Sang Khalil
Syarh Aqidah ath-Thahawiyah ke-32:
وَحَبِيْبُ رَبِّ العَالَمِيْنَ
Dan (Muhammad adalah) kekasih Rabb alam semesta.
Matan ini adalah salah satu matan yang dikritik oleh sebagian ulama Ahlussunnah. Bukan karena keliru, tetapi karena berpotensi untuk dipahami secara keliru.
Membaca matan di atas, sebagian orang akan memahami bahwa khullah adalah tingkatan cinta di bawah mahabbah. Bahwa Nabi Ibrahim adalah khalilullah, sedangkan Nabi Muhammad adalah habibullah. Yang benar, khullah adalah tingkatan cinta yang tertinggi. Puncak cinta. Dan khullah Allah hanya untuk Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Rasulullah bersabda,
إني أبرأ إلى الله أن يكون لي منكم خليل فإن الله تعالى قد اتخذني خليلا كما اتخذ إبراهيم خليلا ولو كنت متخذ من أمتي خليلا لاتخذت أبا بكر خليلا
“Aku berlepas diri kepada Allah dari adanya khalil bagiku di antara kalian. Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai khalil-Nya sebagaimana menjadikan Ibrahim sebagai khalil-Nya. Sekiranya aku menjadikan seseorang dari umatku sebagai khalil, niscaya aku menjadikan Abu Bakar sebagai khalilku.” (HR. Imam Muslim dari sahabat Jundub)
Memang ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa Ibrahim adalah khalilullah dan Muhammad adalah habibullah. Hadits itu secara tersirat mengunggulkan mahabbah daripada khullah. Namun demikian, menurut para pakar ilmu hadits, hadits ini tidak shahih alias dha’if sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Meskipun demikian masih ada yang mempertahankan pendapat bahwa Nabi Muhammad adalah habibullah dan bahwa mahabbah lebih tinggi daripada khullah. Kebanyakan mereka yang menyatakan demikian adalah dari kalangan Sufi. Seperti biasa, kalangan ini kurang memperhatikan shahih-lemahnya hadits. Kalangan ini berpendapat demikian lebih karena mereka terikat dengan istilah mahabbah. Bagi mereka ibadah adalah cinta. Cinta saja. Bahkan mereka mengatakan bahwa kekasih tidak akan mengadzab kekasihnya, meskipun kekasih tidak melaksanakan perintah kekasihnya. Selama ia sibuk dengan cintanya. Tak heran, jika kita dapati tokoh-tokoh Sufi beribadah kepada Allah dengna cara-cara yang tidak disyariatkan. Ada yang beribadah dengan menari-nari, dengan menyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya. Menurut mereka, selama hal itu dilakukan atas nama cinta, Allah tidak akan menyalahkan mereka.
Benarlah kiranya pernyataan sebagian salaf,
من عبد الله بالحب وحده فهو زنديق ومن عبده بالرجاء وحده فهو مرجئ ومن عبده بالخوف وحده فهو حروري ومن عبده بالحب والخوف والرجاء فهو مؤمن موحد.
“Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta saja, maka dia adalah seorang Zindiq. Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan rasa takut saja, maka dia adalah seorang Haruriy (Khawarij). Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan pengharapan saja, maka dia adalah seorang Murjiah. Dan barangsiapa beribadah kepada Alah dengan cinta, rasa takut dan pengharapan, maka dialah seorang mukmin yang bertauhid.”
Maka Khullah
Di dalam Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah mengutip definisi khullah yang diberikan oleh para ulama. Ada di antara mereka yan menyatakan bahwa khullah adalah mahabbah yang telah merasuk ke dalam ruh dan hati pecinta. Ada jug yang mendefinisikan khullah dengan mahabbah yang telah menenggelamkan pencinta ke dalam cintanya.
Ibnu Taimiyah sendiri lebih memilih untuk menjelaskan khullah baha ia adalah cinta yang sempurna; jika itu dari hamba, maka ia adalah cinta yang dibuktikan dnegan kesempurnaan pengabdian kepada Allah. Sedangkan jika itu dari Allah, maka ia adalah cinta-Nya dengan melimpahkan kesempurnaan rububiyah kepada yang dicintai-Nya.
Rasulullah Muhammad dan Nabi Ibrahim adalah dua manusia pilihan Allah yang mendapatkan anugerah berupa puncak cinta dari Allah. Khullatullah.
Mahabbatullah
Mahabbatullah atau cinta dari Allah dianugerahkan kepada orang-orang yang beriman. Dan hal itu telah Allah terangkan di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
“Dan Alah mencintai orang-orang muhsin.” (QS. Ali Imran: 134)
“Maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang takwa.” (QS. Ali Imran: 76)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)
Empat Cinta Allah
Di dalam Al-Qur’an disebutkan ada empat jenis cinta yang disifatkan oleh Allah bagi Allah sendiri. Keempat cinta itu adalah: iradah, mahabbah, mawaddah, dan khullah. Tentang iradah Allah berfirman,
“Dan Allah senang untuk menerima taubatmu.” (QS. An-Nisa’: 27)
Tentang mawaddah Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
Tentang mahabbah Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)
Dan tentang khullah Allah berfirman,
“Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil-Nya.” (QS. An Nisa’: 125)
Sebagaimana menyikapi sifat-sifat Alah yang lain, Ahlussunnah menetapkan empat jenis cinta yang Allah tetapkan untuk Allah sendiri, tanpa membahas kaifiyah-Nya, tidak mentakwilkannya, dan tidak mentasybihkannya.
Jahmiyah dan Mu’tazilah Menolak Cinta Allah
Di samping menjelaskan kedudukan Nabi Muhammad yang tinggi di sisi Allah, dengna matan ini Abu Ja’far ath-Thahawi mengantitesa pendapat Jahmiyah, Mu’tazilah dan orang-orang yang sependapat dengan mereka bahwa Allah tidak mencintai dan tidak dicintai.
Menurut mereka yang mencintai dan dicintai adalah makhluk, sedangkan Allah berbeda dengan makhluk. Pernyataan mereka ini jelas tidak berdasar syara’ sama sekali. Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih jelas dan terang sekali menyebutkan cinta Allah kepada hamba-Nya dan kewajiban untuk mencintai Allah. Salah satunya Allah berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
“Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ittiba’lah kalian kepadaku, niscaya Allah akan mencintai Kalian.” (QS. Ali Imran: 31)
Entah mana yang benar, mereka tidak mau mencintai Allah atau tidak mau dicintai Allah. Semoga Allah menyelamatkan kita dari keyakinan melenceng seperti ini.
Tentang orang-orang yang seperti mereka di dalam Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim menulis, “Mereka yang mengingkari mahabbatullah, sesungguhnya telah menempatkan tabir tebal antara hati mereka dengan Allah. Tabir dan kealpaan mana yang lebih besar daripada keyakinan bahwa Allah tidak mencintai dan tidak dicintai. Hanyasannya pendapat ini diadopsi dari para filosof Yunani yang notabene mereka adalah orang-orang musyrik.”
Bagaimana bisa orang-orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan mereka yang sepakat dengan keduanya menegaskan cinta kepada Allah sedangkan sejatinya cinta adalah asas dari segala amal dan ibadah hati sebagaimana shidiq atau kepercayaan, adalah asas dari semua amal jawarih (anggota badan)
Maknanya jika seseorang mengerjakan shalat namun dia tidak mencintai shalat dan tidak mencintai Dzat yang karena-Nya dia mengerjakan shalat, niscaya shalatnya tidak akan diterima. Bagitu pula jika dia membayar zakat, menunaikan haji, dan mengerjakan amal-amal shalih lainnya. Wallahul Muwaffiq.
Majalah ar risalah : 73