Setiap Kita Adalah Pemimpin
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أهل بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ.
“… Setiap kepala keluarga (suami) adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban-nya terhadap mereka.” (HR. Bukhari, Muslim Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Manusia yang diciptakan Allah pertama kali adalah dari jenis laki-laki, yaitu Nabi Adam, dan semua Nabi yang diutus oleh Allah adalah laki-laki. Allah menjadikan kepemimpinan ada pada laki-laki, dan tentunya urusan ini kepemimpinan akan ditanya dan dimintai pertanggungan jawab. Hal ini tidak berarti perempuan bebas berbuat sekehendaknya dan merasa aman. Akan tetapi kita semua adalah pemimpin termasuk wanita, dan ia akan ditanya atas apa yang dipimpinnya.
Laki-Laki adalah pemimpin
Tanggung jawab terbesar setelah imam dan pemimpin masyarakat adalah imam dan pemimpin keluarga. Rasulullah pemimpin umat juga pemimpin bagi keluarganya, bahka beliaulah sebaik-baik qudwah dan contoh bagi setiap laki-laki dalam memimpin keluarganya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
Kewajiban menafkahi keluarga adalah kewajiban suami bukan istri, sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah: 233)
Nafkah wajib ini harus dari yang halal dan thayyib, bukan yang haram dan syubhat. Karena bila ia halalan thoyyiban maka menjadi pahala yang bernilai besar, Rasulullah bersabda:
“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk memerdekakan budak dan dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin dan dinar yang engkau keluarkan untuk keluargamu (anak-istri) maka yang paling besar pahalanya adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu.” (HR Muslim)
Tak hanya kebutuhan makan dan pakaian atau lahiriyah yang dipenuhi dan diperhatikan akan tetapi ada yang lebih penting dari itu semua adalah kebutuhan ruh/batin bagi istri dan anak-anak. Makanan ruh adalah kebaikan Islam. Aqidah yang lurus, ibadah yang benar dan akhlak yang mulia.
Pemimpin keluarga mengajarkan kepada keluarganya Al-Qur’an, melatih dengan rutin untuk melaksanakan syiar-syiar Islam, anaknya dipilihkan sekolah yang mengedepankan akhlaq, dan iman, diajarkan kepada mereka keterampilan hidup. Perkenalkan kepepada mereka masalah ummat dan bila ada solusinya. Istrinya diperintah menutup aurot, menjaga kesuciannya, dan memberi ijin jika mereka hendak keluar memenuhi kebutuhannya.
Rasulullah telah memberikan contoh kepada keluarganya untuk memiliki akhlak yang mulia, lembut dan kasih sayang terhadap sesama muslim, bahkan memiliki rahmat kepada hewan, mempunyai sifat jujur, amanah dan berani, memuliakan tamu, tetangga dan membantu yang miskin.
Rasulullah menganjurkan kepada orang tua agar memerintahkan anaknya untuk shalat ketika umur tujuh tahun, dan mulai dipukul (dengan ringan tanpa meninggalkan bekas) bila umur sepuluh tahun tidak mau shalat.
Faaqidu syai’ laa yu’tiih, kalau ndak punya sesuatu bagaimana mau memberi. Kalau pemimpin keluarga tidak bekerja bagaimana mau memberi, kalau pemimpin keluarga tidak sholeh, tidak mengetahui aqidah yang shahih, tidak tahu amalan yang shalih dan akhlak yang baik, lalu bagaimana mengajarkan semua itu kepada yang dibawahnya. Allahulmusta’an.
Wanita sebagai pemimpin
Istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Itulah mengapa syariat menempatkan laki-laki yang bertanggung jawab atas nafkah wajib dan dia haus keluar rumah untuk memenuhinya.
Sedangkan asal wanita adalah di rumah, karena dia adalah pemimpinnya. Bahkan ibadah shalat yang dilakukan di rumahnya lebih utama dari pada shalat berjamaah di luar (masjid) meskipun tidak dilarang.
Banyak sekali pekerjaan mulia di rumah yang bila dilaksanakan dengan baik akan membuat tentram orang yang di dalamnya, dari urusan kebersihan, kerapian dan menjauhkan hal-hal ang berbahaya di dalamnya.
Karena banyak pekerjaan yang harus dilakukan maka ia bisa mengambil waktu istirahat di rumahnya juga, hal ini tidak bisa didapat bagi wanita yang bekerja di luar rumah. Bahkan kalau ternyata wanita pulang ke rumah hanya untuk istirahat karena capek di luar, bagaimana nanti kalau suami datang, anak butuh kasih sayang dan rumah butuh perawatan. Siapa yang akan melakukannya, apakah pembantu yang akan dihadirkan?
Wanita bisa mendapat banyak pahala dan terjaga kesuciannya bila menetap di rumah. Bila ia sudah bisa istirahat di rumah makai ia bisa melayani suaminya dengan baik, bau harum tercium dari badannya, pakaian yang dipakai dihadapkan suaminya pun yang indah (dan ia berdosa bila memakai wewangian di luar rumah dan berdandan untuk orang lain di rumah), dia bisa memakaikan kepada anak-anaknya pakaian yang enak dipandang oleh yang mau melihatnya, memberikan kasih sayang dan pendidikan yang awal, yang harus mereka ketahui, menampakkan adab dan akhlak yang baik kepada mereka.
Menyusui anak, membelanjakan harta yang telah diamanahkan suami, kemudian mewujudkannya berupa makanan yang disantap keluarga setiap hari adalah tanggung jawab istri. Menjaga harta suami dan perabot yang di rumah juga menjadi tanggung jawab istri, begitu pula tidak memberi ijin masuk bagi siapa saja yang tidak dikehandaki suami untuk memasuki rumahnya.
Sungguh berat dan melelahkan bagi suami dan istri yang masing-masing mempunyai tanggung jawab, ada yang sifatnya sendiri-sendiri dan ada yang sifatnya bersama. Bila belum siap mengemban tanggung jawab / amanah tapi sudah menikah maka entah bagiaman kesudahannya. Terus belajar dan perbaiki diri dan keluarga, semoga Allah selalu membina kita semua. Amin.
(Abu Abdullah majalah ar risalah 158)