banyak pendusta, maka waspadailah mereka”. (HR. Muslim)
Menyebarnya kebohongan dan kedustaan pada umat ini diawali dengan peristiwa munculnya orang-orang yang mengaku sebagai nabi. Perkara ini disebutkan oleh Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits beliau:
وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبًا مِنْ ثَلاَثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللهِ
“Tidak akan tegak hari kiamat sampai munculnya para dajjal pendusta yang jumlahnya mendekati tiga puluh semuanya mengaku sebagai utusan Allah”. (HR. Bukhori)
Tentu saja munculnya kebohongan dan kedustaan ini dilatarbelakangi oleh banyak hal di antaranya adalah kesalahan dan penyimpangan dalam perilaku beragama. Penyesatan umat dengan mengatasnamakan ajaran agama ini disebutkan dalam hadits shohih:
يَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُوْنَ كَذَّابُوْنَ يَأْتُوْنَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيْثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلَا آَباؤكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ لَا يُضِلُّوْنَكُمْ وَلَا يَفْتِنُوْنَكُمْ
“Akan datang di akhir zaman para pendusta dan pembohong mendatangi kalian dengan ucapan-ucapan yang belum kalian dengar dan tidak pula didengar oleh para pendahulu kalian, maka jauhilah mereka semua oleh kalian niscaya mereka tidak menyesatkan dan memfitnah kalian”. (HR. Muslim)
Ketika kejujuran telah redup dan kehidupan didominasi dengan kedustaan maka peristiwa selanjutnya yang mengiringi adalah maraknya pengkhianatan. Karena kedustaan dan pengkhianatan menjadi dua wajah dalam satu mata uang. Karena setiap kedustaan selalu berimbas pada kemunculan perilaku pengkhianatan. Ditambah lagi bahwa kedustaan selalu menjadi pintu pembuka bagi perbuatan yang lebih buruk selanjutnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- : “Sesungguhnya kebohongan itu menunjukkan jalan menuju keburukan dan setiap keburukan menunjukkan jalan menuju neraka”. (HR. Bukhori).
Munculnya penguasa-penguasa yang mengkhianati rakyatnya pada akhir-akhir ini menjadi satu bukti kebenaran berita dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang disebutkan dalam hadits ini. Penyerahan amanah besar berupa kepemimpinan umat manusia kepada orang yang suka berkhianat adalah pertanda tertutupnya mata hati mereka dari kebenaran. Peristiwa seperti ini menimbulkan dampak buruk selanjutnya yaitu disingkirkannya orang-orang amanah dan jujur. Dalam sebuah atsar dari sahabat yang mulia Abdulloh bin ‘Amr bin ‘Ash –semoga Allah meridhoinya- menyebutkan indikasi terjadinya peristiwa ini:
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُوضَعَ الْأَخْيَارُ , وَيُرْفَعَ الْأَشْرَارُ , وَيَسُودَ كُلَّ قَبِيلَةٍ مُنَافِقُوهَا
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya hari kiamat adalah tersingkirnya orang-orang baik dan diangkatnya orang-orang buruk serta setiap kabilah akan dipimpin oleh orang-orang munafik di antara mereka”.[6]
Eksistensi para pengkhianat yang duduk dalam kekuasaan sering kali ditopang oleh keberadaan para ahli fatwa yang menyesatkan. Tidak mengherankan jika rangkaian peristiwa berikutnya dalam hadits ini disebutkan munculnya ruwaibidloh setelah munculnya dua fenomena sebelumnya yaitu kebohongan dan pengkhianatan.
Ruwaibidhoh adalah sosok manusia-manusia bodoh yang memposisikan diri sebagai seorang ulama besar. Selanjutnya memberikan fatwa atau gagasan yang menyesatkan sebagian besar manusia. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa ruwabidhoh adalah orang-orang fasiq[7]. Dalam kitab al Nihâyah fî Ghorîb al Ĥadîts wa al Atsar dijelaskan bahwa ruwaibidhoh adalah orang-orang hina lagi rendah.[8]
Penjelasan lain bisa juga didapatkan dari sebuah periwayatan sahabat yang mulia Anas bin Malik –semoga Allah meridhoinya- menerangkan tentang keadaan ruwaibidhoh :
الْمُلْكُ فِي صِغَارِكُمْ، وَالْفَاحِشَةُ فِي كِبَارِكُمْ، وَالْعِلْمُ فِي رُذَالَتِكُمْ
“Tampuk kekuasaan dipegang oleh kalangan anak-anak kecil (masih muda belum punya pengalaman.pen), kekejian (zina) terjadi di kalangan para orang tua, dan (gelar) ilmu berada di kalangan orang-orang bodoh lagi hina”.[9]
Keberadaan ilmu di kalangan orang-orang yang rendah dan hina maksudnya adalah ketika ilmu didominasi oleh orang-orang yang enggan untuk mengamalkannya. Ilmu hanya sebagai bahan untuk bantah-membantah, pamer gelar intelektual dan terkadang untuk membela kebathilan. Sungguh berbeda sekali kondisinya dengan generasi terbaik umat ini dari para sahabat, tabi’in dan atba’ tabi’in. Mereka bersungguh-sungguh merealisasikan keilmuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ilmu mereka membuahkan akhlaq mulia yang menyejukkan bagi umat manusia umumnya dan kaum muslimin pada khususnya.
Sementara di zaman ruwaibidloh, ilmu hanya sekedar sebegai pengetahuan kognitif semata tanpa ada “ruh” untuk diamalkan. Bertambahnya ilmu tidak membuat hati semakin khusyu’ dan tawadhu’ melainkan bertambah takabur. Alih-alih memberikan pencerahan di tengah umat namun yang terjadi semakin keruhnya perselisihan di tengah umat. Sikap saling merendahkan terhadap saudara seiman-seislam kerap kali menghiasai majelis ilmu mereka. Sementara kejahatan dan kemungkaran orang-orang kafir luput dari pembahasan mereka. Bahkan ada di kalangan mereka yang menjilat kepada penguasa-pengasa dzolim. Ilmu yang dimiliki tidak bisa memunculkan keberanian untuk membela kebenaran. Inilah fenomona ruwaibidloh, saat ilmu berada di kalangan orang-orang fasiq.[10]
Munculnya tiga golongan (para pendusta, pengkhianat dan ruwaibidloh) dalam hadits ini menjadi indikasi kuat semakin dekatnya hari kiamat. Hal ini terangkum dalam hadits Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- :
«فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: «إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»
“Maka tatkala amanah telah ditiadakan tunggulah hari kiamat”. Berkata salah seorang sahabat: bagaimana hilangnya amanah itu? Beliau bersabda: ketika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran”. (HR. Bukhori)
Adapun yang harus dilakukan seorang mukmin dan mukminah saat ketiga fenomena ini terjadi adalah tetap konsisten dan komitmen berpegang teguh dengan al Quran dan As Sunnah seperti keteguhan generasi salafus sholih (para sahabat, tabi’in dan atba’ tabi’in). Orang-orang yang konsisten dan berkomitmen dengan syariat Islam di zaman penuh fitnah adalah para ghuroba (orang-orang terasing) yang disebutkan dalam hadits Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- :
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam bermula dengan keterasingan dan akan kembali asing sebagaimana awalnya maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan”. (HR. Muslim)
Dijelaskan dalam periwayatan Imam Ahmad bin Hanbal bahwa generasi ghuroba’ adalah generasi yang selalu membawa perbaikan ketika seluruh manusia telah rusak.[11]
Semoga Allah menjaga kita semua dari keburukan yang terjadi di akhir zaman dan menganugerahkan kepada kita istiqomah untuk selalu tetap berpegang teguh dengan wahyu-Nya.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن سار على نهحه إلى يوم القيامة. والله أعلم بالصواب.
[1] Muhammad bin Abdillah al Hakim al Naisaburi, Al Mustadrok ‘alâ al Shohihain (Beirut: Dâr al Kutub al ‘Ilmiyah, cetakan I, tahun 1411 H) juz 4 hal 512
[2] Muhammad Nashiruddin al Albani, al Silsilah al Shohihah (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, t.c, t.t) juz 5 hal 321
[3] Muhammad bin Mukrim bin Mandzur al Ifriqi, LIsân al ‘Arob (Beirut: Dâr al Shôdir, cetakan I, t.t) juz 8 hal 63
[4] Muhammad bin Mukrim bin Mandzur al Ifriqi, LIsân al ‘Arob, juz 8 hal 63
[5] Abu al Sa’âdât al Mubârok bin Muhammad al Jazari, Al Nihâyah fî Ghorîb al Ĥadîts wa Al Atsar (Beirut: al Maktabah al ‘Ilmiyah, t.c, tahun 1399 H) juz 2 hal 460
[6] Utsman bin Sa’id bin Utsman bin ‘Umar Abu ‘Amr al Dâni, Al Sunan al Wâridah fî alk Fitan wa Ghowâiliha wa al Sâ’ah wa Asyrôtiha (Riyadh: Dâr al’Ashimah, tahqiq: DR. Ridhoulloh bin Muhammad Idris al Mubarokfuri, cet. I, Th. 1416 H) juz 4 hal 799
[7] Abdur Rohman bin Syihabuddin Ibnu Rojab al Hanbali, Jâmi’ul ‘Ulum bal Hikam (Kairo: Dâr al ‘Aqidah, cet. I, Th. 1422 H) hal 59
[8] Abu al Sa’âdât al Mubârok bin Muhammad al Jazari, Al Nihâyah fî Ghorîb al Ĥadîts wa Al Atsar, juz 1 hal 515
[9] Al Suyuthi, Abdul Ghoni, Fakhrul Hasan Al Dahlawi, Syarh Sunan Ibnu Majah (Karachi: Qodimi Kutub Khonah, t.c, t.t) hal 292
[10] Muhammad bin Abdul Hadi al Ttwi, Abu al Hasan al Sanadi, Kifâyatul Hâjah fî Syarh Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dâr al Jîl, t.c, t.t) juz 2 hal 488
[11] Ahmad bin Hanbal, Musnad al Imam Ahmad bin Hanbal (Muassasah al Risalah, tahqiq: Syu’aib al Arnauth, cetakan II, tahun 1420 H) juz 27 hal 237