Suka Memberi Tak Akan Rugi

Suka Memberi Tak Akan Rugi

وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan barangsiapa terjaga dari kekikiran dirinya, maka dia termasuk orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)

Mengapa “terjaga dari kekikiran” dan bukan “Barang siapa suka berderma maka dia termasuk orang yang beruntung”? Bukankah tidak kikir itu belum tentu suka berinfak, banyak bersedekah dan suka menolong orang lain?

Ini yang menarik. Ayat ini unik karena rata-rata ayat lain menggunakan pola kedua: siapa suka berderma dia beruntung, siapa melakukan kebaikan ini maka pahalanya kebaikan itu, bukan “Siapa tidak sombong maka dia beruntung, siapa tidk mencuri maka dia masuk surga.”

Jawabannya ada pada kata Syuh. Makna “kikir”, “pelit”, “bakhil” untuk mengartikan kata syuh pada dasarnya masih belum memadai. Masih ada makna yang tidak tercakup. Syuh, menurut para ulama merupakan sebuah sifat yang jauh lebih parah dari kikir dn bakhil. Syuh tidak hanya bakhil pada apa yang dipunya, tapi juga sekaligus tamak pada apa yang ada pada orang lain. Jadi, orang yagn terkena syuh, menurut Ibnu Qayyim rahimahullah akan tamak pada sesuatu yang bukan haknya dan bukan miliknya serta berusaha mendapatkannya dengan cara apapun. Lalu setelah ia berhasil mendapatkannya, dia bakhil dan kikir.

Sifat syuh ini memiliki 4 derivat sifat buruk. Dan empat sikap buruk ini terkenal sebagai sikap pembawa sial dan menyebabkan seseorang tidak beruntung dunia akhirat. Oleh karenanya, barang siapa terhindar dari sifat syuh akan terhindar dari sikap buruk ini. Dan barang siapa terhindar dari ketiganya, dia akan beruntung.

Rasulullah bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، أَمَرَهُمْ بِالظُّلْمِ فَظَلَمُوا، وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا ، وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا

“Hindarilah sifat Syuh karena generasi sebelum kalian telah hancur karena sifat ini. Sifat ini menghasung mereka berbuat zhalim, lalu mereka berbuat zhalim, menyuruh mereka memutus sillaturrahmi dan mereka melakukannya, dan menghasut mereka berbuat maksiat lalu mereka pun menurut saja.” (HR. Ahmad)

Pertama, zhalim. Jika sifat tamak sudah merasuki jiwa manusia, kezhaliman dapat dipastikan menjadi jalan utama untuk mendapatkannya. Seakan sudah jadi kaidah bahwa ketamakanlah biang segala bentuk kejahatan dalam hal harta.

Zhalim adalah penghalang keberuntungan nomor wahid bagi manusia. Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang zhalim tidak akan beruntung.” (QS. Al An’am: 135)

“Sesungguhnya orang-orang yang zhalim tiada akan beruntung.” (QS. Yusuf: 23)

“Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu: “Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al A’raf: 44)

Kedua, memutus sillaturahmi. Orang yang kikir akan menjauhi segala hal yang berpotensi menggurangi kekayaannya. Salah satunya adalah kerabat yang miskin. Kedatangan kerabat yang miskin seperti menagih bagian dari hak-haknya yang ada pada dirinya.

Jiwa-jiwa yang terjangkit syuh akan cenderung menjauh dari sanak saudara. Memilih pura-pura tidak tahu desakan kebutuhan mereka. Memilih menghindar dari wajah-wajah mereka yang sekaan menagih belas kasihan dan bagian harta yang memang menjadi hak mereka.

Akibatnya jelas, putusnya silaturahmi, padahal memutus silaturahmi adalah pembawa sial bagi seorang muslim. Rasulullah bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ – مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ

“Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada baghyu (kezhaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan kerabat.” (HR. Al-Bukhari)

Ketiga, berbuat maksiat (fujur). Untuk apa kiranya harta yang dirampas secara zhalim oleh si kikir ini lalu disimpan dan ditimbun di gudangnya? Untuk disedekahkan saat jumlahnya banyak? Atau hanya sekadar ditimbun dan tidak digunakan? Mustahil. Harta itu tentu akan digunakan untuk-bersenang-senang dan menikmati kenikmatan duniawi.

Harta haram mustahil membuat pemiliknya bertakwa. Harta haram seperti virus yang akan merangsang hasrat untuk melanggar larangan Allah. Jika dosa memiliki harta haram saja dilanggar, tentu dosa yang lain akan lebih enteng untuk dilanggar. Jika demikian, darimana keberuntungan akan didapat? Sementara keberuntungan hakiki adalah milik Allah semata.

“Lalu Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) ketasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”(QS asy-Syams: 1-10).

Dari Abi Hayyaj al Asadi beliau berkata : suatu hari saya bertho’waf di baitullah. Kemudian saya mendengar seseorang berdo’a : Allahumma qinii syukha nafsi “Ya Allah jagalah diriku dari sifat syuh dalam diriku” tidak menambah dari itu. Saya Bertanya, “Kenapa?” kemudian ia berkata : “Sesungguhnya jika diriku terjaga dari kekikiran aku tidak akan mencuri, berzina, dan perbuatan desa lainnya. Dan ternyata seseorang tersebut adalah Andurrahman bin “Auf. {Jaami’ul bayan: 228/12/28 ].

Keempat, bakhil. Bakhil adalah muka kedua dari syuh. Setelah memiliki apa yang ingin dimiiiki, dia akan bersikap bakhil.

Rasulullah bersabda :

إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ أَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخَلُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا

“Jauhilah syuh karena sifat ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, syuh mendorong mereka bersikap bakhil dan merekapun menjadi bakhil, syuh memerintahkan merela untuk memutus silaturrahmi dan mereka pun melakukannya, syuh menyuruh mereka berbuat dosa dan mereka pun menurutinya.” (HR. Abu Dawud).

Tidak akan pernah beruntung orang yang bakhil, “Dan barang siapa yang terjaga dari sifat bakhil dan kikir, maka dia termasuk orang-orang yang beruntung.”

Terpelihara Dari Syuh

Sayangnya, sifat syuh ini menjadi karakter dasar manusia. Allah berfirman,

وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ

“…Meskipun jiwa itu pada dasarnya kikir.” (QS. An Nisa’: 128)

Karena sudah menjadi karakter dasar, maka benarlah bahwa siapa yang dijaga oleh Allah dari syuh, dia akan beruntung. Hati yang terpelihara dari syuh akan diisi dengan sifat jud dan karam (dermawan dan ringan tangan untuk membantu).

Orang yang dermawan tidak akan pernah rugi. ia akan beruntung karena itulah jaminan dari Allah. Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS. AI Hadid: 18).

Rasulullah bersabda, “Harta tidak akan berkurang dengan sedekah.” (HR Muslim)

Ketika seorang laki-laki berada di sebuah tanah lapang yang sunyi, dia mendengar sebuah suara di angkasa, “Siramilah kebun si Fulan!” Awan itu pun bergerak lalu mencurahkan airnya di satu bidang tanah yang berbatu hitam. Ternyata saluran air dari beberapa buah jalan air yang ada telah menampung air tersebut seluruhnya. Dia pun mengikuti air itu. Ternyata dia sampai kepada seorang pria yang berdiri di kebunnya sedang mengubah aliran air dengan cangkulnya.

Laki-laki tadi berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, siapa namamu?”

Petani itu menjawab, “Nama saya Fulan.” Dia menyebutkan nama yang tadi didengar oleh lelaki pertama dari angkasa. Si petani bertanya kepadanya, “Wahai hamba Allah, mengapa Anda menanyakan nama saya?”

Kata lelaki itu, “Sebetulnya, saya tadi mendengar sebuah suara di awan yang airnya baru saja turun dan mengatakan, “Berilah air pada kebun si Fulani’ menyebut nama Anda. Apakah yang Anda perbuat dengan kebun ini?”

Petani itu berkata, “Baiklah, kalau Anda mengatakan demikian. Sebetulnya, saya selalu memerhatikan apa yang keluar dari kebun ini, lalu saya menyedekahkan sepertiganya, sepertiga berikutnya saya makan bersama keluarga saya, dan sepertiga lagi saya kembalikan (untuk modal cocok tanam).…”

Dan ada jutaan kisah serupa tentang bertapa beruntungnya orang yang suka bersedekah. Kita pun bisa membuktikan betapa beruntungnya orang-orang dermawan. Saat kita mulai memberi, bersedekah, dan berinfaq, berarti kita telah jaminkan harta tersebut kepada Allah yang berjanji akan melipat gandakannya. Jika yang berbuat demikian adalah dzat yang Mahakaya, siapakah gerangan yang akan merugi karena memberi? Wallahua’lam. (taufikanwar-ar risalah)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *