Hari ini banyak para Ustadz bahkan para penuntut Ilmu mengatakan dengan mudah bahwa orang yang bodoh berhak mendapatkan udzur dikarenakan kejahilannya.
Oleh sebab itu kita akan melihat pendapat para ulama’ tentang masalah ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tidak semua kebodohan menjadi udzur, beliau berkata:
إن العذر لا يكون عذراً إلا مع العجز عن إزالته، وإلا فمتى أمكن الإنسان معرفة الحق، فقصر فيه، لم يكن معذوراً
“Sesungguhnya, udzur tidak akan menjadi udzur yang diterima kecuali karena ketidak mampuan dari individu tersebut dalam menghilangkannya, namun jika ia mampu menghilangkan udzurnya (kebodohannya) tersebut akan tetapi ia meremehkannya maka udzur yang dia miliki tidak diterima.”[1]
Dengan jelas beliau menegaskan bahwa kebodohan yang diterima sebagai udzur hanyalah kebodohan yang terjadi karena pelakunya tidak mampu dalam mencari kebenaran, dengan demikian orang yang sebenarnya mampu untuk mencari ilmu namun dia tidak mencarinya dengan sengaja maka dia berdosa, dan jika melakukan kekafiran maka dia dikafirkan[2]
Konsekuensi dari pendapat beliau tersebut bahwa orang yang sebenarnya mampu melakukan usaha demi menghilangkan udzur-udzur yang dia miliki, baik itu kebodohan, salah takwil dan ikrah, namun ia tidak melakukannya maka udzur yang ada pada dirinya tidak diterima, karena orang seperti ini dikategorikan orang yang berpaling dari agama, jika ia melakukan kekafiran maka dia disebut dengan kafir I’radh.
Aktualisasi permasalahan ini di masa sekarang bisa dilihat dari lingkungan dan kondisi individu tertentu hidup. Jika di Negara Indonesia misalnya, ada seorang yang bisa dipastikan mampu menghilangkan udzur kebodohan akan tetapi ia tidak melakukannya maka ia berhak mendapatkan vonis kafir jika melakukan kekafiran, dan vonis fasik apabila perbuatannya fasik.
Al-udzru bil jahli adalah perkara syar’i hal ini disepakati oleh para ulama, karena merupakan perkara syar’i maka kaitannya sangat erat dengan nash-nash, sehingga yang paling layak dan pantas dalam menjelakannya adalah para ulama.
Kondisi seseorang bisa diketahui apakah dia bodoh atau tidak yaitu ketika telah dilakukan iqaamatu al-hujjah, sedangkan iqamatul-hujjah hanya bisa dilakukan oleh orang yang berilmu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sampai tegakknya hujjah syar’i yang dilakukan oleh orang yang berilmu baik dai seorang pemimpin ataupun penguasa sehingga orang tersebut pantas untuk divonis kafir”.
Syaikh Sulaiman bin Sahman menegaskan: “Menurut saya pendapat yang jelas bahwa iqamatu al-hujjah tidak disebut tegak kecuali dilakukan oleh orang yang mampu, adapun orang orang yang tidak tahu terhadap hukum syar’I dan pendapat para ulama tentang hal ini maka belum bisa dikatakan iqamatu al-hujjah”.[3]
Fotenote:
[1] Ibnu Taimiyah, Raf’u al-Malaam an A’imati al-A’laam, (Riyadh: ar-Riasah al-Aamah Li IDarati al-Bihuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ wa ad-Da’wah wa al-Irsyad, 1403 H, 1983 M), vol. I hal. 75.
[2] Syaikh Shalih bin Hamid, Raf’u al-Haraj fi Syariati al-Islam hal. 237.
[3] Dr. Ahmad Farid, Al-udzru Bi Al-jahli, hal. 34.