Salaf Dalam Ibadah Dan Akhlak

Salaf Dalam Ibadah Dan Akhlak

 

Definisi salaf

Secara bahasa, salaf berarti masyarakat zaman dahulu atau nenek moyang. Apabila disebut kata salaf dalam Islam, maka maksudnya adalah masyarakat Islam zaman dahulu atau nenek moyang umat Islam.[1]

Ibnu Al-Atsir berkata: salaf-nya seseorang adalah orang-orang yang telah meninggal terlebih dahulu, baik nenek moyangnya sendiri maupun kaum kerabatnya, oleh karena itu, generasi pertama yang mengikuti jejak Rasulullah disebut dengan salaf ash-shalih.[2]

Adapun secara istilah, kata salaf memiliki arti historis dan ideologis. Secara historis, yang disebut dengan salaf adalah para sahabat Nabi (shahabah), generasi setelahnya yang mengikuti para sahabat (generasi tabi’un), dan generasi setelahnya yang mengikuti para pengikut sahabat (taabi’u at-tabi’in).[3]

Dr Mahmud Khaffaji berkata, “menurut saya, ulama yang menyatakan bahwa yang disebut dengan salaf adalah para sahabat, tabi’in, dan tabi’u at-tabi’in adalah yang benar, sebab definisi historis tersebut di satu sisi selaras dengan riwayat tekstual yang ada[4], dan dilain sisi juga sesuai dengan sebutan salaf secara konvensional yang termasuk di dalamnya generasi setelah tabi’in”.[5]

Demikianlah definisi salaf secara historis, akan tetapi untuk memperjelas arti kata salaf, kita membutuhkan definisi lain yang bercorak ideologis, sebab realitanya, kita juga menjumpai manusia-manusia yang memiliki ideologi menyimpang seperti; Syiah, Qadariyah, Jahmiyah, dan Khawarij di tiga generasi emas umat Islam tersebut.

Oleh karena itu, yang disebut dengan salaf secara historis dan ideologis adalah, “ideologi yang dianut oleh generasi salafush shalih dari tiga generasi emas umat Islam yang intinya adalah mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar, serta suci dari kontaminasi bid’ah dan nafsu”.[6]

Berdasarkan definisi terakhir di atas, maka siapapun orangnya, dari jama’ah, gerakan, kelompok, dan komunitas manapun, apabila mengikuti ideologi salaf, maka dia adalah pengikut manhaj salaf.

Kewajiban mengikuti salaf

Manhaj salaf adalah sebuah metode dalam memahami dan mengamalkan Islam sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulullah. Maka dari itu, apabila kita menginginkan Islam yang utuh (kaaffah) dan orisinil (ashoolah), kita harus mengikuti manhaj salaf. Banyak sekali ulama yang mengeluarkan statemen berharga dalam masalah ini.

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Siapa yang ingin mencontoh, maka contohlah orang yang telah mati itu, sebab orang yang masih hidup sangat berpotensi terkena godaan. Mereka adalah para sahabat Muhammad, mereka adalah umat Islam terbaik, hati mereka paling baik, ilmu mereka paling mendalam, dan mereka adalah orang-orang paling jarang memaksakan diri.”[7]

Al-Awza’i berkata, “bersabarlah dalam menggenggam sunnah (jalannya kaum salaf), tetaplah di tempat mereka, katakanlah seperti apa yang mereka katakan, tempuhlah jalan nenek moyangmu yang lurus, sebab jika mereka bisa, maka kamupun pasti bisa.”[8]

Pada kesempatan lain, Al-Awza’i berkata, “ikutilah ucapan kaum salaf meskipun semua orang menolakmu, jauhilah pandangan orang-orang masa kini, meskipun mereka menghiasi ucapan mereka dengan berbagai hiasan”.[9]

Imam Ahmad berkata, “Inti As-Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh pada apa yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah dan meneladani mereka”.[10]

Syaikh Utsaimin berkata, “Apabila dalam tubuh umat Islam terdapat banyak sekali kelompok, maka janganlah berafiliasi kepada kelompok manapun. Sejak dulu kala, banyak sekali kelompok yang bermunculan di tubuh umat, mulai dari khawarij, muktazilah, jahmiyah, hingga rafidhah. Dewasa ini juga muncul beberapa kelompok, seperti Ikhwanul Muslimun, Salafi, Jama’ah Tabligh, dan lain sebagainya. Tempatkanlah semua kelompok tersebut di sebelah kirimu dan pilihlah yang ada di depanmu, yaitu apa yang dinasehatkan oleh Rasulullah: ”ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku”.[11]

Tidak diragukan lagi, kewajiban umat Islam adalah mengikuti madzhab salaf, bukan berafiliasi kepada sebuah kelompok yang bernama salafi. Kewajiban umat Islam adalah mengikuti madzhab salaf, bukan membuat kelompok yang bernama salafi, karena yang diperintahkan adalah mengikuti salaf.

Meskipun demikian, saudara kita dari kalangan salafi adalah kelompok yang paling mendekati kebenaran, akan tetapi masalah yang ada pada kelompok tersebut adalah mereka satu sama lain saling memvonis sesat, fasik, dan ahli bid’ah. Kami tidak akan mempermasalahkan hal tersebut jika memang kenyataannya sebagian dari mereka pantas mendapatkan vonis tersebut, akan tetapi yang kami permasalahkan adalah cara penyelesaiannya…”.[12]

Bolehkah kita mengklaim sebagai pengikut salaf?

Setelah kita mengetahui bahwa manhaj salaf adalah satu-satunya manhaj yang benar dalam memahami dan mengamalkan Islam, maka apakah kita diperbolehkan mengklaim sebagai pengikut salaf, sebab seringkali orang yang mengklaim sebagai pengikut salaf tapi tidak kelihhatan nyalaf sedikitpun dalam kesehariannya.

Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada yang perlu dipermasalahkan jika ada orang yang mendemonstrasikan madzhab salaf, mengklaim sebagai pengikut salaf, dan berafiliasi kepada madzhab salaf, bahkan menurut semua ulama, kita harus menerima klaim tersebut. sebab, manhaj salaf pastilah benar. Apabila dia seratus persen, lahir batin sesuai dengan madzhab salaf, maka statusnya seperti orang mukmin yang secara lahir dan batin berada di atas kebenaran. Apabila kesesuaian tersebut hanya pada lahiriyah, bukan batiniyah, maka statusnya seperti orang munafik. Kita terima apa yang kita lihat, dan kita serahkan pada Allah apa yang tidak kita lihat, karena kita tidak pernah diperintahkan untuk melubangi hati dan membelah dada manusia”.[13]

Dari statemen Ibnu Taimiyah di atas dapat disimpulkan bahwa kita diperbolehkan menyatakan diri sebagai pengikut salaf. Akan tetapi, sebagaimana penjelasan sebelumnya, manhaj salaf bukanlah nama kelompok, pergerakan, aliran, maupun jama’ah, akan tetapi manhaj salaf adalah sebuah pedoman asasi dalam memahami dan mengamalkan Islam. Oleh karena itu, karakter pengikut salaf adalah selalu membela kebenaran yang sesuai dengan manhaj salaf, meskipun berada di kelompok lain.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Ahlu Sunnah, kelompok Rasulullah, dan milisi Iman tidak berada dalam barisan kelompok ini dan kelompok itu. Mereka berada dalam barisan kelompok tersebut dalam kebenaran. Setiap kebenaran yang ada di sebuah kelompok selalu mereka dukung, mereka hanya angkat tangan dalam hal kebathilan yang ada di kelompok tersebut. Madzhab mereka adalah menggabungkan kebenaran yang ada di masing-masing kelompok, menyuarakan, dan memperjuangkannya, serta mendukung para anggota kelompok tersebut dari sisi itu. Di sisi lain, mereka juga menolak mentah-mentah kebatilan yang ada di kelompok lain dan berusaha mematahkannya, mereka adalah ibarat hakim pemutus perkara bagi kelompok-kelompok lainnya”.[14]

Meneladani Salaf Dalam Hal Ibadah dan Akhlak

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, salaf adalah teladan yang harus diikuti oleh umat Islam. Tidak ada cara lain untuk memperbaiki kondisi umat Islam hari ini melainkan dengan mengembalikan umat Islam kepada referensi keagamaan tunggal dalam memahami dan mengamalkan Islam, yaitu manhaj salaf. Sisi penting kehidupan salaf yang membentuk peradaban emas tiga generasi umat Islam adalah sisi ibadah. Jika kita perhatikan, salaf adalah kaum yang sangat ikhlash dan ittiba’ (komit dengan syariat) dalam hal ibadah.

Para salaf adalah pribadi-pribadi yang sangat serius dan penuh kesungguhan dalam beribadah. jiwa mereka penuh dengan rasa takut kepada Allah dan raga mereka penuh dengan muraqabah (perasaan selalu merasa diawasi). Karena itu, rasa lelah dan payah saat ibadah benar-benar telah hilang dari diri mereka. Waktu siang mereka habiskan untuk berpuasa dan waktu malam mereka tundukkan dengan ibadah malam. Waktu luang mereka adalah dzikir refreshing mereka adalah jihad.

Demikian juga dalam hal komitmen, salaf adalah generasi yang sangat komit dengan sunnah Rasulullah. Mereka mengatakan, “sederhana tapi nyunnah jauh lebih baik dibandingkan sungguh-sungguh tapi bid’ah.”. Ada juga yang mengatakan: bid’ah jauh lebih disukai iblis dibandingkan maksiat, sebab orang yang bermaksiat masih bisa diharapkan untuk bertaubat, sedangkan pelaku bid’ah tidak bisa diharapkan taubatnya. Oleh karena itu, para salaf sangat menjaga orisinalitas amal mereka, sebab di mata mereka, perusak ibadah ada dua hal; perusak lahiriyah yang berupa bid’ah dan perusak batiniyah yang berupa ujub, takabbur, riya, dan sum’ah.

Seperti itulah gambaran singkat hubungan vertikal mereka dengan Allah. Adapun dari sisi akhlak, salaf adalah para pribadi yang sangat berbakti kepada orang tua, bahkan sekalipun keduanya tidak beragama Islam. Adapun hubungan mereka dengan orang lain, mereka adalah pribadi-pribadi yang sangat menjaga hubungan baik, baik dengan mitra kerja maupun mitra perjuangan.

Salaf sangat menjaga dan berhati-hati dalam masalah hak dan amanah. Kebencian pribadi tidak membuat mereka membabi-buta dan melupakan kebaikan dan hak orang lain, mereka adalah sosok-sosok yang jujur, amanah, dan wara’ dalam hal darah, kehormatan, dan harta. Ketika salah seorang dari mereka berbuat kesalahan, maka para salaf selalu mengedepankan baik sangka, mereka bukan pribadi yang haus harta, darah, dan kehormatan. Di mata mereka dosa sesama makhluk haruslah diselesaikan di dunia, jika tidak, maka masalahnya akan menjadi semakin berat dan rumit di akhirat.

Perbedaan pendapat dalam permasalahan ijtihadi di kalangan salaf sama sekali tidak menyebabkan terjadinya perpecahan. Said Hawa dalam bukunya yang berjudul “Jundullah Tsaqafatan Wa Akhlaaqan” menuturkan, “Ada 360 perbedaan antara Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khaththab dalam permasalahan ijtihadiyah, meski demikian, Umar tetap menjadikan Ali sebagai penasehat khalifah semasa ia menjadi khalifah”. Demikian juga Imam Ahmad dengan Imam Syafi’I, mereka berdua juga memiliki lusinan perbedaan dalam perkara ijtihadiyah, namun alhamdulillah, mereka bisa tepat dalam mendudukkan dan memposisikan diri.

Demikianlah gambaran singkat tentang keindahan kehidupan para salaf, baik dari sisi ibadah maupun akhlak dan mu’amalah. Banyak sekali ulama yang mendokumentasikan pernak-pernik kehidupan mereka dalam tulisan mereka. Ada banyak buku yang bisa kita baca untuk mengetahui secara detil profil-profil mereka, seperti: Shifatu Shafwah, Tahdzib At-Tahdzib, Siyar Al-A’lam An-Nubala, Hayatu Shahabah, Shuwar Min Hayati Shahabah, Shuwar Min Hayati Tabi’in, dan masih banyak lagi yang lainnya. Marilah kita pelajari dan contoh mereka semua. []

 

[1]Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab, 9/159, Ibnu Faaris, Mu’jam Maqayiis Al-Lughah, 3/95, Fairuzabadi, Al-Qomuus Al-Muhiith, hal. 1060, Ar-Raazi, Mukhtaar Ash-Shihhah, hal.264, Qomus Al-Alfaazh wa Al-A’laam Al-Quraniyah, hal. 181, dan Raghib Al-Ashfahani, Al-Mufradat, hal. 339

[2] Abu As-Sa’adaat Ibnu Al-Atsir, An-Nihaayah Fi Gharib Al-Hadits Wa Al-Atsar, 2/390

[3] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh Al-Aql Wa An-Naql, 7/134, As-Safarayini, Lawami’u Al-Anwar Al-Bahiyyah, 1/20, Asy-Syaukani, At-Tuhaf Fi Madzahib As-Salaf, hal.7, dan Al-Julainid dalam Mawqifu Ibn At-Taimiyah Min Qadhiyyati At-Ta’wil, hal. 52

[4] Rasulullah bersabda: “sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya lagi”. (HR. Bukhari no. 3650 dan Muslim no.2533). Lihat: Fathul Baari 7/2 dan Syarh Shahih Muslim 4/1694.

[5] Mahmud Khaffaji, Al-Aqidah As-Islamiyyah Baina As-Salafiyah Wa Al-Mu’tazilah, hal. 21

[6] Manhaj As-Salaf Wa Al-Mutakallimin Fi Muwafaqati Al-Aql Li An-Naql, hal. 39

[7] Ibnu Abi Al-Izz Al-Hanafi, Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 432

[8] Abu Al-Qasim, Ismail bin Muhammad bin Fadhl At-Taimi Al-Ashbahani, Al-Hujjah Fi Bayaani Al-Mahajjah, hal. 112, dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah Al-Kubra, 2/882.

[9] Abu Bakr Al-Ajurri, Asy-Syari’ah, hal. 85

[10] Al-Lalikai, Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah Wa Al-Jama’ah, 1/156.

[11] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud (4607 dan 4609), Ahmad (17144 dan 17145), Ibnu Majah (42), Al-Hakim (329, 332, dan 333), Al-Baihaqi (7110), Ath-Thabrani (15021), Ibnu Hibban (5), Al-Bazzar (4201), dan Ad-Daarimi (95)

[12] Ibnu Utsaimin, Syarh Hadits Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 201

[13] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 4/149

[14] Ibnu Qayyim Al-JauziyahSyifau Al-‘Alil Fi Al-Qodho’ Wa Al-Qodar Wa Al-Hikmah Wa At-Ta’lil

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *