Sumber Dalil Syariat Khilafah

Benarkah sistem khilafah yang baku tidak ada dalam sumber primer Islam ?

Oleh: Abu Athif, Lc –غفر الله له ولواديه-

Akhir-akhir ini semakin terasa masifnya propaganda kesesatan yang memberikan stigma buruk terhadap salah satu dari syariat Islam yaitu sistem khilafah. Salah satu upaya yang nampak dalam mereduksi sistem khilafah saat ini adalah asumsi yang dimunculkan berupa peniadaan sistem khilafah yang baku dari sumber primer Islam. Tidak hanya itu, upaya kriminalisasi terhadap syariat ini pun semakin menambah kebingungan umat antara menerima dan menolaknya. Subhat ini secara langsung mencoba untuk mencerabut konsep tata negara dalam syariat Islam.

Seperti yang diketahui oleh semua bahwa sumber primer hukum Islam adalah al Quran, al Sunnah, ijma’ dan qiyas. Adalah suatu perkara yang lazim bagi seorang muslim untuk menyatakan Al Quran dan AL Sunnah sebagai sumber dari segala hukum yang mengatur kehidupannya. Terkait dengan sistem pemerintahan tentunya menjadi perkara besar yang tidak luput dibahas dalam sumber primer hukum Islam. Dalam al Quran sendiri terdapat banyak ayat yang menyinggung sistem pemerintahan dan kepemimpinan umat. Di antaranya adalah QS. Al Baqoroh ayat 30:

﴿وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30)﴾

Artinya: “Dan ingatlah ketika Robb mu berfirman kepada para malaikat sesungguhnya Aku akan menjadikan di bumi seorang kholifah. Mereka (para malaikat) berkata: apakah Engkau hendak menjadikan orang yan merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-MU dan menyucikan nama-Mu? Dia berfirman: “Sungguh Aku mengetahui tentang apa yang tidak kalian ketahui”. [QS. Al Baqoroh: 30]

Imam al Qurthubi –rohimahulloh- dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat ini menjadi dasar dalam pengangkatan kholifah atau imam (pemimpin umat) yang didengar dan ditaati agar bisa bersatunya kata kaum muslimin dan dilaksanakannya hukum-hukum kholifah. Beliau juga menyatakan tidak ada perbedaan dalam masalah ini di antara para ulama, artinya bahwa kewajiban menerapkan sistem khilafah adalah perkara ijma’ (kesepakatan).  [al Jami’ liahkamil Quran, juz 1, hal 250]

Begitu juga dengan firman Allah ta’ala:

﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)﴾

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rosul dan ulil amri dari kalangan kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya”. [QS. An Nisaa: 59]

Dalam ayat yang mulia ini, Islam mengajarkan sebuah sistem pemerintahan dan konsep kepemimpinan yang mendasarkan kepada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Penyebutan kata “ulil amri” yang bermakna para pemegang kekuasaan setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya memberikan sebuah pengertian bahwa ketaatan kepada para pemimpin diberikan selama memberikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. [Tafsir Al Quran al ‘Adzim, juz 1, hal 491]

Imam Ibnu Jarir Thobari –rohimahulloh- menyebutkan bahwa pemimpin yang diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk menaati dan mengikutinya adalah para imam (ahli din dan fiqh) dan orang-orang yang diangkat sebagai pemimpin oleh kaum muslimin dan bukan dari selain mereka [Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Quran, juz 8, hal 503].

Pertanyaan besarnya adalah adakah sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang mendasarkan kepada ketaatan untuk Allah dan Rosul-Nya selain sistem khilafah ? bisa dipastikan jawabannya adalah tidak ada. Hanya sistem khilafah yang menerapkan sistem dan konsep penghambaan total hanya kepada Allah ta’ala dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ.

Lebih mendalam lagi dalam memahami ayat ini, Prof. DR. Abdullah Ad Dumaiji menyebutkan wajhul Istidlal (sudut pandang mengambil dalil) dari ayat tersebut, yaitu Allah mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada ulil amri dari kalangan mereka. ulil amri adalah para pemimpin. Perintah untuk taat kepada pemimpin menunjukkan wajibnya mengangkat seorang pemimpin. Karena Allah tidak akan memerintahkan taat kepada seseorang yang tidak ada wujudnya dan juga tidak mewajibkan taat kepada orang yang keberadaannya mandub (sunnah). Maka perintah untuk taat kepada ulil amri menuntut perintah untuk mewujudkan ulil amri. Jadi hal ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam bagi kaum muslimin adalah kewajiban mereka. [Konsep Kepemimpinan dalam Islam, al Imamah al Udzma, hal 57 – 58]

Dalil lain yang memberikan isyarat tegaknya syariat Islam dengan kepemimpinan khilafah juga ditunjukkan dalam firman Allah ta’ala:

﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)﴾

Artinya: “Maka demi Robb-mu (wahai Muhammad) mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yan mereka perselisihkan, sehingga kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. [QS. An Nisaa: 65]

Imam Muhammad al Amin al Syinqithi –rohimahulloh- dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini menjelaskan tidak berimannya seseorang sebelum menjadikan Nabi (di masa hidupnya) sebagai hakim di tengah-tengah manusia dalam segala urusan, dan kemudian seorang hamba harus tunduk dan patuh menjalankan hukum yang telah ditentukan oleh nabi Muhammad ﷺ secara lahir maupun batin tanpa adanya penolakan. [Adhwaul Bayan fii Idhohil Quran pil Quran, juz 1, hal 246]

Wajhul Istidlal-nya adalah keberadaan Nabi ﷺ sebagai pemimpin yang menerapkan hukum-hukum Allah yang telah diwahyukan kepada beliau menuntut ketaatan dan ketundukan dari orang-orang beriman. Suatu perkara yang tidak lepas dalam pelaksanaan hukum adalah keberadaan institusi negara dan sistem pemerintahan. Maka tidaklah status Nabi menjadi hakim di tengah umat melainkan di saat yang bersamaan beliau menjadi pemimpin umat yang telah memiliki kekuasaan teritorial untuk penerapan hukum Islam sebagai realisasi kedaulatan Allah di muka bumi ini.

Perintah dalam menerapkan hukum Allah di muka bumi ini dikuatkan pula dalam ayat lain yaitu:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (48)

Artinya: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya Ana menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kalian Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki niscaya kalian dijadikan oleh-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap karunia yang telah diberikan oleh-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kalian semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepada kalian tentang apa yang dahulu kalian perselisihkan”. [QS. Al Maidah: ayat 48]

Prof. Abdullah Ad Dumaiji menjelaskan tentang ayat ini bahwa maksud menegakkan hukum dan kekuasaan tidak lain adalah menegakkan imamah, karena menegakkan hukum dan kekuasaan termasuk fungsi imamah. Menegakkan hukum tidak bisa dilaksanakan secara sempurna selain melalui imamah/khilafah. Dengan demikian, seluruh ayat yang memerintahkan memutuskan perkara sesuai syariat  yang diturunkan Allah menunjukkan wajibnya mengangkat seorang imam yang berwenang melaksanakan hal itu. [Konsep Kepemimpinan Islam, hal 59]

Dari beberapa ayat yang telah dipaparkan ini telah mengandung penjelasan yang cukup bahwa seluruh ayat-ayat tentang hudud, qishash, dan hukum-hukum lain membutuhkan keharusan adanya imamah/kholifah. Hanya sistem khilafah/imamah yang bisa menjamin tegaknya hukum dan kedaulatan Allah ta’ala di muka bumi.

Adapun sumber primer dalam hadits-hadits Nabi Muhammad ﷺ teramat banyak dalam menjelaskan konsep dan sistem implementasi khilafah. Dalam tulisan singkat ini, penulis hanya memaparkan sebagian dari hadits-hadits tersebut demi menunjukkan bahwa khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam telah diterapkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan juga para sahabat beliau.

Di antara hadits-hadits seputar wajibnya upaya hidup di bawah naungan khilafah atau imamah islamiyah adalah sabda Nabi ﷺ:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ » -رواه أبو داود-

Artinya: Dari Abu Sa’id al Khudri bahwa Rosululloh telah bersabda: “apabila tiga orang keluar untuk mengadakan perjalanan jauh maka hendaklah mereka mengangkat salah satu di antara mereka menjadi pemimpin”. [HR. Abu Dawud]

Hadits ini menunjukkan jelasnya syariat kepemimpinan dalam Islam. Jika dalam urusan Safar saja Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan untuk mengangkat pemimpin, maka bagaimana dengan urusan yang lebih besar dari pada itu seperti urusan kaum muslimin dan manusia pada umumnya ?! tentu saja secara akal sehat dan kaidah qiyas aulawy (analogi yang lebih diprioritaskan) akan menyatakan daruratnya keberadaan pemimpin agung bagi kaum muslimin.

Dalam hadits lain Nabi ﷺ juga menyebutkan secara jelas sistem kepemimpinan khilafah, seperti yang disebutkan dalam hadits berikut ini;

« خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِى اللَّهُ الْمُلْكَ مَنْ يَشَاءُ – أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ – » -رواه أبو داود-

Artinya: “Khilafah Nubuwah (pemimpin pengganti masa kenabian) berlangsung 30 tahun kemudian Allah memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”. [HR. Abu Dawud].

Nampak sekali dalam hadits tersebut Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan secara definitif sistem kepemimpinan khilafah yang menjadi penerus dan pelaksana amanah penerapan hukum Allah pasca meninggalnya Nabi ﷺ. Lebih mempertegas lagi tentang penentuan kewajiban hidupnya seorang muslim di bawah naungan khilafah adalah sabda beliau:

عَنْ مُعَاوِيَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ:”مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً” –رواه الطبراني-

Artinya: Dari Mu’awiyah berkata: aku pernah mendengar Rosulullah bersabda: “Barang siapa yang mati sementara tidak ada baiat (janji setia kepada pemimpin kaum muslimin) di lehernya maka dirinya mati dalam kematian jahiliah”. [HR. Thobroni]

Dari sini, seorang muslim tentunya sudah bisa memahami bahwa kekholifahan merupakan ajaran syariat Islam yang harus tetap dijaga dan diperjuangkan. Berpegang teguh dengan konsep kekhilafahan Islam menjadi pesan Nabi ﷺ kepada umat ini yang tertuang dalam sabdanya:

فَقَالَ الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ « أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ » -رواه أبو داود-

Artinya: Berkatalah Irbadh: Di suatu hari Rosulullah pernah sholat mengimami kami kemudian beliau menghadapkan wajahnya kepada kami, lalu beliau menasihati kami dengan nasihat yang sangat menyentuh membuat derai air mata kami bercucuran dan hati kami terguncang. Lalu ada seseorang yang berkata; wahai Rosulullah, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami? Lalu beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian semua dengan selalu bertakwa kepada Allah, dan agar kalian senantiasa mendengar dan taat (kepada pemimpin kalian) meskipun dia adalah seorang keturunan budak dari Habasyah. Maka (ketahuilah) sessungguhnya barang siapa yang hidup sepeninggalku nanti akan menemui perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian menjaga sunnahku dan sunnah para kholifah yang mendapatkan petunjuk, berpegang teguhlah kalian dengannya dan gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham, dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru dalam urusan agama maka sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah is’ah dan setiap is’ah adalah kesesatan”. [HR. Abu Dawud]

Kemudian jika muncul pertanyaan adakah sistem khilafah yang baku dari Nabi ﷺ? Maka jawabannya pun juga sudah jelas dan terang benderang seterang matahari yang bersinar di siang hari. Nabi Muhammad ﷺ telah menyebutkan secara jelas dalam hadits yang telah penulis paparkan bahwa model dan sistem baku khilafah adalah apa yang dijalankan pada masa Nabi Muhammad ﷺ hingga khulafaur rosyidin yang berlangsung selama 30 tahun. Adapun masa sesudah itu Nabi menyebutkan sebagai kerajaan. Dari sini, bisa difahami bahwa antara khilfah dan kerajaan memiliki makna yang berbeda.

Ditambah lagi dengan atsar dari Umar bin Khattab –semoga Allah meridhoinya-, ia berkata: “Demi Allah, aku tidak tahu, apakah aku ini seorang kholifah ataukah seorang raja? Kalau aku ternyata adalah seorang raja, maka sungguh ini menjadi masalah besar”. Lalu ada seseorang yang berkata; “Wahai amirul mukminin, sesungguhnya antara keduanya (kholifah dan raja) memiliki perbedaan”. Lalu beliau berkata; “Apa perbedaan itu?” orang tadi berkata: “Seorang kholifah tidaklah mengambil sesuatu kecuali kebenaran dan tidaklah meletakkan sesuatu kecuali dalam kebenaran, dan engkau wahai Umar –bihamdillah- adalah seorang kholifah. Sementara seorang raja sering mendzolimi manusia, maka dia sering mengambil  ini dan diberi ini”. Kemudian terdiamlah Umar. [Tarikhul Khulafa, Imam Jalaludin As Suyuti, hal 146]

Semoga tulisan sederhana ini bisa memberikan pencerahan di tengah umat bahwa sistem khilafah merupakan bagian syariat Islam yang wajib diimani dan diterima oleh umat Islam. Sumber primer dalam Islam, baik dari al Quran dan al Sunnah telah menunjukkan keaslian hukum khilafah yang diakui sebagai bagian dari wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Semoga umat Islam tidak mengikuti segala bentuk propaganda yang menyudutkan syariat Islam. Wallohu a’lam bis showab.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *