Tafarruq, Hambatan Tunggal Iqamatuddin

Tafarruq, Hambatan Tunggal Iqamatuddin

Saat dien Allah terpuruk seperti sekarang, hal yang paling menggelayuti pikiran para aktifis Islam adalah bagaimana cara menegakkannya kembali. Dan Al-Qur’an menarasikan hal itu dengan satu perintah dan satu larangan. Satu perintah, tegakkan dien Allah (aqimu ad-din). Satu larangaan, jangan tafarruq dalam upaya iqamah ad-dien tersebut (wala tatafarraqu fih). Termaktub di surat As-Syura ayat 13.

Satu perintah dan satu larangan yang menggelayuti para aktifis ini sebelumnya Allah amanahkan kepada para nabi Ulul Azmi, yaitu lima nabi istimewa Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad saw. Amanah ini dikaitkan dengan Ulul Azmi menandakan sebuah beban yang amat berat, tak bisa dilaksanakan kecuali mereka yang punya tekad dan mental baja selain keikhlasan yang prima.

Lihat Hasil, Gak Cuma Usaha

Diksi yang dipakai Al-Qur’an untuk menarasikan satu perintah ini menarik, yakni iqamah dan ad-dien yang dijadikan kata majemuk iqamatuddien. Iqamah maknanya memastikan terlaksana dan tegak berdiri dengan baik, bukan hanya rencana melaksanakan atau melaksanakan tapi digagalkan pihak lain. Perumpamaannya seperti orang bangun rumah. Inti perintahnya adalah pastikan rumah terbangun dengan sempurna, bukan sekedar rencana membangun atau sudah melaksanakan pembangunan tapi rubuh kembali oleh bencana alam atau dirusak orang lain. Rumah hanya disebut tegak dan berdiri jika orang bisa membuktikan dan melihat rumah itu telah berdiri secara sempurna. Jika faktanya belum berdiri, apapun sebabnya, maka perintah mendirikan rumah belum gugur.

Seorang aktifis tak cukup dengan laporan mengiba kepada Allah dengan nada melankolis; ya Allah kami sudah berusaha menegakkan dien-Mu tapi diganggu oleh orang-orang kafir, maka maklumilah jika hasilnya dien-Mu belum tegak secara sempurna. Ijinkan kami untuk istirahat karena kewajiban telah kami tunaikan sehingga telah gugur dari pundak kami.

Allah akan memberi nilai dan pahala atas usaha kita itu pasti. Tapi faktanya perintah itu belum selesai karena dien Allah belum tegak dengan sempurna. Sebagaimana perintah bangun rumah hanya selesai jika rumah berdiri dengan sempurna. Maknanya kita belum bisa istirahat, Allah masih meminta kita terus melakukan upaya hingga dien-Nya benar-benar tegak dengan sempurna dan kita mampu menghalau gangguan kaum kafir dengan pertolongan-Nya.

Lalu diksi ad-dien dalam iqamatuddien. Ia mengandung pesan bahwa yang harus ditegakkan bukan hanya aspek ritual vertikal kepada Allah seperti shalat, tapi juga sistem penghambaan yang multi dimensi seperti pidana, politik dan ekonomi. Intinya adalah manusia dikurung oleh sistem ketundukan kepada Allah sehingga mereka tak bisa lari dari kekuasaan Allah. Sistem yang meletakkan Allah sebagai raja tunggal dan semua manusia menjadi ‘rakyat’ yang patuh. Tak ada peluang bagi mereka untuk membangkang terhadap sistem kekuasaan Allah tersebut.

Indikator tegaknya sistem tersebut sederhana. Ketika ada hamba Allah yang melakukan pelanggaran aturan Allah tapi belum ada mekanisme untuk menghukumnya dengan hukum Allah, berarti dien ini belum tegak. Berarti jejaring kekuasaan Allah tidak mampu menjerat dan menghukum pelanggar. Berarti Allah “lemah” di bumi-Nya sendiri. Allah “tak berkutik” untuk mengejar para pelanggar padahal mereka adalah hamba-hamba ciptaan Allah sendiri. Allah belum menjadi raja tunggal yang berdaulat.

Dien disebut tegak hanya jika Allah menjadi maliki yaum ad-dien di dunia sebagaimana Allah akan menjadi maliki yaum ad-dien di akhirat kelak. Maliki yaum ad-dien artinya Allah menguasai hari pembalasan, tak ada yang bisa lolos dari hukuman-Nya.

Iqamah ad-dien tak bisa dilepaskan dari makna dien atau pembalasan tersebut, sebuah mekanisme hukuman terhadap siapa yang melanggar ketentuan Allah, baik di akhirat maupun di dunia. Ketika semua manusia diadili dengan hukum Allah kelak, maka semestinya mereka juga diadili dengan hukum Allah saat di dunia. Sementara mengadili tak bisa dilakukan tanpa bingkai kedaulatan dan kekuatan sistem.

Realita saat ini manusia yang melakukan pelanggaran aturan Allah dihukum dengan hukum buatan manusia bukan dengan hukum Allah. Karenanya pemilik kedaulatan adalah manusia, bukan Allah. Maknanya, perintah iqamah ad-dien relevan saat ini karena faktanya dien Allah terpuruk. Dien Allah mesti ditegakkan agar seluruh manusia tunduk kepada Allah saja. Inilah makna ayat: “dan perangilah mereka (kaum kafir) hingga tak ada fitnah (kemampuan mengganggu dien Allah) dan seluruh dien (ketundukan manusia) hanya untuk Allah” – QS. Al-Anfal: 39

Tafarruq Tanpa Sadar

Sementara dari sisi larangan, juga hanya satu; jangan tafarruq dalam usaha menegakkan dien Allah. Karena memang hambatan tunggal dalam menegakkan dien Allah hanya faktor internal yaitu tafarruq. Faktor eksternal tak dihitung oleh Allah sebagai hambatan. Jika para aktifis bisa bersatu, semua tantangan eksternal bisa diatasi. Dengan izin Allah. Meski makar musuh Allah mampu melenyapkan gunung.

Kesimpulan ini didasari keyakinan sederhana. Sebuah prinsip iman. Allah Maha Kuasa. Allah berjanji menolong hamba-hamba-Nya yang berusaha menegakkan dien-Nya. Sementara kaum kafir secanggih apapun teknologinya, tak akan mampu menciptakan lalat. Maknanya kemampuan mereka tak mungkin lebih hebat dari Allah. Ketika para aktifis bersatu dalam proyek iqamah ad-dien, niscaya Allah berpihak kepada mereka. Keberpihakan ini membuat hambatan eksternal dari kaum kafir tak layak diperhitungkan terlalu serius. Meski bukan lantas meremehkan.

Proyek iqamah ad-dien itu mirip proyek bangun rumah yang harus dikerjakan secara kolektif. Ada 100 orang diminta membangun satu rumah. Tanpa dilarang tafarruq sekalipun, mereka paham rumah tak akan jadi bila mereka tidak kompak. Dengan demikian, larangan tafarruq dalam proyek iqamah ad-dien itu hakekatnya hanya warning untuk mengingatkan sebuah sunnatullah yang berlaku abadi; bahwa orang-orang yang bekerja secara kolektif tidak akan mencapai tujuan bersama jika tidak kompak dan satu komando. Naluri manusia secara otomatis memahami bahwa perintah bangun rumah itu menghajatkan kekompakan dan kerjasama. Ketika 100 orang tersebut jalan sendiri-sendiri, rumah tak pernah jadi. Apalagi ada sebagian yang membangun, ada sebagian lain yang merusak.

Dengan demikian makna tafarruq itu tidak harus berpecah-belah, sebagaimana terjemahan populer untuk kata tafarruq. Tafarruq bisa lebih sederhana dan pada tingkat lebih awal sebelum sampai pada kondisi berpecah belah. Misalnya soal gambar rumah yang mau dibangun, atau biasa disebut blue print. Jika 100 orang tersebut tidak bisa menyepakati satu gambar, pekerjaan belum akan bisa dimulai.

Tafarruq juga tak harus identik dengan niat buruk sebagaimana makna itu terkandung dalam kata berpecah belah. Ketika masing-masing menyodorkan gambar rumah pasti masing-masing berniat baik, bahwa gambarnya dibuat paling bagus dan ideal. Karenanya, masing-masing bersikukuh dengan gambarnya. Bukan karena niat buruk, tapi justru karena terlalu idealis sambil egois tanpa sadar. Maka rumah gagal dibangun hanya karena tidak ada kesepakatan gambar siapa yang akan dijadikan acuan. Bukan dari awal menginginkan kisruh.

Tafarruq juga tak selalu berbentuk permusuhan. Ada satu kelompok dari 100 orang tersebut yang giat bekerja, tapi ada kelompok lain yang hanya menonton. Atau ada satu kelompok yang bekerja sesuai prioritas sementara kelompok lain asyik dengan pekerjaannya sendiri. Sama-sama bekerja tapi tak terjalin kerja sama. Meski hal ini tak mengandung permusuhan, tapi upaya membangun menjadi terhambat. Dan itu masuk dalam larangan tafarruq.

Apalagi jika ada satu kelompok yang membawa motif dunia, sementara kelompok lain motifnya ikhlas karena Allah. Pembawa motif dunia tampak bekerja menegakkan Islam, tapi ketika kaum kafir datang membawa dunia, ia mudah menjualnya demi dunia tersebut. Perbedaan motif ini akan menyebabkan dien tak tegak, yang karenanya masuk dalam istilah tafarruq juga.

Problem terbesar umat Islam masa kini, mereka jumlahnya besar, alirannya beragam, faksinya banyak, mazhabnya berlainan tapi tak punya sosok pemimpin pemersatu. Dalam kondisi seperti itu mereka diminta menegakkan kembali Islam secara kolektif dan dilarang tafarruq. Sementara satu-satunya yang bisa diandalkan sebagai imam dan pemersatu adalah pusaka Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperangkat teks ilmu yang memahaminya saja menghasilkan tafarruq. Kalau bukan karena rahmat Allah, ini semua rasanya mustahil. Tapi iman di dada melahirkan keyakinan penuh bahwa dengan izin Allah pasti berhasil. La roiba fieh. Wallahul-musta’an.

(@elhakimi telegram.me/islamulia)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *