Pertanyaan
Ustadz, seperti yang sudah sama-sama diketahui, perusahaan dengan jumlah karyawan tertentu terkena kewajiban untuk mengasuransikan semua karyawannya. Padahal, kesyariahan asuransi konvensional dan (asuransi yang mengklaim sebagai) asuransi syariah disoal. Konon yang disebut terakhir masih mengadung hal-hal yang diharamkan syariah, seperti riba, gharar, dan mengambil harta orang lain secara batil. Benarkan demikian? Jika benar, adakah alternatif islami untuk ini?
Anwar – Purworejo
Jawaban
Alhamdulillah was shalatu wasalaamu ‘ala rasulillah wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa man waalahu.
Sejauh kajian saya, baik asuransi konvensional maupun asuransi yang diklaim berbasis syariah (selanjutnya saya sebut asuransi syariah) yang ada di Indonesia belum ada yang benar-benar bebas riba, gharar (unsur spekulasi) dan mengambil harta orang lain secara batil. Adanya ketiga perkara haram dalam asuransi konvensional sangat kentara, seperti matahari di siang hari.
Asuransi konvensional mengandung unsur riba; baik riba fadhl (riba pertambahan) maupun riba nasi’ah riba(penundaan). Saat perusahaan asuransi membayar ke pemegang polis atau ke ahli warisnya lebih besar dari uang setoran premi yang diterima, maka itu adalah riba fadhl. Saat perusahaan asuransi membayar klaim tersebut kepada pemegang polis setelah berlalu waktu tertentu dari saat terjadi akad, maka itu adalah riba nasi’ah.
Asuransi konvensional mengandung unsur gharar fahisy (ketidak pastian atau spekulasi yang besar). Baik perusahaan maupun pemegang polis sama-sama tidak tahu berapa premi yang harus dibayar dan berapa manfaat yang akan diperoleh. Bisa saja seorang pemegang polis baru membayar premi sekali atau dua kali, lalu terjadi sesuatu yang membuatnya bisa mengajukan kliam, sehingga ia mendapat ‘manfaat’ yang besar dari perusahaan asuransi. Bisa jadi juga, ia telah membayar premi selama 10 tahun, namun karena selama kurun waktu 10 tahun itu tidak terjadi apa-apa, uang premi yang telah dibayarkannya raib.
Asuransi konvensional mengandung praktik pengambilan harta orang lain secara batil. Yaitu ketika tidak ada klaim dari pemegang polis setelah berlalu masa yang disepakati, sehingga harta yang disetorkan oleh pemegang polis menjadi miliki perusahaan asuransi. Padahal, mengambil harta orang lain tanpa ada imbalan dalam transaksi perniagaan adalah diharamkan. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
Keharaman asuransi konvensional ini telah menjadi ketetapan Hai`ah Kibar Ulama (Majelis Besar Ulama) Kerajaan Saudi Arabia no. 55 tanggal 4/4/1397 H. Dan Keputusan al-Mu’tamar al-‘Alami al-Awal lil Iqtishad al-Islami (Konferensi Internasional Ekonomi Islam I) di Makkah tahun 1396 H.
Sebagai alternatifnya, Hai`ah Kibar Ulama membolehkan at-Ta`min at-Ta`awuni (Asuransi Tolong-Menolong), yaitu asuransi yang menampung dana yang disiapkan untuk tabarru’/sumbangan dari para pemegang polis untuk salah seorang pemegang polis yang membutuhkan karena tertimpa musibah. Di sini tidak ada keuntungan sedikit pun yang diberikan kepada para pemegang polis. Sebab, tujuan dari semua pemegang polis adalah mengharapkan pahala dari Allah dari sumbangan yang mereka berikan kepada saudaranya. Asuransi seperti ini termasuk bentuk pertolongan yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya,
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al Maidah: 2)
Juga sabda Rasulullah saw,
وَالله فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah senantiasa menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Dalam ta’min at-ta’awuni ini, apabila setelah masa tertentu yang disepakati ternyata dana yang terkumpul masih tersisa, maka dana itu dikembalikan kepada pemiliknya, yakni seluruh pemegang polis. Sebab sebenarnya itu adalah harta mereka yang mereka kumpulkan untuk disiapkan sebagai dana sumbangan untuk salah seorang di antara mereka jika ada di antara mereka yang tertimpa musibah.
Inilah perbedaan yang paling mendasar antara ta’min ta’awuni yang mestinya semua perusahaan asuransi yang mengklaim sebagai asuransi syariah mempraktikkannya dengan yang senyatanya mereka praktikkan. Meskipun sama-sama menggunakan istilah tabarru’, namun realitanya dana yang tersisa dari yang terkumpul, tidak dikembalikan kepada para pemegang polis. Dana itu diambil secara batil dan dimiliki -meskipun tidak dinyatakan secara lugas- oleh perusahaan asuransi yang mengklaim berbasis syariah. Realitanya, dana yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi syariah kepada para pemegang polis yang mengajukan kliam tidak sampai 50 %. Selanjutnya, silahkan menghitung sendiri keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan asuransi yang mengklaim sebagai asuransi syariah.
Sebenarnyalah, penggunaan nama-nama atau istilah-istilah syar’i tidak merubah hukum suatu transaksi, jika pada hakikatnya ia masih mengandung perkara-perkara yang diharamkan.
Praktik ta’min ta’awuni yang sederhana seperti yang dijelaskan oleh Hai`ah Kibar Ulama sebenarnya dapat diadopsi atau diadopsi oleh perusahaan-perusahaan Islam yang ada di Indonesia dengan membentuk sebuah lembaga/perusahaan asuransi yang benar-benar bertujuan mempraktikkan syariat apa adanya tanpa merekayasa agar dapat “menikmati” sesuatu yang haram. Rasulullah saw bersabda,
لاَ تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَتِ اليَهُوْدُ فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهُ بِأَدْنَى الحَيْلِ
“Janganlah kalian melakukan apa yang pernah dilakukan oleh bangsa Yahudi. Yakni kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah hanya dengan sedikit rekayasa.” (HR. Ibnu Baththah dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Ibnu Katsir) Wallahu a’lam.
ٍsumber: majalah arrisalah edisi 133