Syarat Istinja’ Dengan Batu
Serial Syarh Matan Safinatu An Naja
Oleh: Ust. Risdhi ar-Rasyid
شُرُوطُ إِجْزَاءِ الْحَجَرِ ثَمَانِيَةٌ: أَنْ يَكُونَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، وَأَنْ يُنْقِي الْمَحَلَّ ، وَأَنْ لَا يَجِفَّ النَّجَسُ ، وَلَا يَنْتَقِلَ ، وَلَا يَطْرَأَ عَلَيْهِ آخَرُ ، وَلَا يُجَاوِزَ صَفْحَتَهُ وَحَشَفَتَهُ ، وَلَا يُصِيبَهُ مَاءٌ ، وَأَنْ تَكُونَ الْأَحْجَارُ طَاهِرَةً
“Syarat beristinja’ dengan batu ada delapan; Menggunakan tiga batu, dapat membersihkan tempat (keluarnya najis), najisnya belum kering, najisnya tidak berpindah, tidak ada najis lain, najisnya tidak melewati pantat dan hasyafah, tidak terkena air, dan batu yang digunakan suci”.
Salah satu bentuk kesempurnaan syariat Islam adalah ajarannya yang mencakup seluruh lini kehidupan manusia, dari perkara kecil hingga perkara besar, diatur dengan sedemikian detailnya. Diantara perkara tersebut adalah perkara seremeh cebok atau istinja’, Dalam sebuah hadits disebutkan
عنْ سَلْمَانَ قَالَ قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- كُلَّ شَىْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ. قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
“Dari Salman, beliau berkata; ditanyakan padanya Nabimu benar-benar telah mengajari kalian segala hal hingga masalah cebok. Salman menjawab; benar. Sungguh ia telah mencegah kami menghadap kiblat ketika berak atau kencing, cebok dengan tangan kanan, cebok dengan kurang dari tiga batu, cebok dengan kotoran atau dengan tulang”.(HR. Muslim)
Istinja’ dalam pengertian syar’i adalah suatu usaha untuk menghilangkan kotoran yang keluar dari jalur pembuangan selepas buang air, baik dengan mencucinya dengan air ataupun mengusapnya dengan batu. Adapun membersihkan kotoran tersebut dengan batu diistilahkan dengan istijmar. Hukumnya sendiri adalah wajib. (Nailu ar-Raja bisyarhi Safinati al-Naja, hlm.20)
Adapun cara terbaik dalam beristinja’ adalah dengan menggunakan batu kemudian air, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh penduduk Quba pada masa Rasulullah. Namun, boleh jika mencukupkan hanya dengan air atau batu saja
Syarat Istinja’ Dengan Batu
Penggunaan air sebagai media istinja’ tentu saja tidak diragukan akan kebolehannya, seperti itu juga media selain air seperti batu.
Adapun dalam penggunaan batu bisa dilakukan apabila memenuhi beberapa syarat, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab safinatunnaja. Sebagai berikut;
Pertama: Menggunakan Tiga Batu
Dalilnya adalah hadits Rasulullah ﷺ :
إذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ
“Jika diantara kalian pergi buang air maka hendaklah ia pergi dengan membawa tiga batu dimana ia membersihkan kotoran dengan nya. Tiga batu itu cukup untuknya.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hal ini, sebenarnya tidak hanya bisa dengan tiga buah batu, bisa juga dengan tiga sisi dari satu batu. Jika yang demikian bisa membersihkan kotoran maka mencukupi. Namun, apabila dengan tiga batu saja belum dapat membersihkan kotoran, maka wajib untuk menambah jumlah batu yang ke empat dan seterusnya. Sedangkan apabila bisa bersih tanpa harus menggunakan tiga batu, maka masih disunahkan untuk menggunakan tiga buah batu. (Kasyifatu as-Saja, hlm;78)
Kedua: Penggunaan Batu Dapat Membersihkan Tempat Keluranya Najis
Tempat keluar kotoran yang dimaksud adalah lubang anus dan daerah sekitarnya, serta kemaluan laki-laki dan perempuan. Adapun standar bersihnya adalah najis yang dibersihkan tidak lagi tersisa kecuali hanya sekedar bekas yang tidak bisa dibersihkan kecuali dengan air atau media lain.
Ketiga : Najisnya Belum Mengering
Bila najisnya telah mengering maka tidak bisa beristinja’ hanya dengan batu saja tanpa menggunakan air. Ini dikarenakan batu tidak bisa menghilangkan najis tersebut setelah kering. Maka bila najis telah mengering secara keseluruhan atau sebagiannya harus dibersihkan dengan menggunakan air.
Keempat: Najisnya tidak berpindah
Najisnya tidak berpindah dan menyebar dari tempat keluarnya najis. Jika menyebar dan masih menyambung dengan tempat keluarnya, maka wajib mencuci semua bagian dengan air. Sedangkan, jika tersebarnya itu terpisah, sebagai contoh kotorannya terkena betis, maka kotoran yang berada di betis wajib dibasuh air, Adapun yang berada di tempat keluar najis masih sah bila hanya menggunakan batu.
Kelima : Najisnya tidak bercampur dengan najis lain
Najisnya tidak terkena barang najis yang lain atau barang suci yang basah selain air keringat. Bila yang mengenainya adalah air keringat atau benda suci yang kering seperti batu kerikil maka tidak mengapa. Namun bila yang mengenainya adalah barang najis baik basah maupun kering atau barang suci yang basah maka istinja’ mesti dilakukan dengan menggunakan air, tidak bisa hanya dengan menggunakan batu saja.
Keenam: Najis tidak melebihi dari tempat keluarnya
Bagi orang yang buang air besar najis yang keluar tidak melampaui bagian samping dubur, yakni bagian bokong yang apabila pada posisi berdiri maka akan menempel satu sama lain. Sedangkan bagi orang yang buar air kecil najis yang keluar tidak melampaui ujung zakar. Bila itu terjadi maka istinja’ yang dilakukan harus dengan air, tidak bisa hanya dengan batu saja.
Ketujuh: Najisnya tidak terkena air
Maksudnya, saat setelah atau sebelum beristinja’ menggunakan batu najis yang keluar tidak terkena air yang tidak dimaksudkan untuk membersihkan najis tersebut meskipun air tersebut suci atau tidak terkena benda cair lain. Ini dikarenakan air atau benda cair tersebut bisa menjadi najis.
Kedelapan: Batu yang digunakan adalah batu yang suci.
Artinya, jika seseorang telah beristinja’ dengan batu, akan tetapi batu yang digunakan adalah batu yang telah terkena najis, maka istinja yang dilakukan belum cukup.
Kemudian, perihal media istinja selain dari air, para ulama tidak membatasi hanya pada batu, tapi semua benda yang memenuhi persyaratan batu, maka boleh digunakan. Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan;
“Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang dapat diqiyaskan dengan batu secara hakiki – yakni apapun yang padanya terdapat empat sifat- maka dapat digunakan untuk beristinja’. Yang demikian itu disebut batu secara syar’i.” (Muhammad Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, hal. 34)
Adapun sifat yang empat itu adalah
كل جامد طاهر مزيل للعين وليس له حرمة ولا هو جزء من حيوان
“Segala sesuatu yang padat, suci, mengangkat najis dan bukan sesuatu yang dimuliakan serta bukan bagian dari binatang” (Majmu Syarhu al-Muhadzab, Imam Nawawi. 2/112)
Maka, benda apapun yang memenuhi syarat dapat dijadikan pengganti batu untuk beristinja’. Seumpama tisu, daun yang telah kering, batu bata dan lain sebagainya bisa digunakan untuk beristinja’ karena ia memenuhi keempat syarat tersebut. Wallahu a’lam