Dalam proses transaksi, baik secara umum atau khusus, serah terima merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Istilah taqabudh (serah terima) merupakan proses lanjutan setelah terjadi kesepakatan antar pelaku transaksi. Bahkan terkadang proses ini mendahului adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Hal lain yang tidak boleh diremehkan adalah karena lalai terhadap masalah ini seseorang dapat terjatuh dalam riba. Berikut kami paparkan sekilas tentang serah terima dalam fikih Islam.
Hakikat Serah Terima
Ada perbedaan di antara para ulama madzhab dalam mendefinisikan serah terima atau al-Qabdhu. Dari perbedaan yang ada, pendapat para ulama tersebut dalam dikelompokkan menjadi dua pendapat. Kelompok pertama, pendapat Hanafiyah, Malikiyah, sebagian Syafi’iyah dan salah satu pendapat Hanabilah yang memberlakukan serah terima dalam bentuk takhliyah (serah terima dengan memberi keleluasaan penuh meskipun tanpa memindahkan barang) terhadap semua obyek transaksi tanpa membeda-bedakannya. Sedangkan kelompok kedua, membedakan teknik serah terima terhadap objek transaksi antara objek yang satu dengan yang lainnya, ini adalah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah.
Masing-masing kelompok berargumen dengan hadits Nabi. Diantara dalil yang digunakan kelompok pertama adalah hadits Rasulullah, beliau bersabda kepada sahabat Umar juallah unta itu kepadaku, Umar menjawab, “Silahkan ambil ya Rasul!” Nabi tetap berkata, “Juallah kepadaku”, akhirnya Umar menjualnya. Kemudian beliau bersabda, “Wahai Abdullah bin Umar, unta itu sekarang menjadi milikmu” (HR. Al-Bukhari, Kitab al-Buyu’, no. 2115)
Dari hadits ini jelas bahwa kepemilikan unta tersebut berpindah kepada Nabi tanpa adanya serah terima secara hakiki, kemudian beliau menghibahkannya kepada Ibnu Umar.
Sedangkan dalil yang digunakan oleh kelompok kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Utsman bahwasannya Rasulullah bersabda kepada beliau, “Jika hendak menjual, maka timbanglah; dan jika hendak membeli maka timbanglah.” (HR. Bukhari, Kitab Al-Buyu`). Dan selain itu mereka juga berdalil dengan ‘urf, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah bahwa al-Qabdhu secara mutlak ada dalam syariat, oleh karena itu wajib dikembalikan kepada adat kebiasaan yang ada.
Dari kedua pendapat yang ada Syaikh Alauddin Abdurrazaq al-Junku menyatakan bahwa al-Qabdhu adalah memberikan keleluasaan dan serah sepenuhnya dari kedua pelaku transaksi, dengan menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi kedua belah pihak dalam memanfaatkan objek akad, baik serah terima secara hakiki atau bukan. Sedangkan pada makanan ada pengecualian, karena adanya perhatian yang lebih khusus terkait hal tersebut. Tentunya kita tidak dapat mengesampingkan adanya riwayat yang secara khusus terkait dengan makanan. Syaikh bin Baz menyatakan bahwa untuk kehati-hatian dan agar lebih selamat dalam melakukan transaksi hendaknya dilakukan serah terima sacara hakiki, karena serah terima secara langsung menjadikan proses serah terima lebih sempurna.
Macam-Macam Serah Terima
Berangkat dari definisi di atas serah terima dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu al-Haqiqi dan al-Hukmi.
Yang dimaksud dengan al-Hakiki adalah bentuk serah terima yang dapat disaksikan dengan panca indera, seperti serah terima langsung dengan tangan atau dengan ditakar dan ditimbang pada makanan atau dipindahkan. Sedangkan teknik pelaksanaannya dilakukan berdasarkan objeknya, dapat dipindahkan atau tidak.
Untuk barang yang dapat dipindahkan tehniknya adalah meyerahkan secara langsung dari tangan ke tangan. Ini dibedakan antara barang yang tidak bisa diukur (yaitu dengan disesuaikan adat kebiasaan dan dipindahkan) dan bisa diukur (dengan cara diukur berdasarkan ukurannya seperti takaran, timbangan atau meteran).
Sedangkan barang yang tidak dapat dipindahkan adalah dengan cara dikosongkan atau diserahkan sepenuhnya dengan beberapa syarat. Menurut Hanafiyah, syaratnya adalah objek tersebut dapat dijangkau dan dimanfaatkan, seperti menyerahkan kunci rumah. Syarat selanjutnya hendaklah posisi objek transaksi berada di satu wilayah atau negera. Sedangkah dari Syafi’iyah mensyaratkan jika objeknya dapat diukur maka harus diukur, seperti tanah harus diukur luasnya dan lainnya.
Macam serah terima yang kedua adalah al-Hukmi, yaitu bentuk serah terima yang lebih bersifat dugaan atau perkiraan (secara simbolik), dengan cara mengosongkan atau menyerahkan kewenangan dengan menghilangkan penghalang yang ada berdasarkan adat kebiasaan. Untuk tekniknya dilihat dari jenis objeknya apakah dapat dipindahkan atau tidak.
Untuk objek yang tidak bisa dipindah para Ahli Fikih bersepakat untuk serah terimanya secara takhliyah. Sedangkan untuk barang yang dapat dipindahkan ada dua pendapat. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, jika memungkinkan untuk dipindah maka harus dipindah, dan tidak cukup dengan penyerahan secara simbolis. Sedangkan menurut Hanafiyah, Malikiyah dan pendapat dari Syafi’iyah dan Hanabilah. Cukup dengan serah terima secara simbolik namun hendaknya dibedakan dengan cara ditentukan atau dipisahkan, misalnya dengan membedakan tempatnya atau dengan memilih secara langsung objek yang hendak ditransaksikan dan diberi tanda.
Dari kedua pendapat yang ada, demi menjaga kemaslahatan di antara manusia dalam bertranksaksi dan keterkaitan antar satu akad dengan akad lainnya, maka pendapat yang tepat adalah pendapat kedua, terlebih lagi jika dilihat dari objek yang menyertai objek utama dalam transaksi.
Penutup
Dari pembahasan di atas nampak bagi kita bahwa serah terima sebagai proses lanjutan dari kesepakatan transaksi mancakup pembahasan yang cukup komplek. Mengingat begitu kompleknya objek transaksi yang ada. Maka perlu menjadi perhatian bagi kita sebagai seorang muslim yang komitmen dengan syariat Islam, terkhusus lagi dengan adanya varian objek transaksi di sekitar kita.
Sumber: majalah hujjah edisi 02 hal. 44-46