Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Ulama & Cara Menyikapinya

Oleh : Ustad Fajar Jaganegara S.Pd.I
Perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama bukan tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya perbedaan. Namun faktor-faktor tersebut mengerucut pada tiga faktor utama:
 
Pertama, pemahaman bahasa (linguistik) yang berbeda

Sumber utama kajian fikih adalah al-Quran dan hadis-hadits Nabi, yang tentunya berbahasa Arab. Maka memahami seluk-beluk bahasa Arab mutlak dimiliki seorang ulama untuk berinteraksi dengan nash, guna memahami maksud yang terkandung di dalamnya.
Akan tetapi, setiap ulama memiliki kemampuan linguistik yang berbeda-beda. Maka dalam memahami nash (al-Quran dan hadits) pastilah menghasilkan pemahaman dan kesimpulan yang juga berbeda. Seperti contoh yang telah disebutkan di atas, dalam kasus menafsirkan ayat 43 dari surat an-Nisa.
Contoh lain perbedaan pendapat ulama karena faktor pemahaman bahasa yang berbeda, seperti memahami arti kata quru’ dalam surat al-Baqarah ayat 228.

Allah berfirman:

وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓء

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata quru’ pada ayat ini artinya tiga kali suci. Sedangkan sebagian ulama lain berpendapat bahwa maksud ayat ini adalah tiga kali haid. (Tafsir al-Quran al-‘Adzim, Ibnu Katsir, 2/335-337)
 
Kedua, penilaian terhadap status hadits

Hadits sebagai sumber pengambilan hukum juga menyebabkan perbedaan pendapat para ulama fikih. Tepatnya, penilaian terhadap status sebuah hadits menyebabkan hasil kesimpulan hukum yang berbeda.

Pada masa dahulu, terkadang sebuah hadits telah sampai pada ulama tertentu, namun tidak didapatkan oleh ulama lainnya. Dalam kasus lain, terkadang sebuah hadits dinilai sebagai hadits yang diterima karena telah sesuai syarat-syaratnya sebagai  hujjah.

Namun dalam pendapat ulama lain, boleh jadi hadits tersebut tertolak karena adanya cacat pada matan atau sanad periwayatannya. Maka ada hadits yang diterima oleh sebagian ulama tapi ditolak oleh ulama lainnya, begitu pula sebaliknya.
Contoh perbedaan pendapat ulama karena faktor perbedaan penilaian terhadap status hadits, seperti dalam persoalan qunut subuh.

Menurut ulama kalangan Hanafiyah, qunut hanya ada pada shalat witir, dan menurut mereka riwayat-riwayat qunut dalam shalat subuh telah dihapus (mansukh).
  
Menurut mazhab Malikiyah dan Syafi’iyyah, membaca doa qunut ketika shalat subuh adalah sunnah, mereka berdalil dengan hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, yang menyatakan bahwa Rasulullah selalu melakukan qunut hingga meninggal dunia.

Sedangkan menurut mazhab Hambali, mereka berpendapat bahwa qunut hanya boleh dilaksanakan dalam shalat witir, sedangkan qunut dalam shalat subuh tidak disunahkan. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Lahi’ah, bahwa Nabi pernah melakukan qunut kemudian meninggalkannya. (Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaili, 2/161-166)
 
Ketiga, perbedaan metode ijtihad

Setiap mazhab memiliki usul mazhab dan metode ijtihad yang berbeda dalam menyimpulkan hukum-hukum fikih. Sehingga produk hukum yang dihasilkan juga berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Memang keempat mazhab; Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat akan empat sumber ijtihad; al-Quran, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. (Ma’alim Usul al-Fiqh, Muhammad bin Husain al-Jizani, 103)

Akan tetapi, terdapat perbedaan dalam kaidah-kaidah usul yang lain. Seperti contoh, dalam mazhab Hanafi yang menggunakan istihsan dalam usul mazhab mereka, sedangkan itu tidak digunakan dalam mazhab Syafi’i.

Dalam mazhab Maliki, amal penduduk madinah bisa menjadi dalil yang diterima sebagai hujjah, sedangkan menurut mazhab yang lain tidak.

Inilah yang membuat produk hukum serta konklusi dari ijtihad masing-masing mazhab berbeda. Pada satu kesempatan mereka bisa bersepakat, namun dalam kesempatan lain, justru perbedaan pendapat tidak bisa dihindarkan.
 
Bagaimana Cara Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama?

Jika kita memahami bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama telah terjadi sejak dahulu, dan bahwa perbedaan di antara mereka adalah rahmat bagi umat, maka bersikap adil adalah mutlak diperlukan dalam mendudukkan setiap perbedaan.
Sikap inshaf (pertengahan) dan lapang dada harus dikedepankan dan menjadi akhlak dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama. Karena jika tidak demikian, akan menimbulkan kerusakan yang membawa pada perpecahan di tengah umat.

Imam as-Suyuti menjelaskan dalam mukadimah kitabnya Jazil al-Mawahib fi Ikhtilaf al-Mazahib, “Maka salah satu sebab perpecahan di tengah umat adalah; ketidakpamahan atas perbedaan pendapat di antara ulama. Serta ketidaktahuan atas sebab-sebab terjadinya perbedaan tersebut.”

“Adanya mazhab-mazhab ini (berikut perbedaan pendapat mereka) bukan untuk membawa pada perpecahan, namun justru mereka adalah madrasah-madarsah pemikiran yang menjelaskan dan memberi pemahaman akan syariat.” ( Jazil al-Mawahib fi Ikhtilaf al-Mazahib, Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, 7)

Semoga Allah selalu jaga persatuan kaum muslimin dalam nuansa keragaman pilihan atas perbedaan pendapat ulama, dan menjauhkan mereka dari makar musuh- musuh Islam yang ingin merusak persatuan. (dakwah.id / Himayah Foundation)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *