Spektrum Jahiliyah dalam Al-Quran, Pertama: Prasangka Jahiliyah
Allah ‘azza wajalla menyebutkan istilah Jahiliyah di dalam al-Quran dalam empat jenis. Yakni Dzan Jahiliyah, Hukum Jahiliyah, Tabaarruj Jahiliyah, dan Fanatisme Jahiliyah. Keempat jenis karakter Jahiliyah tersebut saling berkaitan membentuk sebuah spektrum Jahiliyah. Spektrum Jahiliyah dalam al-Quran yang pertama adalah Dzan Jahiliyah atau prasangka Jahiliyah.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ
“Sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan Jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?.” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” (QS. Ali Imran: 154)
Ayat ini bercerita tentang perang Uhud, ketika pasukan kaum muslimin mulai terdesak karena tekanan dari depan dan belakang. Meski demikian, Allah berikan ketenangan bagi para sahabat bahkan sampai ngantuk. Berbeda dengan orang munafiq yang terlibat dalam pertempuran itu. Mereka sangat cemas, takut, hingga muncul prasangka buruk tentang Allah, Rasul-Nya dan Islam.
Terbersit di benak mereka, jangan-jangan Allah dusta, jangan-jangan yang dijanjikan Muhammad itu palsu? Mana, katanya ada pertolongan Allah? Bisa jadi agama Islam akan habis. Apakah semua ini hanya harapan palsu? dan prasangka buruk lain. Allah sebut sangkaan semacam ini sebagai dzan Jahiliyah.(Tafsir Ibn Katsir dan Tafsir as-Sa’di pada ayat terkait)
Penyebutan ini mencerminkan akidah masyarakat Jahiliyah. Yaitu kebodohan mereka tentang Allah ‘Azza wa Jalla dan sifat-sifat-Nya. Ini merupakan cara pandang yang identik dengan Jahiliyah. Cara pandang yang tidak didasari keyakinan pada kekuasaan mutlak Sang Pencipta. Sekadar melihat pasukan kalah, langsung muncul prasangka, Allah berdusta. Benar-benar keyakinan yang cacat dan tidak utuh sejak dari dasarnya.
Bagaimana mungkin Allah berdusta? Bagaimana mungkin Allah ingkar atau bahkan tak mampu memenuhi janji-Nya, padahal Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa? Dan apakah sebuah kekalahan di medan perang akan menjadi akhir dari segalanya?
Pola pikir Jahiliyah memang selalu timpang. Di satu sisi mengakui satu hal, di sisi lain mengakui pula beragam hal yang kontradiksi dengan yang diyakini. Contoh lain misalnya, mengakui Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Rabb, namun tidak memberikan ibadah hanya kepada Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Dan jika kamu bertanya kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az-Zumar: 38)
Ibnu Katsir berkata:
المشركين كانوا يعترفون بأن الله عز وجل هُوَ الْخَالِقُ لِلْأَشْيَاءِ كُلِّهَا وَمَعَ هَذَا يَعْبُدُونَ مَعَهُ غَيْرَهُ مِمَّا لَا يَمْلِكُ لَهُمْ ضُرًّا ولا نفعا
“Mereka adalah orang-orang musyrik yang mengakui bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla yang menciptakan segala sesuatu namun mereka juga menyekutukan Allah dengan yang lain, padahal sesembahan selain Allah itu tidak dapat memberikan manfaat ataupun mudarat bagi mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/90)
Mereka tahu bahkan yakin Allah lah pencipta langit dan bumi. Rabb yang memiliki kekuasaan mutlak. Dengan keyakinan itu, mereka menyembah patung dan memberikan semua ibadah kepada berhala.
Taruhlah patung itu hanya katalisator bagi ibadah mereka kepada Allah, mereka tidak benar-benar menyembahnya. Namun, relakah mereka jika patung itu diganti dengan yang lain? Dan dari mana mereka mengetahui bahwa patung-patung itu mampu membawa ibadah mereka menuju Allah? Jawabannya selalu klise, dari dulu sudah begini.
Bukti bahwa mereka memang menyembah berhala dan bukan sekadar menjadikannya sarana ibadah adalah ketika wahyu Allah turun kepada Muhammad, mereka ingkar. Mereka tahu, bahkan yakin bahwa al-Quran memang firman Allah, namun ketika al-Quran ingin mengganti cara peribadatan yang benar kepada Allah, mereka tidak menerimanya.
contoh keyakinan Jahiliyah lainnya adalah menyakini bahwa para malaikat adalah anak perempuan Allah.
وَجَعَلُوا الْمَلائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبادُ الرَّحْمنِ إِناثاً أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهادَتُهُمْ وَيُسْئَلُونَ
“Dan mereka menjadikan para malaikat hamba-hamba Allah yang pengasih itu sebagai perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat tersebut? Akan Kami (Allah) catat kesaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Az-Zukhruf: 19)
Imam Ath-Thabari mengatakan bahwa mereka mengira bahwa para malaikat itu adalah anak perempuan Allah. Dengan keyakinan seperti ini mereka telah membangun keyakinan mereka atas pokok-pokok yang salah. Secara tidak langsung mereka mengakui bahwa Allah beranak, Allah lebih memilih perempuan dari laki-laki, dan kebodohan-kebodohan lainnya.
Itu adalah bentuk-bentuk dzan Jahiliyah, kala itu. Sementara di masa sekarang, kita juga mendapati ada keyakinan-keyakinan yang salah terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebagai contoh, adanya keyakinan bahwa Islam itu hanya mengatur urusan ibadah yang bersifat ritual saja dan tidak mengatur urusan dunia. Ini adalah bagian dari dzan Jahiliyah. Karena menisbatkan kepada Allah sesuatu yang tidak ada dalilnya. Padahal Islam yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari bagaimana cara beribadah ritual kepada Allah, hingga bagaimana mengatur negara. Dan Allah menegaskan agar umat Islam masuk ke dalam Islam secara kaffah.
Contoh dzan Jahiliyah lainnya, meyakini bahwa syariat Allah adalah firman-Nya yang tak mungkin salah, namun lebih memilih menerapkan hukum buatan manusia. Bahkan meskipun hukum tersebut buatan manusia yang tidak beriman kepada Allah.
Ini memang ciri khas dzan Jahiliyah, timpang dan sangat kontradiktif. Menyangka bahwa Allah tidak mampu membuat syariat yang relevan di segala ruang dan waktu. Menyangka bahwa syariat yang terdiri dari ribuan ayat dan jutaan hadits itu masih kurang mampu memberi maslahat bagi kehidupan.
Ayat-ayat dari Dzat yang Maha Mengetahui itu, dengan mudahnya dianggap kuno hanya gegara melihat manusia yang kini bisa terbang dengan pesawat, sementara ayat-ayat itu turun saat manusia hanya bisa mengendarai unta. Seakan-akan ALlah tidak tahu, bakal seperti apa kehidupan manusia selanjutnya, setelah Dirinya menurunkan syariat pada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Prasangka Jahiliyah, itulah suudzan kepada Allah yang merupakan lambang kerusakan hati dan akidah. Dan semua kerusakan akidah di tengah umat, sumbernya adalah dzan Jahiliyah. Memiliki prasangka yang buruk tentang Allah. Wallahu a’lam [Ibnu Rodja/istidlal.org]