Tadabbur Sirah : Masjid Nabawi Sebagai Poros Perjuangan
(Serial Tadabbur Sirah 4)
Oleh: Ust. Fajar Jaganegara, S.Pd.I
Tulisan tadabbur sirah pada kesempatan kali ini ingin penulis mulai dengan sebuah pertanyaan. Apa yang pertama kali Nabi lakukan selepas hijrah dari Mekkah menuju Madinah?
Jawabannya adalah membangun masjid.
Salah satu langkah strategis yang Nabi lakukan setibanya setibanya di kota Madinah adalah membangun masjid Nabawi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hisyam dalam kitab sirahnya, bahwa Nabi bersama para sahabat dari Muhajirin dan Ansar bahu-membahu membangun masjid dan rumah Nabi. (Sirah Ibnu Hisyam, Abdul Malik bin Hisyam al-Muafiri, 1/449)
Masjid Nabawi pada mulanya bukanlah masjid yang megah dan besar sebagaimana yang kita kenal hari ini. Begitu sangat sederhana dan bersahaja, namun memiliki fungsi yang sangat strategis dan fundamental.
Menurut perkiraan Dr. Muhammad Ilyas Abdul Ghani ukuran Masjid Nabawi hanya berukuran 50 x 50 meter persegi dengan tinggi 3.5 meter. (Sejarah Madinah Munawarah, Muhammad Ilyas Abdul Ghani, hlm.29)
Dengan struktur bangunan yang juga sederhana, terdiri dari dinding yang terbuat dari batu bata, beralaskan pasir dan atap terbuka, karena memang yang tertutup oleh pelepah kurma hanya pada bagian utara masjid, tempat para sahabat ahlu Suffah tinggal. (lihat: As-Sirah An- Nabawiyah, Muhammad Ali ash-shalabi, 418)
Tapi siapa yang menyangka, masjid Nabawi yang begitu sederhana ini, masjid yang berdiri di tengah padang pasir, menjadi pusat komando dan pergerakan dakwah Islam ke seluruh dunia.
Dari Kota Madinah yang sederhana ini, Islam sampai dan didengar sekaligus diimani mereka yang tinggal di perbatasan Sijistan di wilayah Timur, mencapai Tunisia di Afrika Barat, dan Islam pun sudah dibicarakan di perbatasan kekaisaran Romawi di Utara. Dan semua itu di mulai dari sebuah masjid Nabawi yang sederhana.
Meskipun sederhana masjid Nabawi justru punya fungsi yang luar biasa dan istimewa. Masjid Nabawi bukan hanya sebagai tempat beribadah ritual, namun ia juga berfungsi sebagai instrumen bernegara pada masa Nabi.
Sebagaimana kita tahu, Nabi Muhammad tidak hanya berperan sebagai Nabi yang mengurus urusan keagamaan saja, lebih dari itu beliau juga berperan sebagai kepala negara yang mengurusi banyak persoalan, mulai dari ekonomi, pertahanan dan keamanan, militer, politik dan sosial. Dan semua hal tersebut diselesaikan di masjid Nabawi.
Jika para penguasa lainnya yang sezaman dengan beliau hidup dan mengatur negaranya dari istana, maka masjid Nabawi adalah istana negara. Tempat di mana Rasulullah mengerjakan tugas-tugas beliau sebagai pemimpin kaum muslimin.
Mari buka buku-buku sirah Nabawiyah, maka akan didapati bagaimana masjid Nabawi dijadikan oleh Nabi sebagai sentral segala urusan keumatan. Mulai dari urusan pengajaran, dakwah dan pengkaderan, di mana Nabi menggembleng para sahabat dan mengajarkan mereka ilmu.
Syaikh Syafiyurrahman al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa masjid Nabawi bukan hanya berfungsi sebagai tempat shalat semata, melainkan tempat pendidikan bagi kaum muslimin, sebagai tempat pertemuan dan menyelesaikan perselisihan, dan juga sebagai tempat mengatur segala urusan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah menjalankan roda pemerintahan (Ar-Rahiq al-Makhtum, Syafiyurrahman al-Mubarakfuri, 349)
Syaikh Musthafa as-Siba’i menjelaskan sebuah isyarat dari Nabi perihal urgensi dari sebuah masjid sebagai poros perjuangan dakwah Islam saat Nabi mula-mula tiba di Madinah.
“Salah satu fakta dari perjalanan hijrah Nabi menuju Madinah adalah; tidaklah Nabi shalallahu ‘alahi wa salam singgah dalam perjalanan hijrahnya kecuali beliau membangun sebuah masjid sebagai tempat berkumpulnya kaum muslimin.”
“Rasulullah shalallahu ‘alahi wa salam membangun masjid Quba’ kemudian bermalam selama empat hari, lalu beliau membangun masjid kembali saat berhenti di perjalanan dari Quba’ menuju Madinah yang di dalamnya Rasulullah mendirikan shalat Jumat di tengah-tengah Bani Salim bin ‘Auf, dan sesampainya beliau di kota Madinah, hal pertama yang beliau lakukan (kembali) adalah membangun masjid.” (as-Sirah an-Nabawiyah, Said Hawa, 395)
Perilaku Rasulullah inilah yang menunjukkan akan pentingnya posisi masjid dalam Islam. Karena masjid menjadi tempat didirikannya ibadah untuk mensucikan jiwa dan akhlak, tempat memperkuat persatuan kaum muslimin, tempat diselenggarakannya hari-hari besar, masjid juga sebagai ikon kebesaran syiar, serta simbol persatuan kaum muslimin.
Lebih lanjut Syaikh as-Siba’i menjelaskan bahwa sejarah masjid dalam Islam adalah sebagai tempat mengatur pasukan kaum muslimin, tempat tumbuh dan berkembangnya peradaban Islam di mana para sahabat yang mulia dididik dan dibina oleh Rasulullah. Dan madrasah Nabi berada di sebuah tempat yang dinamakan masjid. (as-Sirah an-Nabawiyah, Said Hawa, 395)
Bercermin Dari Masjid Nabawi
Lembaran demi lembaran perjalanan Nabi adalah cermin bagi umatnya. Tempat berkaca dan melihat; sudah sejauh mana pelajaran, hikmah dan teladan yang dapat direguk, dinikmati dan diaplikasikan dalam kehidupan.
Teladan Nabi perihal bagaimana memfungsikan masjid sebagai poros perjuangan bagi umat sungguh luar biasa. Sebuah bangunan sederhana dengan pernak-pernik yang jauh dari kata layak untuk disebut masjid seperti hari ini, akan tetapi berkerja dengan baik sebagai tempat berbenah bagi umat.
Syaikh Ali ash-Shalabi juga memaparkan sekian fungsi strategis masjid Nabawi pada masa Nabi sebagai sentral kegiatan umat dan negara. Ada delapan fungsi strategis yang disebutkan ash-Shalabi, di antaranya:
- Sebagai tempat ibadah kaum muslimin
- Menjadi tempat Rasulullah dan para sahabat membicarakan urusan-urusan keumatan.
- Menjadi pusat pendidikan dan pengajaran bagi kaum muslimin.
- Sebagai tempat singgah dan berteduh bagi para musafir.
- Masjid juga berfungsi sebagai barak militer, tempat berkumpulnya para mujahidin membicarakan urusan-urusan perang.
- Masjid juga berfungsi sebagai rumah kesehatan, tempat di mana para prajurit yang terluka di medan perang dirawat dan diobati.
- Masjid juga difungsikan oleh Rasulullah sebagai pusat informasi dan administrasi. Di mana berita-berita, pengumuman dan kabar kemenangan disampaikan.
- Masjid juga berfungsi sebagai tempat pemantauan bagi kaum muslimin untuk mengawasi pergerakan musuh yang mencurigakan, sekaligus untuk mendeteksi musuh-musuh dalam selimut dari kaum munafikin yang senantiasa membuat makar dan tipu daya. (as-Sirah an-Nabawiyah, Muhammad Ali ash-Shalabi, 4266-428)
Mari sejenak melihat masjid-masjid kaum muslimin, masjid-masjid di sekitar kita. Sudah sejauh apa masjid-masjid tersebut berfungsi sebagaimana masjid Nabawi dahulu berfungsi. Maka pertanyaan-pertanyaan retoris berikut sekiranya penting untuk jadi bahan renungan.
Sudahkah masjid-masjid kita menjadi tempat ibadah ditegakkan, al-Quran dan sunnah diajarkan, dan tempat di mana persatuan umat digaungkan?
Sudahkah masjid-masjid kita menjadi wadah bagi umat untuk merencanakan hal-hal besar, tempat pikiran dan ide untuk memenangkan Islam disusun dan dicanangkan?
Atau justru sebaliknya?
Jika masjid-masjid kita justru dibangun atas dasar fanatisme madzhab dan kelompok tertentu, di mana semangat memperjelas perbedaan ditonjolkan dan simpul-simpul ukhuwah dan persatuan tidak jadi perhatian.
Berapa banyak masjid megah berdiri bertingkat-tingkat, diukir kaligrafi rumit menawan, berlantaikan marmer pilihan, berpendingin ruangan, karpet-karpet lembut khas Turki terbentang, tapi hanya sedikit yang hadir meramaikan shalat berjama’ah dan tidak ada majlis ilmu di dalamnya.
Masjid-masjid hari ini banyak yang kehilangan ruh dan fungsinya sebagai pusat pembinaan umat. Syaikh Munir Ghadhban menuliskan keprihatinannya akan masjid-masjid kaum muslimin hari ini dalam kitabnya Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah ketika membandingkan peran masjid di masa Rasulullah dan hari ini.
“(Masjid) bukan hanya sekedar tempat ibadah, tapi adalah rumah kehidupan bagi kaum muslimin, maka melihat betapa hari ini masjid-masjid besar dan megah yang dibangun di seluruh penjuru dunia dengan keindahan arsitektur bangunannya, akan tetapi tidak didapati di dalamnya peran bagi kemajuan Islam” (Fiqhu as-Sirah an-Nabawiyah, Munir Muhammad Ghadhban, 357)
Jangan Hanya Membanggakan Bangunan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ
“Tidak datang hari kiamat sampai manusia saling membanggakan masjidnya.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dalam hadist lain Rasulullah bersabda:
يَتَبَاهُونَ بِهَا ثُمَّ لَا يَعُتَمِرُونَهَا إِلَّا قَلِيْلًا
“Mereka saling membanggakannya namun tidak ada yang memakmurkannya kecuali hanya sedikit.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, ada perawi yang majhul dalam sanadnya)
Adapun maksud dari membanggakan dalam hadist ini adalah saling berlomba membanggakan dan menyombongkankannya, seperti seseroang yang mengatakan “Masjidku lebih baik dari masjidmu” dan yang menjadi objek kebanggan itu hanya sekedar kemegahan bangunannya saja. (Faidhu al-Qadir, Abdurrauf al-Munawi, 6/340)
Ibnu Ruslan berkomentar tentang hadist ini, “Hadist ini menunjukkan mukjizat Nabi shalallahu ‘alaih wa salam yang mengabarkan bahwa fenomena seperti ini akan terjadi, yaitu membanggakan bangunan masjid…Nas’alullaha al-‘Afiyah.” (‘Aunu al-Ma’bud Syarhu Sunan Abi Daud, Muhammad Abadi, 2/84)
Membanggakan masjid sebagai tempat syiar Islam tentu dalam keadaan tertentu diperlukan. Akan tetapi hal tersebut bukan esensi dari masjid sesungguhnya. Karena peran penting masjid di tengah umat adalah sebagai tempat di mana umat dididik dan dibina.
Gerakan untuk merevitalisasikan masjid-masjid sebagai poros-poros perjuangan umat perlu dikampanyekan lagi. Agar masjid-masjid kaum muslimin bisa menjadi tempat untuk membina umat, membangun ekonomi, melakukan pendidikan, menyelenggarakan kegiatan sosial dan lain-lainnya.
Agar masjid-masjid berfungsi sebagai rumah besar bagi kaum muslimin. Tempat di mana persatuan dan ukhuwah dirajut, tempat merencanakan hal-hal besar bagi maslahat kaum muslimin, dan sebagai episentrum gerakan-gerakan perjuangan umat memenangkan Islam kembali.