Sendi Islam Yang Pertama Kali Terlepas

لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلامِ عُرْوَةً عُرْوَةً ، فَكُلَّمَا انْتُقِضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا ، فَأَوَّلُهُنَ نَقْضُ الْحُكْمِ ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلاةُ

“Ikatan Islam akan terlepas satu demi satu. Setiap kali satu ikatan terlepas, manusia akan bergantung pada ikatan berikutnya. Yang pertama kali akan terlepas adalh hukum dan yang terakhir adalah shalat.”

(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Membaca prediksi akhir zaman dari Rasulullah di atas membuat kita ngeri. Sendi-sendi Islam akan terurai satu demi satu, yang pertama adalah hukum dan terakhir adalah shalat. Apa yang beliau sabdakan akan terjadi. Namun begitu, bukan berarti hadits ini menjadi legitimasi bagi kita untuk bersikap fatalis, membiarkan begitu saja sendi Islam terurai karena sudah diprediksikan. Memang bakal demikian. Selalu kita diingatkan bawa prediski ahir zaman dari Rasulullah bernilai peringatan bagi umatnya yang hidup pada zaman tersebut jika beliau mengatakan bahwa sendi Islam akan terurai di akhir zaman nanti, maka kita seharusnya berusaha agar tidak menjadi umat yang turut andil dalam hal itu, sebaliknya kita harus menjadi pejuang yang tetap berusaha memperkokoh Islam, seperti apapun hasil yang kita dapatkan.

Dalam hadis di atas yang pertama kali akan lepas adalah al hukmu. Dalam kitab Faidhul Qadir, al Munawi menjelaskan bahwa maksud dari al hukmu adalah al qadha’ (peradilan). Yaitu formalisasi syariat Islam dalam hukum guna menyesuaikan berbagai kausus terkait pelanggaran hukum, tindak pidana maupun sengketa. Gambarannya seperti yang sudah diterapkan pada masa kejayaan khilafah saat mana semua urusan kehakiman diselesaikan berdasarkan syariat Islam.

Inilah sendi Islam yag pertama kali lolos dan membuat Islam semakin lemah. Sudah sejak lama kita menyaksikan fakta ini terjadi. Secara de jure mungkin runtuhnya khilafah pada 1924 menjadi tanda berakhirnya. Meskipun secara fakta, barangkali masing ada beberapa negeri yang masih menjaganya meski tak kita lihat masih ada yang mampu konsisten hingga saat ini.

Islam sebagai landasan hukum yang secara formal diakui, ditelaah dan diberdayakan sebagai nafas yang mengatur gerak umat Islam, sejak itu telah tiada, sampai sekarang. Saking lamanya keterpurukan ini, tidak sedikit umat yang tidak lagi mengerti bahwa hal itu merupakan sendi Islam Urwatul Islam. Bahkan personal umat Islam yang saat ini menduduki jabatan sebagai penguasa bahkan penentu hukum sebuah negara pun banyak penentu hukum sebuah negara pun banyak yan tak sadar jika sejatinya mereka memikul beban utnuk menegakkan kembali sendi ini.

Sebaliknya, tidak sedikit yang justru menganggap bahwa pelaksanaan syariat dalam skup yang luas adalah nostalgia masa lampau yang kini tak lagi relevan, bahkan sekedar untuk dibayangkan sekalipun. Lebih parah lagi, usaha penyadaran umat, hanya umat Islam saja tentunya, agar mengembalikan sendi ini pada posisinya dianggap sebagai usaha destruktif yang layak dipadamkan.

Ada juga segolongan umat yang malah kebingungan membedakan antara ulil amri penegak hukum Islam dengan penguasa penegak hukum Islam dengan penguasa penegak hukum selain Islam dari kalangan orang Islam. Yang kedua, tentunya tidak layak disebut ulil amri yang menjadi tempat melabuhkan ketaatan setelah Allah dan Rasulullah. Bahkan dalam konteks bahwa mereka justru memilih dan menegakkan hukum selain hukum Allah, mereka adalah ahli maksiat. Karena bingung, segolongan umat ini pun menyamakan yang kedua dengan yang pertama dan memebenahi yang kedua. Sikap ini memakin menyulitkan langkah untuk menegakkan kembali sendi ini.

Banyak yang bertanya mengapa sih kita bersikeras memperjuangkan penerapan syariat, bahkan ada yang berusaha menerapkannya dalam skup negara? Apakah penerapan syariat Islam dapat menjamin sebuah negara menjadi lebih baik, seluruh persoalan dapat terselesaikan dan rakyat lebih makmur?

Ditanya mengapa, tentu jawabannya karena. Karena itu perintah Allah yang harus dijalankan  agar kita menjadikan Islam sebagai nafas kehidupan kita. Mengatur hidup dengan aturan tersebut, dalam segala sisi yang memang diberikan  aturan padanya atau mengacu pada arahan dan bimbingannya. Soal dilegalkan sebagai hukum negara atau tidak, yang jelas umat Islam terkena kewajiban agar melaksanakan syariat secara sempurna, dengan segala tuntutannya. Juga karena kita yakin bahwa apa yang sudah diturunkan Allah adalah lebih baik. Kalau sudah yakin demikian, mengapa masih bersikeras untuk tetap menggantinya dengan hukum buatan manusia yang karenannya kita justru akan dicap mencederai ketaatan kepada Allah?

Soal jaminan apakah setelah hukum Islam diterapkan, sebuah negara bisa lebih baik? Tak seorangpun bisa menjamin. Hanya Allah yang berani menjamin dan Alah sudah berikan jaminan itu. Kita yakin jika syariat Allah secara kafah dilaksanakan, pasti akan membuat segalanya jadi lebih baik. Tapi yang perlu diingat pula, syariat adalah sarana yang dianugerahkan untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan. Sedang presentase keberhasilan dipengaruhi juga oleh kesungguhan dalam menjalankan tuntutan dari Islam itu sendiri.

Bicara soal jamin-menjamin, memangnya selain Islam ada yang berani menjamin dapat membuat sebuah negara atau suatu kaum dapat menjadi lebih baik, menyelesaikan seluruh persoalan dan membuat rakyat lebih sejahtera? Kalau tidak berarti kita perlu menengok sejarah. Siapa yang pernah berhasil membuktikan diri dapat memberikan ketiga hal itu. Islam punya sejarah emas dalam hal itu dan silahkan tengok sejarah yang dipunya oleh selainnya.

Tapi kita juga sadar sepenuhnya. Persoalan hilangnya sendi ini merupakan urusan sistemik yang rumit. Semua berakar dari kurangya ilmu dien serta distorsi pemahaman terhadap Islam. Disamping merupakan bukti keberhasilan musuh-musuh Islam dalam merusak kejayaannya. Penyelesaiannya tentunya harus sistematik dan konstruktif. Harus diusahakan agar benar-benar sesuai dengan arahan al Qur’an, cerdas mengambil pelajaran dari sejarah Rasulullah dan lihai memadukannnya dengan konteks kekiniaan.

Yang riil bisa dilakukan saat ini, minimal adalah usaha menyadarkan kembali umat Islam akan pentingnya sendi ini. Selanjutnya tetap berusaha melaksanakan syariat semaksimal mungkin, baik secara individu, keluarga atau komunal. Tentunya dengan mempertimbangkan segala kemungkinannya. Sebab jika ini juga tidak berusaha dilakukan, berarti kitalah yang akan dicap sebagai penyebab munculnya keburukan akhir zaman yang satu ini. Wallahu musta’an, semoga Allah menjaga keistiqamahan kita. (anwar)

Sumber: majalah arrisalah edisi 124 hal. 45-46

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *