Syarat Dalam Bertransaksi

Dalam bertransaksi tak selalunya berjalan sebagaimana mestinya. Terkadang ada semacam persyaratan yang diminta oleh mitra bisnis dengan bermacam alasan yang diinginkan.

Pembahasan ini menjadi penting, sebab tidak menutup kemungkinan persyaratan yang diambil dalam bertransaksi melanggar ketentuan-ketentuan syariat. Berikut ulasan terkait dengan persoalan diatas.

 

Memahami Makna Syarat

Secara bahasa syarat berarti mengharuskan sesuatu, baik dalam jual beli atau semisalnya, (Majduddin Fairuz Abadi,al-Qamus al-Muhith, Tahqiq: Maktab Tahqiq at-Turats, [Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2005], 1/869).

Sedangkan secara istilah berarti mengkaitkan suatu hal dengan yang lain. Jika hal yang dikaitkan itu ada, maka perkara yang dimaksud juga ada. Dapat dimaknai juga dengan suatu hal yang menjadi patokan berlakunya hukum. (Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab at-Ta’rifat, [Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1983], 126).

Sebagai contoh, masalah wudhu. Wudhu adalah syarat sahnya shalat, jika seseorang shalat tanpa berwudhu maka shalatnya tidak sah, artinya pelakunya dianggap belum shalat. Namun, jika seseorang sudah berwudhu, belum tentu dia terkena kewajiban shalat.

 

Dua Hal yang Berbeda

Pada edisi sebelumnya telah dibahas perihal syarat-syarat transaksi. Perlu dipahami bahwa istilah syarat-syarat dalam bertransaksi berbeda dengan istilah syarat-syarat transaksi.

Syarat dalam bertransaksi maknanya adalah suatu keharusan yang diajukan oleh salah satu pelaku transaksi kepada lawannya, sebab ada manfaat tertentu yang diharapkan,  (Abdul Qadir asy-Syaibani, Nailul Ma’arib bi Syarhi Dalil ath-Thalib, Tahqiq: Sulaiman al-Asyqar, [Kuwait: Maktabah al-Falah, 1983], 3/48)

Sementara Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan syarat dalam transaksi berarti keharusan yang diajukan kepada lawan transaksi dan tidak termasuk dalam ketentuan baku dalam bertransaksi. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa bilamana keharusan tersebut termasuk di antara ketentuan baku dalam bertransaksi maka itu hanya sekedar penguat saja, (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaadi al-Mustaqni’, [Dar Ibn al-Jauzi, 1422-1428 H], 8/222).

Lebih jelasnya, beliau menyebutkan perbedaan antara syarat dalam bertransaksi dan syarat transaksi menjadi empat poin.

Pertama, Syarat-syarat transaksi ditentukan oleh pembuat syariat. Sedangkan syarat-syarat dalam transaksi ditentukan oleh satu satu dari dua pihak yang melakukan transaksi.

Kedua, Syarat-syarat transaksi merupakan syarat yang menentukan keabsahan suatu transaksi.

Beda halnya dengan syarat-syarat dalam bertransaksi, ia termasuk dalam kategori syarat kepastian hukum suatu transaksi.

Oleh sebab itu, jika syarat ini belum terpenuhi maka transaksi yang dilakukan tetap sah namun hukumnya belum pasti, artinya belum terjalin ikatan kuat antar pelaku transaksi, sehingga pelaku transaksi memiliki hak untuk membatalkan transaksi secara sepihak, kecuali jika ada faktor-faktor yang menghalanginya, (Wahbah Az-Zuhaili,al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Dar al-Fikr, tt], 5/42).

Ketiga, Syarat-syarat transaksi tidak dapat digugurkan, sebab jika digugurkan transaksi yang dilakukan tidak sah secara syar’i. Sedangkan syarat dalam transaksi dapat digugurkan menurut kesepakatan kedua belah pihak. Sebab jika syarat ini dihilangkan, maka hak khiyar menjadi gugur. Dan transaksi yang dilakukan menjadi lazim (mengikat atau pasti hukumnya).

Keempat, syarat-syarat transaksi semuanya benar dan berlaku, karena berasal dari pembuat syariat. Sedangkan syarat-syarat dalam transaksi sebagian ada yang sah dan berlaku dan sebagian lainnya tidak sah serta tidak berlaku, karena yang menentukan adalah manusia. Hal mana, manusia itu bisa benar dan bisa salah, (asy-Syarhu al-Mumti’, 8/223).

 

Klasifikasi Syarat Dalam Bertransaksi

Dalam klasifikasi ini terjadi perbedaan di antara para ulama. Menurut kalangan Hanafiyah, syarat dalam bertransaksi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu syarat shahih, batil dan fasid. Sedangkan menurut kalangan selain Hanafiyah, seperti seperti al-Mardawi dari madzhab Hambali, membagi syarat ini menjadi dua bagian, yaitu syarat shahih dan syarat batil.

Perbedaan ini terjadi, karena kalangan Hanafiyah membedakan antara fasid dan batil. Beda halnya dengan jumhur yang menyamakan keduanya. Namun, dalam hal ini jumhur membaginya menjadi shahih dan fasid atau shahih danbatil, (alMausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, [Mesir: Dar ash-Shafwah, tt], 26/11 dan ‘Alauddin al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifati ar-Rajih min al-Khilaf, [Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt], 4/340-362).

Agar lebih mudah, berikut pembagian syarat dalam transaksi menurut jumhur ulama sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Abdulah Muslih dan Prof. Dr. Sholah ash-Shawi. Pertama, syarat yang shahih. Syarat ini terbagi menjadi tiga macam.

Pertama, syarat yang sesuai dengan tujuan dan tuntutan dalam transaksi, contohnya syarat harus ada serah terima barang yang ditansaksikan dan harga yang disepakati harus dibayar dengan tunai.

Kedua, syarat yang mengandung kemaslahatan dalam transaksi. seperti syarat yang terkait dengan pembayaran, misalkan dengan kredit, atau dengan adanya jaminan berupa borq atau adanya seseorang yang menjadi penjamin. Dan juga syarat yang terkait dengan sifat dari objek transaksi, seperti budaknya harus perawan dan semisalnya.

Ketiga, syarat berupa manfaat yang diketahui, tidak termasuk dalam tuntutan dan tujuan transaksi namun juga tidak menegasikannya. Seperti halnya persyaratan untuk menempati rumah yang ditransaksikan selama sebulan pasca transaksi berlangsung.

Berikutnya macam yang kedua, yaitu syarat yang batil atau syarat yang fasid. Pertama, syarat yang diajukan oleh salah satu pelaku transaksi kepada yang lain berupa transaksi lain seperti jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam dan semisalnya. Syarat seperti ini menjadikan transaksi yang dilakukan batal, sebagaimana pendapat Hanabilah. Karena adanya larangan didalamnya, (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 26/14)

Kedua, syarat yang menghilangkan tujuan atau tuntutan dalam transaksi. seperti halnya syarat untuk tidak menjual barang yang dibeli, tidak menghibahkan dan tidak memerdekakan budak. Syarat seperti ini batil, namun transaksi yang dilakukan tetap sah.

Ketiga, syarat yang diajukan berupa menghubungkan transaksi dengan sesuatu yang belum terjadi. Misalkan seseorang berkata, “Saya akan menjual mobil ini kepadamu awal bulan depan seharga sekian.” Artinya transaksi ini sudah terjadi, hanya saja tuntutan dan konsekuensi dari transaksi tertunda hingga waktu yang disepakati oleh pelaku transaksi.

Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan, para ulama bersepakat bahwa transaksi dengan syarat seperti ini batal. Kalangan Hanafiyah menyebutnya dengan fasid dan selainnya menyebutkan dengan batil.

Lebih lanjut beliau jelaskan bahwa sebab dilarangnya transaksi dengan syarat seperti ini karena kedua pelaku transaksi tidak mengetahui kondisi objek setelahnya. Begitu juga tidak ada jaminan terkait dengan kerelaan serta kemaslahatan keduanya terhadap transaksi yang dilakukan. (Abdullah l-Muslih dan Shalah ash-Shawi, Ma la yasau at-Tajiru Jahluhu, [Riyadh: Dar al-Muslim, Cet-1, 2001], 39 dan Fiqh Islam, 5/132-133)

sumber: majalah hujjah edisi  08

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *