Syariat islam Tidak Perlu Diperdepatkan
Dalam sebuah diskusi di Jogyakarta, seorang dosen mempersoalkan, mengapa sistem pengajaran hukum Islam diberikan secara dogmatis?
Pertanyaan dosen tersebut sekilas tampak masuk akal. Kata ‘dogma’ sering dilawankan dengan kata ‘akal’. Dogmatis artinya diajarkan tanpa perlu berpikir. Pokoknya terima saja! Karena itu, dogmatis dikesankan tidak rasional.
Ungkapan itu perlu dijernihkan. Dalam hukum atau syariat Islam, memang banyak hal yang bersifat ‘dogmatis’. Tidak perlu dipikirkan lagi. Yang penting dijalankan saja, karena memang begitulah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagi orang muslim, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan yang baik (uswah hasanah). Jika Rasul sudah memerintahkan sesuatu, maka tidak ada pilihan lain, kecuali sami’na wa atha’na. Itulah sikap muslim yang sudah berikrar bahwa “Tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Bahkan, salah satu syarat keimanan, adalah tunduk dan rela dengan aturan yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’: 65)
Karena itu, tidak ada salahnya jika seorang muslim memegang syariat sebagai dogma. Bahwa syariat adalah aturan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang harus ditaati, tanpa perlu tahu latar belakang atau alasan ditetapkannya aturan itu. Banyak aspek dalam syariat Islam yang tidak mampu dijangkau oleh akal. Kenapa masuk kamar mandi sebaiknya kaki kiri dulu? Mengapa shalat shubuh harus dua rakaat? Mengapa babi diharamkan? Mengapa khamr diharamkan sama sekali? Mengapa pezina dirajam dan di cambuk 100 kali? Dan sebagainya.
Tetapi, Islam bukanlah agama yang dogmatis. Islam memerintahkan manusia untuk berpikir dan berilmu dalam memeluk Islam: “Fa’lam annahu laa-ilaaha illallah’. Islam adalah agama yang dibangun di atas dasar hujjah. Bukti-bukti bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahwa Allah benar-benar wujud juga bisa dibuktikan dengan akal. Konsep Islam ini sangat berbeda dengan tradisi Kristen yang memiliki konsep ketuhanan trinitas yang sangat rumit, sehingga St. Augustine mengeluarkan ungkapan “credo ut inteleegam” (Aku beriman supaya aku paham). Bahkan, Tertullian, seorang teolog Kristen kenamaan mengungkapkan: “credo quia absurdum”. (Aku beriman, justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal).
Jadi, dalam pandangan Islam, ketika seorang sudah masuk Islam, menerima Allah sebagai satu-satunya sesembahan, dan menerima Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya yang terakhir, maka tidak ada pilihan baginya, kecuali mentaati Allah dan Rasul-Nya. Jika tidak siap untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka keimanan itu bohong-bohongan saja. Di sisilah aspek syariat atau hukum Islam harus diletakkan. Siapa pun yang benar-benar mengakui konsekuensi syahadatnya, pasti tidak akan menolak syariat Islam. Hingga kini, masalah syariat masih saja diperdepatkan di Indonesia. Lucunya, di antara yang mempersoalkan syariat Islam adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam. Bahkan, banyak juga yang dikenal pakar dan tokoh.
Persoalan sebenarnya bukanlah terletak pada aspek syariah itu sendiri, tetapi sudah menyangkut cara pandang terhadap Islam, khususnya terhadap cara pandang terhadap konsep-konsep pokok dalam Islam, yang kini dikenal sebagai “Islamic worldview” (Pandangan Hidup Islam). Jika seorang muslim memiliki pandangan yang benar tentang Allah, Nabi, al-Qur’an, dan Dienul Islam, pasti tidak akan menolak syariah. Karena itu, bagi kaum muslim, dalam soal hukum, yang diperlukan saat ini adalah penyadaran akan makna dan posisi hukum itu sendiri.
Persoalan yang lebih mendasar justru berada di luar wilayah hukum itu sendiri. Selama kaum muslim tidak memiliki pandangan hidup Islam (Islamic worldview) yang benar tentang hukum Islam, maka akan sangat sulit mereka untuk menerima hukum Islam. Bagi seorang msulim, pandangan terhadap hukum Islam adalah bagian dari konsep pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Dalam situasi seperti ini, perlu dipertimbangkan, jargon yang diangkat ke tengah masyarakat bukanlah “menegakkan syariat Islam” tetapi “menegakkan aqidah dan syariah Islam”. Sebab, syariah adalah konsekuensi dari penegakkan aqidah. Orang yang aqidahnya benar, pasti tidak menolak syariah. Tetapi, tidak sebaliknya.
Kini, banyak bank dan perusahaan asuransi milik non-muslim yang melaksanakan syariah. Singapura bahkan menjadikan negeranya sebagai pusat keuangan syariah. Di bulan Ramadhan, banyak artis mengenakan kerudung, karena tuntutan shooting. Saat ini, para aktivis dan akademisi muslim, khususnya yang bergelut di bidang hukum Islam, perlu merumuskan strategi yang matang dalam penegakan syariah. Masih banyak masyarakat yagn tidak paham tenang syariah. Mereka membayangkan, syariah itu hanya berkaitan dengan soal pidana. Padahal, yang sangat mendesak untuk diterapkan saat ini adalah syariat di bidang keadilan sosial-ekonomi. Sebagai contoh, bagaimana mengatur angaran negara yang sesuai syariat.
Adalah tidak syari’i, misalnya, menggunakan anggaran negara untuk jalan-jalan anggota DPR ke luar negeri, membangun monumen, membuat patung, dan sebagainya, sementara masih banyak rakyat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan). Adakah tidak syar’i mengunakan uang rakyat untuk membayar utang luar negeri yang tidak pernah dinikmati oleh rakyat. Kita melihat fenomena aneh dari gerakan reformasi. Mereka menumbahgkan rezim orde baru, tetapi justru rela mewarisi utang-utang rezim orde baru yang jumlahnya sekitar 13000 triliyun. Rakyat yang habis-habisan ikut menumbangkan orde baru dipaksa oleh DPR dan pemerintah untuk membayar utang.
Tetapi, lebih penting dari itu semua adalah aspek keteladanan. Para ulama, mubaligh, aktivis, tokoh dan juga organisasi-organisasi Islam harus menjadi contoh dalam penegakan syariah Islam, sebelum mengajak masyarakat menerapkan syariah. Itulah kunci sukses dakwah Rasul dlam penegakkan syariah. Jika sekolah, rumah sakit, pesantren, bank, dan berbagai institusi keislaman bisa menjadi teladan bagi masyarakat dalam menerapkan syariah Islam, maka tentu masyarakat akan berbondong-bondong mencontoh penerapan syariah Islam. Wallahu a’lam.
Penulis: Adian Husaini