Sunah-Sunah Hari Idul Fitri
Manusia secara fitrahnya membutuhkan waktu untuk bersenang-senang, saat-saat di mana mereka bergembira melepas lelah. Setiap agama memiliki hari raya, dan Islam menjadikan hari raya bagi kaum muslimin pada dua waktu; ‘idul fitri dan ‘idul adha.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ لأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا ، فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْمَدِينَةَ ، قَالَ : كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ ، وَيَوْمَ الأَضْحَى.
“Dahulu orang-orang jahiliyah memiliki dua hari raya setiap tahun, dimana mereka bersenang-senang di dalamnya. Maka ketika Nabi shalallahu ‘alahi wa salam datang ke Madinah. Beliau bersabda, ‘dahulu kalian memiliki dua hari di mana kalian bersenang-senang di dalamnya, dan Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik; hari raya ‘idul fitri dan ‘idul adha.” (HR. Nasa’i)
Maka hari raya ‘idul fitri adalah momentum untuk merayakan kegembiraan, bentuk syukur atas nikmat yang Allah berikan berupa kemampuan dan kekuatan untuk menjalani ibadah Ramadan hingga selesai.
Itulah sebabnya penamaan hari raya dengan al-‘id, yang secara bahasa berarti sesuatu yang terus terulang setiap tahun. Dan padanya Allah jadikan banyak kebaikan bagi hamba-hamba Nya. (al-Iqna’, Muhammad bin Ahmad al-Khatib asy-Syarbini, 1/380)
Sunah-Sunah Hari Raya Idul Fitri
Dalam hari raya ‘idul fitri ada sunah-sunah yang dianjurkan untuk dikerjakan. Ada banyak sunah-sunah hari raya yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Diantara sunah-sunah hari raya ‘idul fitri sebagaimana berikut:
Pertama, memperbanyak takbir
Disunahkan memperbanyak takbir ketika ‘idul fitri, karena hal tersebut merupakan bagian dari syiar kaum muslimin. Bertakbir dengan suara yang dikeraskan di rumah-rumah dan diperbolehkan juga mengumandangkannya lewat menara-menara masjid dengan pengeras suara. (al-Mu’tamad fi Fiqhi asy-Syafi’i, Muhammad az-Zuhaili, 1/558)
Sunah ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185
Bertakbir dibolehkan sejak malam satu syawal hingga shalat ‘idul fitri didirikan. Sedangkan dalam ‘idul adha, disunahkan bertakbir setelah shalat lima waktu hingga berakhirnya hari tasyriq.
Adapun lafadz takbir yang disunahkan sebagaimana riwayat Ibnu abi Syaibah dari Ibnu Mas’ud:
اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدِ
Tapi juga dibolehkan dengan lafazd takbir tiga kali sebagaimana riwayat Imam al-Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Menurut Syaikh Abu Kamal Malik, tidak ada riwayat yang shahih secara marfu’ kepada Nabi tentang lafadz takbir pada hari ‘id, akan tetapi riwayat-riwayat dari para sahabat menunjukkan akan kesunahan hal tersebut, meski dengan lafadz yang memiliki sedikit perbedaan. (Lihat: Shahih Fiqhu as-Sunnah, Abu Malik Kamal, 1/ 603-604)
Namun pada substansinya adalah disunahkan memperbanyak takbir saat hari raya, naik pada hari raya ‘idul fitri maupun ‘idul adha.
Kedua, Shalat ‘Idul Fitri
Shalat ‘Idul fitri termasuk hal yang disunahkan untuk dikerjakan, bahkan termasuk sunah yang sangat ditekankan. Bahkan dalam pendapat mazhab Hanafi hukum dari shalat ‘id adalah wajib. (Majmu’ Syarhu al-Muhazzab, Yahya bin Syaraf an-Nawawi, 5/6)
Adapun shalat ‘id dikerjakan dalam dua rakaat. Pada rakaat pertama terdapat takbir tambahan sebanyak tujuh kali (sebelum membaca al-Fatihah), dan pada rakaat kedua lima takbir tambahan.
Disunnahkan juga adanya dua khutbah setelah shalat ‘id, sebagaimana khutbah yang dilaksanakan pada shalat jumat. (Fathu Ar-Rahman Syarhu Zubad Ibnu Ruslan, Ahmad bin Ahmad ar-Ramli,396)
Termasuk bagian dari sunah adalah melaksanakan shalat ‘id di tanah lapang. Hal ini juga dianjurkan atas semua kalangan, baik dewasa, anak-anak, pria, dan wanita. Bahkan wanita haid juga diperintahkan untuk menghadirinya meskipun tidak untuk shalat. Karena shalat ‘id ini termasuk syiar Islam yang terbesar.
Termasuk hikmah diadakannya shalat ‘id di tanah lapang adalah, agar kaum muslimin bisa berkumpul di satu tempat dengan semangat persatuan dan membuang sekat-sekat golongan dan kelompok. (Shahih Fiqhi as-Sunnah, Abu Malik Kamal, 1/ 598)
Ketiga, mandi.
Disunahkan untuk mandi dan membersihkan diri pada hari raya ‘id. Seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:
“Bahwa Rasulullah mandi pada hari idul fitri sebelum berangkat (shalat ‘id)” (HR. Malik dalam al-Muwatha’ dan al-Baihaqi)
Adapun waktu mandi yang dianjurkan adalah sebelum subuh atau setelahnya, dan mandi ini disunahkan bagi yang akan menghadiri shalat dan juga yang tidak menghadirinya. Karena tujuan dari mandi itu sendiri adalah untuk membersihkan badan dan memperindah penampilan.
Keempat, memakai pakaian terbaik dan menggunakan parfum
Sebagaimana hadist Anas bin Malik:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعِيدَيْنِ أَنْ نَلْبَسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ ، وَأَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدَ مَا نَجِدُ
“Rasulullah shalallahu ‘alahi wa salam memerintahkan kami ketika hari raya ‘idul fitri dan ‘idul adha untuk mengenakan pakai terbaik yang kami punya dan memakai parfum terbaik yang kami punya.” (HR. al-Hakim dalam Mustadrak)
Syaikh Muhammad az-Zuhaili menambahkan, juga termasuk dalam hal ini adalah disunahkannya merapikan rambut, memotong kuku, menghilangkan bau dari badan dan pakaian. (al-Mu’tamad fi Fiqhi asy-Syafi’i, Muhammad az-Zuhaili, 1/ 561)
Karena hari raya ‘id adalah hari berkumpul kaum muslimin, mereka saling bertemu, menyapa, saling mengunjungi dan kegiatan kolektif lainnya. Maka dengan penampilan yang baik, wangi dan rapi merupakan pendukung terjadinya harmoni pada hari raya ‘idul fitri.
Kelima, makan sebelum shalat ‘idul fitri.
Termasuk sunah dan kebiasaan Nabi sebelum berangkat shalat ‘idul fitri adalah makan terlebih dahulu. Dan biasanya Nabi memakan beberapa butir kurma sebelum berangkat untuk shalat ‘idul fitri. Sebagaimana yang dijelaskan Anas bin Malik:
كَانَ النَبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِحَتَّى يَأْكُلَ تَمَراتٍ
“Bahwa Nabi shalallahu ‘alahi wa salam tidak keluar pada hari raya ‘idul fitri sampai beliau memakan beberapa butir kurma.” (HR. al-Bukhari dan at-Tirmidzi)
keenam, disunahkan bersegera menuju tempat shalat ‘id dengan berjalan kaki dan pulang dengan melewati jalan yang berbeda. Hal ini berdasarkan hadist Jabir bin Abdillah:
“Bahwasanya Nabi shalallahu ‘alahi wa salam pada hari ‘id (pulang) dengan jalan yang berbeda.” (HR. al-Bukhari)
Hal ini juga merupakan bagian dari syiar, di mana bersegera menuju tempat shalat menunjukkan semangat dan antusias kaum muslimin dalam berhari raya, dan dengan menggunakan jalan yang berbeda saat pulang memberi kesan bagaimana kaum muslimin menyebar untuk menampakkan kebaikan Islam kepada lingkungan.
Ketujuh, saling mendoakan.
Salah satu sunah dan kebiasaan para sahabat adalah saling mendoakan ketika hari raya ‘id dengan saling mengucapkan:
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ
“Semoga Allah menerima amal kami dan kalian.” (HR. al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra)
Menjalani ‘Idul Fitri Saat Pandemi
Hari raya ‘idul fitri pada tahun ini mungkin berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pandemi virus Corona menjadi sebab terhalangnya beberapa ibadah terkait ‘idul fitri harus ditiadakan, tentunya hal tersebut demi maslahat dan kebaikan yang lebih besar.
Akan tetapi bukan berarti sunah-sunah hari raya ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana kaidah fikih berbunyi:
مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ جُلُّهُ
“Apa yang tidak bisa dikerjakan semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya.”
Meskipun beberapa dari rangkaian ibadah dan sunah pada hari raya ‘idul fitri tidak bisa dikerjakan, seperti shalat ‘id di lapangan secara berjama’ah, maka tetap sunnah-sunah lainnya seperti mandi, memakai pakaian terbaik, wewangian, dan memperbanyak takbir tetap dikerjakan.
Karena Allah tidak membebani hamba-hamba Nya di luar batas kemampuan mereka. Allah berfirman:
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)
Wallahu a’lam.