Tadabur al-Quran: Teladan Memimpin ala Nabi Sulaiman

Tadabur al-Quran: Teladan Memimpin ala Nabi Sulaiman

 Allah Ta’ala mengisahkan dalam al-Quran banyak kisah-kisah yang penuh dengan hikmah. Kisah-kisah tersebut diceritakan bukan tanpa arti atau sekedar jadi bacaan dongeng sebelum tidur. Bukan. Akan tetapi sebagai pengingat dan pelajaran bagi siapa saja yang mau mereguk hikmah dalam kisahnya.

Salah satu kisah yang Allah ceritakan dalam al-Quran adalah beberapa episode dari kisah Nabi sulaiman. Dari sekian kisah Nabi Sulaiman yang Allah cerikan dalam al-Quran, tulisan ini akan memotret satu episode saja dan mencoba menarik hikmahnya untuk direguk bersama.

Nabi Sulaiman dan Burung Hud-hud

وَتَفَقَّدَ ٱلطَّيۡرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَآ أَرَى ٱلۡهُدۡهُدَ أَمۡ كَانَ مِنَ ٱلۡغَآئِبِينَ

 “Kenapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah dia tidak hadir?” (an-Naml: 20)

Jeli dan teliti. Itu hikmah pertama yang dapat ditangkap dari sikap yang ditunjukkan Nabi Sulaiman sebagai seorang pimpinan. Bisa dibayangkan, selain seorang Nabi, Sulaiman juga adalah seorang Raja yang Allah karunakan kepadanya kerajaan dengan teritorial nyaris separuh dunia.

Manusia, jin dan hewan ditundukkan dibawah telunjuk perintahnya. Yang berarti, Nabi Sulaiman memiliki pasukan besar yang harus ia atur dan perhatikan. Tapi menarik, saat seekor burung tidak menghadiri rapat yang ia selenggarakan, Nabi Sulaiman tahu. Jeli dan teliti.

Burung Hud-hud tidak hadir pada pertemuan itu, atau lebih tepatnya belum datang. Sehingga Nabi Sulaiman menanyakan keberadaannya. Ini bentuk perhatian dan kejelian yang ditunjukkan Nabi Sulaiman kepada pasukannya.

Burung Hud-hud adalah seekor  burung berukuran kecil yang bertugas mencari sumber air untuk mensuplai kebutuhan air kerajaan. Ia mengetahui tempat-tempat yang berisi sumber air, untuk kemudian pasukan dari golongan jin menggali tempat-tempat yang telah ditandai Hud-hud untuk digali dan diambil airnya. (Lihat: Abdurrahman as-Sa’di, Tafsir as-Sa’di, hlm.602)

Sebab dicarinya Hud-hud bukan karena ia punya peran dalam proses pencarian air. Sehingga ia dapat perhatian khusus karena pekerjaannya. Terlebih Nabi Sulaiman punya pasukan lain yang bisa mengerjakan hal tersebut. Namun karena ia tidak hadir dalam pertemuan dan Nabi Sulaiman mengetahuinya.

Ini menunjukkan perhatian yang besar seorang pemimpin kepada rakyat dan pasukannya. Bahkan seekor burung kecil saja tidak luput dari pandangannya, maka hal yang lebih besar pastilah mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar lagi. (Lihat: Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Quran, 9/144).

Sikap Tegas Seorang Pimpinan

لَأُعَذِّبَنَّهُۥ عَذَاباً شَدِيدًا أَوۡ لَأَاْذۡبَحَنَّهُۥٓ أَوۡ لَيَأۡتِيَنِّي بِسُلۡطَٰنٍ مُّبِينٍ

“Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”.(an-Naml: 21)

Tegas. Itu karakter kedua yang diperlihatkan Nabi Sulaiman sebagai seorang pimpinan yang mendapati salah satu dari anggota pasukannya melakuan tindakan indisipliner. Maka memberi hukuman kepada yang melanggar adalah sebuah kemestian. Karena hukuman seorang pemimpin pada bawahannya, adalah pelajaran bagi yang lain.

Jika kedisiplinan tidak ditegakkan, maka pelanggaran akan menular kepada yang lainnya. Hanya soal waktu, akan tercipta satu atmosfer pembangkangan di antara para pasukan. Maka terlihat management leadership ala Nabi Sulaiman memainkan peran.

Peran Nabi Sulaiman yang ditunjukkan lewat ayat ini seharusnya bisa jadi bahan pelajaran sekaligus perenungan kepada setiap mereka yang disebut sebagai pemimpin. Sikap tegas kepada para pejabat dan aparatur negara harus dilakukan demi menjaga roda pemerintahan berjalan sesuai relnya.

Maka penyelewengan tanggung jawab jabatan; korupsi, kolusi, gratifikasi, jual-beli jabatan, nepotisme hinga ketidakbecusan kinerja harus ditindak tegas dan keras. Demi berlangsungnya pemerintahan yang baik dan benar.

Karena jika tidak demikian, jika dibiarkan, penyimpangan tersebut akan menular kepada pejabat lainya, sehingga tanpa sadar melahirkan penyakit “Ah, sudah biasa”.

Korupsi jadi biasa, nepotisme jadi biasa, dinasti politik keluarga jadi lumrah, gratifikasi jadi biasa, proyek mangkrak jadi biasa, APBN yang menguap entah kemana jadi biasa, indisipliner dalam kinerja jadi biasa. Semua kesalahan dianggap lumrah dan biasa. Seperti kata pepatah, “Alah bisa karena biasa.”

Apa sebabnya?

Karena tidak adanya ketegasan sejak awal, semua jadi angin lalu dan sikap peremehan. Lantas rakyat harus jadi korban atas sikap tidak becus pejabat yang mengurus negara dan hajat orang banyak. Rakyat jadi melarat.

Sinergi bawahan dan pimpinan

فَمَكَثَ غَيۡرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ وَجِئۡتُكَ مِن سَبَإِۢ بِنَبَإٍ يَقِينٍ

“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.” (An-Naml: 23)

Kisah selanjutnya menceritakan bahwa burung Hud-hud akhirnya hadir meski terlambat. Ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang menghalanginya datang tepat waktu. Bukan menyengaja tidak hadir, karena setelah menyampaikan alasan keterlambatannya, argumentasinya diterima oleh Nabi Sulaiman.

Tapi coba perhatikan bagaimana burung kecil ini membuka kalimatnya saat menghadap sang Raja. “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya.” Ajaib.

Coba bayangkan. Seokor burung kecil berani berkata kepada seorang Raja sekaligus Nabi yang ada di hadapannya, “Aku mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya.”

Apa hikmahnya?

Pertama, pentingnya ilmu dan pengetahuan. Karena dengan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki Hud-hud, ia menajdi hujjah dan argumentasi keterlambatannya, ia selamat dari hukuman kematian.

Seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa ketika Nabi Sulaiman mengancam Hud-hud dengan adzab yang pedih, atau menyembelihnya, yang bisa menyelamatkan hud-hud adalah ilmu. (Lihat: Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Miftah Dar as-Sa’adah, 1/173)

Bayangkan betapa agungnya ilmu, bahkan jika itupun melekat pada diri seekor burung. Membuatnya selamat dari hukuman, dan menaikkan derajatnya di hadapan seorang Nabi sekaligus Raja negara adidaya. Sehingga ia punya bargaining position, dan pendapatnya layak untuk didengar.

Kedua, betapa agungnya sifat Nabi Sulaiman menjadi seorang pimpinan. Ia tidak angkuh dan jumawa hanya karena menjadi Nabi sekaligus Raja. Meskipun nasehat dan masukan itu datang dari bawahannya, selama itu baik dan untuk perbaikan. Maka dengan lapang dada ia terima.

Demikianlah seharusnya seorang pemimpin. Ia harus banyak mendengar saran dan masukan dari para ahli yang memang punya kompetensi untuk bicara. Dan juga sebagai pemimpin, sudah semestinya ia meletakkan jabatan-jabatan strategis kepada orang-orang yang benar-benar layak memangkunya.

Serahkan Urusan Pada Ahlinya

Right man on the right place. Orang yang tepat sesuai dengan jabatanya yang tepat pula. Ini salah satu kaidah penting dalam membagi pekerjaan. Terlebih di level pekerjaan negara dengan banyak persoalan.

Maka penting bagi seorang pemimpin untuk menunjuk para pejabat yang punya kemampuan. Jika lingkaran di keliling penguasa adalah para penjilat, tidak berani menyuarakan kebenaran demi kebaikan, maka akan rusak urusan sebuah negara.

Kebijakan dan keputusan yang diambil tidak tepat sasaran. Alih-alih melakukan perbaikan justru merusak dan menebar kerusakan.

Pemimpin yang cakap, akan memetakan semua perkerjaan dengan tingkat kesulitannya masing-masing. Kemudian ia akan mencari orang-orang yang punya kapasitas mengerjakannya. Dengan demikian semua urusan akan berjalan sebagaimana mestinya.

Maka tulisan ini ditutup dengan sebuah sabda sang Nabi agung Muhammad shalallahu ‘alahi wa salam. Sebuah pesan yang harus diperhatikan agar semua urusan berjalan dengan penuh kebaikan.

“Jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. al-Bukhari)

Ust. Fajar Jaganegara (Da’i Himayah)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *