Penguasa kebatilan dari zaman A hingga zaman Z selalu memiliki karakter yang sama, mereka hanya ingin menundukkan dan memperbudak di bawah kekuasaannya. Hakekatnya mereka tidak punya kepentingan dengan agama, suku, sejarah dan warisan budaya.
Namun jika kebenaran Laa Ilaaha Illallah datang untuk meluruskan seluruh manusia dari awam hingga elitnya untuk keluar dari pengabdian makhluk kepada makhluk menuju pengabdian total hanya kepada Allah semata, taat kepada semua pesan Allah yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan meninggalkan semua yang bertentangan dengannya, maka penguasa merasa kekuasaannya terancam karena harus ditundukkan total kepada Syariat Allah dan Rasul-Nya dan tercabut semua kepentingan hawa nafsunya.
Maka diantara cara untuk mendapatkan dukungan dan menjaga kekuasaannya adalah membangkitkan semangat fanitisme kepada sejarah nasionalisme, leluhur, suku, warisan budaya dan praktik agama yang bertentangan dengan wahyu yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam..
وكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23)
Artinya, “Demikian ketika Kami mengutus pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, para elit negeri itu selalu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama, ideology, budaya) dan kami hanya mengikuti jejak-jejak mereka.” [Az-Zukhruf : 23]
Penguasa berkepentingan dengan kekuasaannya sementara awam berkepentingan pada fanatismenya. Abu Jahal dan dewan parlemen Makkah sebenarnya tidak punya alasan dan argumen yang kuat untuk menolak kebenaran pesan yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, namun Karena takut hilang kekuasaan politiknya maka mereka menarasikan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai sosok yang mencela ilah dan warisan budaya leluhur.
رَوَى البَيْهَقِيُّ في دَلائِلِ النُّبُوَّةِ: عَنِ المُغِيرَةِ بنِ شُعْبَةَ -رضي اللَّه عنه- قَالَ: إِنَّ أوَّلَ يَوْمٍ عَرَفْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى اللَّه عليه وسلم- أنِّي كُنْتُ أمْشِي أنَا وأَبُو جَهْلِ بنُ هِشامٍ في بَعْضِ أزِقَّةِ (3) مَكَّةَ، إِذْ لَقِيَنا رَسُولُ اللَّهِ -صلى اللَّه عليه وسلم-، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى اللَّه عليه وسلم- لِأَبِي جَهْلٍ: “يا أبَا الحَكَمِ! هَلُمَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِلَى رَسُولِهِ أدْعُوكَ إِلَى اللَّهِ”.
فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ: يا مُحَمَّدُ هَلْ أَنْتَ مُنْتهٍ عَنْ سَبِّ آلِهَتِنا، هَلْ تُرِيدُ إِلَّا أَنْ نَشْهَدَ أَنْ قَدْ بَلَّغْتَ؟ .
فنَحْنُ نَشْهَدُ أَنْ قَدْ بَلَّغْتَ، فوَاللَّهِ لَوْ أنِّي أعْلَمُ أَنَّ ما تَقُولُ حَقًّا ما اتَّبَعتُكَ فانْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى اللَّه عليه وسلم-، وأقْبَلَ عَلَيَّ أَبُو جَهْلٍ، فَقَالَ: فَواللَّهِ إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّ مَا يَقُولُ حَقٌّ، ولَكِنْ بَنِي قُصَيٍّ قَالُوا: فِينَا الحِجَابَةُ، فَقُلْنا نَعَمْ، فَقَالُوا فِينَا النَّدْوَةُ، فَقُلْنا: نَعَمْ، ثُمَّ قَالُوا: فِينَا اللِّوَاءُ، فَقُلْنا: نَعَمْ، قَالُوا: فِينَا السِّقايَةُ، فَقُلْنا: نَعَمْ، ثُمَّ أطْعَمُوا وَأَطْعَمْنَا، حتَّى إِذَا تَحاكَّتِ الرُّكَبُ، قَالُوا: مِنَّا نَبِيٌّ، واللَّهِ لا أَفْعَلُ (1).
Artinya, “Al-Baihaqi meriwayatkan dalam Dalail Nubuwwahnya, dari Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu Anhu, dia berkata : Sesungguhnya hari pertama aku mengenal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah –saat aku berjalan bersama Abu Jahal di sebuah jalan Makkah, kami bertemu dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka Rasulullah berkata kepada Abu Jahal : “Wahai Abu Al-Hakam, mari mengikuti Allah dan Rasul-Nya, aku mengajakmu untuk (mengabdi /beribadah) kepada Allah.” Abu Jahal menjawab ; “Wahai Muhammad apa kamu tidak berhenti mencela Ilah-Ilah kami, apakah kamu ingin kami bersaksi bahwa kamu sudah menyampaikan (pesan Allah)? Maka kami sudah bersaksi bahwa kamu telah menyampaikan (pesan Allah), demi Allah kalaupun kami tahu bahwa apa yang kamu katakana benar, aku tidak akan pernah mengikutimu.
Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pergi, setelah itu Abu Jahal menghadap ke arahku seraya berkata; “Demi Allah sebenarnya aku tahu bahwa apa yang dikatakan Muhammad benar, akan tetapi bani Qushay pernah berkata; kita yang tetap menguasai urusan hijabah (kepengurusan ka’bah)? Maka aku katakan : “iya”, kita yang tetap menguasai Nadwah (dewan parlement Makkah)? Aku katakan : “iya”, kita yang tetap menjadi komandan liwa` (bendera perang)? Aku katakan : “iya” kita yang tetap menguasai urusan siqayah (memberikan minum para pengunjung baitullah Ka’bah) aku katakan : “iya”…sampai ketika kedudukan politik yang sama rata didapatkan, mereka berkata; bagaimana jika kita mengakui Nabi di tengah kita, maka aku katakan : aku tidak akan pernah melakukan itu.” [Dalail Nubuwwah oleh Al-baihaqi, 2/207]
Kisah di atas memberikan sebuah gambaran bahwa pada dasarnya yang membuat Abu Jahal menolak dakwah tauhid adalah ketakutakan dan kekhawatirannya akan kehilangan kontrol terhaap manusia. Dia khawatir, ketika manusia memberikan ketaatan dan ketundukan kepada wahyu, maka sejurus dengan itu, ketundukan manusia terhadapnya akan hilang.
Sementara, ketika Nabi Musa Alaihissalaam datang untuk meluruskan Fir’aun agar menundukkan dirinya dan kaumnya dalam kekuasaan Allah semata, mengabdi dalam segala urusan hanya kepada-Nya, maka Fir’aun murka dan ingin membunuh Musa secara konstitusi. Karena merasa kekuasaannya terancam, caranya dengan membuat narasi buruk tentang Musa bahwa Musa adalah pengusung radikalisme yang merusak tatanan dunia dan mengancam agama, ideologi, warisan budaya rakyat yang berhak mendapatkan hukuman keras.
وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي الأرْضِ الْفَسَادَ
Artinya, “Fir’aun berkata kepada (dewan konstitusinya) “biarkan aku membunuh Musa, dan suruh dia memohon kepada Rab-Nya, sesungguhnya aku khawatir dia akan mengganti agamamu dan menimbulkan kerusakan di bumi.” [Ghafir : 26]
Dan ketika para penguasa dan semua perangkatnya mulai bersikap melampaui batas di negeri-negerinya, menolak pesan kebaikan dari Allah yang dibawa oleh para Rasul maka mereka akan sangat terganggu dengan pesan dakwah para pembawa risalah. Mereka mulai memainkan narasi-narasi mereka guna menyudutkan risalah Islam.
Di antara cara yang mereka lakukan adalah mengeksploitasi setiap kekurangan dan kelemahan para pembawa risalah kebenaran. Sebut saja ketika Firaun mengeksploitasi kesalahan Musa yang tidak sengaja membunuh seorang rakyat Mesir dan menyebarkan kabar bahwa Musa adalah para pembawa kerusakan.
Pertanyaannya adalah, siapakah yang membawa kerusakan sebenarnya? Firaun atas nama mimpi, membunuh anak laki-laki di kalangan Bani Israil, ratusan mungkin bahkan ribuan bayi laki-laki Bani Israil dibunuh oleh Firaun dan tentaranya. Sementara Musa, hanya membunuh satu orang, itupun tanpa sengaja.
Hari ini kita bisa saksikan, bagaimana Amerika melakukan hal yang persis dengan Firaun. Dengan alasan perang melawan terorisme, Amerika meghancurkan leburkan Afganistan, menjatuhkan bom di sana sini, membantai dengan sais rakyat Afganistan. Ha yang sama juga mereka lakukan di Irak. Setelah semua itu, mereka masih percaya diri menyebut diri mereka sebagai Dewan Keamanan PBB.
Persis yang dilakukan oleh Bashar Asad di Suriah. Dengan alasan memerangi teroris, Bashar Assad tanpa ampun dan tanpa pernah istirahat, membantai dan terus membantai umat Islam. Sebuah anomali yang sempurna.
Narasi berikutnya yang dimainkan Firaun adalah menuduh Musa sebagai pemecah belah kesatuan Mesir. Narasi ini pula yang dimankan pembesar Quraisy kepada Nabi Muhammad. Nampaknya pola-pola penguasa kebatilan terus terulang. Para penguasa dan para tiran, dengan gagahnya mengatakan bahwa Islam memecah belah kesatuan, Islam membawa permusuhan dan tuduhan-tuduhan yang mirip.
Padahal, pada prakteknya merekalah yang memecah belah persatuan. Ketika Firaun menindas dan melakukan diskriminasi terhadap Bani Israil sementara di sisi lain dia membiarkan dan mengangkat kelompoknya. Hal yang sama sepertinya juga dilakukan oleh para tiran. Mereka membela mati-matian para pendukung mereka meski salah, sementara akan menghabisi-sehabis-nya para pengusung risalah Islam.
Hari demi hari, bulan demi bulan kezaliman demi kezaliman bertumpuk-tumpuk mereka lakukan, mereka seolah tidak sadar bahwa semakin tinggi intensitas kezaliman yang mereka lakukan, maka semakin mempercepat kejatuhan mereka. Allah SWT berfirman :
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا (16)
“Dan jika Aku (Allah) hendak membinasakan suatu negeri, kami perintahkan para elitnya untuk mentaati Allah, akan tetapi apabila mereka durhaka di dalamnya, maka sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (hukuman) kami, kemudian kami binasakan sama sekali negeri itu.” [Al-Isra` : 16]
Proses tumbangnya kekuasaan batil, hizbussyaithan, Auliya`ussyaithan, Thaghut dan Sabiil thaghut lalu lahirnya cahaya islam tentu tidak dengan bungkamnya ulama pewaris Nabi shallallahu Alaihi Wasallam, karena diamnya ulama dari fitnah jahiliyah yang menggerus Islam adalah fitnah yang mendukung kekuatan batil itu sendiri, tapi mereka harus berani menyampaikan pesan Laaillahaillallah, seperti keberanian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyerukan Laa Illaha illah di pangung Abu Jahal, keberanian Musa di panggung Fir’aun, keberanian Ibrahim di panggung Namrud.
(Ibnu Khomis-istidlal)