Rasulullah saw bersabda: “Akan datang suatu zaman dimana manusia memakan riba, dan yang tidak memakannya, mereka terkena debunya.” (HR. Ahmad dan an-Nasa`i)
Siapa yang bisa menghindari debu? Kecil, jumlah tak terhingga, ada di mana-mana, dan bisa menempel pada apa saja. Perumpamaan yang tepat untuk mengambarkan sesuatu yang sangat sulit dihindari hingga semua oang punya potensi untuk terkena dan terkontaminasi. Dan itulah riba pada hari ini. Mengepung manusia dari segala sisi. Meracuni hampir semua ‘pembuluh’ finansial dalam kehidupan.
Malangnya riba selalu menghadang pada poros-poros kebutuhan. Membentuk lingkaran setan yang serasa mustahil bisa keluar tanpa sedikit pun ada benang, sekecil apa pun, yang menjerat. Ibarat kata, kita hanya bisa lepas dari riba jika berada di sebuah pulau, sendiri tanpa suplai apa pun dari dunia luar pulau. Dalam hal uang, semua hampir dipastikan terkait bahkan menggunakan istitusi riba bernama bank. Bahkan bank berlabel syariah pun belum benar-benar mampu mandiri dan masih menginduk pada bank konvensional. Jadi meskipun produk-produknya telah disesuaikan dengan syariat Islam, tapi pangkal keuangan masih tetap ribawi.
Dilema dan kendala akan selalu kita temui jika menginginkan interaksi yang bersih dan sistem ribawi.
Pertama, penyimpangan dan pengiriman uang. Untuk pemyimpanan, memang masih ada BMT selain bank. Tapi sangat sedikit BMT yang benar-benar mengelola akad-akadnya sesuai syariat. Simpanan dalam jumlah sedikit masih mungkin disimpan di rumah, tapi dalam jumlah banyak pasti akan merepotkan. Sedangkan menyimpan di bank, meskipun tanpa niatan untuk mengambil bunga hukumnya tetap haram menurut fatwa Dewan Komisi Fatwa Saudi Arabia (Majmu’ Fatawa Lajnah Daimah, 13/384). Adapun jalan keluarnya, hendaknya penyimpanan yang di bank jangan memakan waktu yang lama supaya tidak berbunga. Uang dapat diputar untuk niaga atau investasi lain.
Kalaupun penyimpanan bisa sendiri, kendala akan datang jika harus melakukan pengiriman uang. Lagi-lagi, bank menawarkan jalur paling aman, efisien, dan cepat. Bahkan jasa wesel pos hari ini pun pada dasarnya sama dengan mentransfer via bank, hanya saja melalui jalur pos yang menawarkan jasa antar cash kepada penerimanya. Mekanisme pengiriman uang di kantor pos juga berkerjasama dengan bank. Sementara selain transfer dan wesel, kita tidak bisa mengirim uang secara legal.
Memang, hukum transfer uang via bank hukumnya boleh menurut fatwa Syaikh bin Baz (Fatwa bin Baz, 1/138-139). Hanya saja, debu riba berupa interaksi kita dengan instansi ribawi tak bisa dihindari.
Kedua, kredit rumah. Kecuali bagi orang yang diberi kecukupan oleh Allah, persoalan pemilikan rumah merupakan hal paling dilematis yang dihadapi rata-rata keluarga muslim. Ngontrak terus-menerus tidaklah mungkin, tapi membeli rumah secara kontan juga tidaklah mudah. Bank pun hadir menawarkan solusi paling mudah, KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Nasabah cukup membayar uang muka 20%, misalnya, sebagai downpayment dan membayar 80% sisanya secara kredit. Jangka waktu dapat diatur lamanya.
Sayangnya, KPR juga merupakan akad ribawi, sama halnya dnega pinjaman bank lainnya. Nasabah meminjam uang kepada bank karena bank bukanlah lembaga ang melakukan perniagaan praktis sepeti membeli aset lalu menjualnya. Akan pembelian bank kepada developer rumah bukanlah akad jual beli melainkan pemberi pinjaman uang kepada nasabah. Sebab bank tidak akan melakukan pembelian rumah kecali karena dada permintaan dari nasabah. Lebih dari itu, bank tidak akan membayar rumah sebelum nasalah menandatangani peretujuan pembeli rumah yang dibeli dan lalu diangsur. Artinya, bank hanya sebagai broker uang bukan barang.
Dalam Islam, akad pembiayaan memang dibolehkan menurut sebagian ulama. Namun salah satu syarat utama adalah adanya khiyar antara penjual dan pembeli. Dalam kasus pembelian rumah misalnya, pihak bank harus membeli terlebih dahulu rumah dinginakan nasabah. Belum terikat akad apa pun untuk membeli rumah yang diinginkan nasabah, lalu jika terjadi gempa dan rumahnya hancur, misalnya, yang menanggung kerugian adalah bank, bukan nasabah. Sebab, antara bank mulzimah (mengharuskan) adanya akad jual beli. Jika sebelum membeli rumah sudah terjadi akad yang mengharuskan nasalah membeli rumah sudah terjadi akad yang mengharuskan nasabah membeli dari bank, ini bukan murabahah atau pembiayaan melainkan peminjaman uang untuk kemudian dikredit. Hal ini sebagaimana dijelaskan para ulama seperti Syaikh bin Baz dan Majma’ Al Fiqhi Al Islami dan Syaikh Bakr bin Abdullah bin Abu Zaid dalam kitab Fiqih an Nawazil 2/97.
Solusi dari masalah ini adalah meminta pinjaman dari saudara muslim berupa qard hasan atau pinjaman tanpa bunga sama sekali. Atau meminta pinjaman keadaan lembaga keuangan akad murobahah sesuai syariat. Jika tidak, maka tidak ada jalan lain selain bersabar dan memohon kepada Allah. Bagaimana pun susahnya hidup tanpa rumah jauh lebih baik daripada hidup mudah tapi dengan riba.
Ketiga, modal. Dilema klasik para pengusaha pemula biasanya adalah modal. Kecuali mereka yang kreatif, modal selalu menjadi hambatan. Mencari investor untuk usaha tidaklah mudah karena biasanya investor baru akan memberikan investasi setelah yakin usaha berjalan dengan baik. Sementara meminjam uang saja tanpa bagi hasil dan bunga, tak banyak yang punya uang nganggur hingga bisa dipinjam begitu saja. Lagi-lagi bank menyediakan dana untuk modal dengan bunga yang ringan.
Hanya saja dibandingkan duenga transfer dan kredit rumah, pinjaman untuk modal tentunya tidak lebih mendesak. Seorang masih bisa melakukan bisnis kecil-kecilan atau melakukan usaha kretif tanpa modal untuk membangun usaha. Apalah gunanya memiliki modal besar dan usaha berkembang tapi semua barakar pada riba. Dan leibh dari itu, Allah berifirman:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar Ruum: 39)
Dari jabir ra berkata, bahwa Rasulullah saw melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)
Selain ketiga hal di atas, riba masih mengepung kita dari berbagai arah: asuransi, akad-akad kredit, akad-akad jual beli ribawi, dan lain sebagainya. Pantaslah kiranya jika Rasulullah memprediksikan bahwa umat di akhir zaman akan kesulitan bahka hampir pasti terkena debu riba. Wallahul musta’an, meskipun sulit, hendaknya kita pandai-pandai menjaga diri dari riba. Lebih berhati-hati dalam melakukan berbagai macam akad dan terus berusaha memahami ilmunya agar selamat dari riba. Walllahu a’lam.
Sumber : Majalah Fikih Islam “Hujjah” vol 08 hal. 73
–(Himayah Foundation)–