Sabar & Shalat; Bekal Menjalankan Syariat
Serial Tadabbur Ayat “Yâ Ayyuhalladzîna Âmanû” 2
Oleh: Ust. Yazid Abdul Alim, Lc., M.Pd
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al Baqarah: 153)
Setelah Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang beriman untuk menghiasi diri mereka dengan adab yang baik kepada Rasulullah dengan mendengar semua yang disampaikan oleh beliau berupa wahyu yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah serta mentaati dan melaksanakan setiap perintah beliau, Allah perintahkan orang-orang beriman dalam seruan kedua ini untuk menjadikan shalat dan sabar sebagai penolong, karena mentaati Allah dan Rasul-Nya serta menegakkan syariat membutuhkan bekal sabar dan shalat.
Ketika Allah perintahkan kita dengan ista‘inuu yang berarti mintalah pertolongan, dalam Bahasa arab artinya mintalah pertolongan secara terus menerus dan bersungguh-sungguhlah. Karena memang membekali diri dengan sabar dan menegakkan shalat memerlukan kontinuitas dan kesungguhan ekstra. (lihat Syadzal ‘Arfi fi Fann Shorfi, hal. 83).
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, makna sabar secara Bahasa adalah menahan diri. Sedangkan makna secara istilah ialah; “Menahan diri dari melakukan yang Allah haramkan, melaksanakan perintah-Nya dan menahan diri dari mengeluh dan tidak ridha terhadap taqdir Allah”. (Risalah Ibnul Qayyim Ila Ahadi Ikhwanihi, hal. 20).
Adapun shalat, maknanya secara Bahasa adalah doa. Secara istilah bermakna: ucapan dan gerakan-gerakan khusus yang dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Dan diakhir ayat Allah menjanjikan bahwasanya Dia Bersama dengan orang-orang yang bersabar. Dengan demikian ayat ini mengandung kata-kata perintah yang sangat mudah kita fahami artinya.
Dalam surat Al Baqarah, ayat ini terletak diantara ayat ke-150 mengenai perubahan kiblat kaum muslim beserta alasannya dengan ayat ke-177 karena memiliki keterkaitan mengenai arah kiblat dan dalam rangka menghadapi celaan ahlul kitab dikarenakan berubahnya kiblat kaum muslimin dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. (lihat At Tahrir wa At Tanwir libni ‘Asyur, tafsir QS. Al Baqarah: 153)
Allah perintahkan orang-orang beriman untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong dalam rangka menyiapkan mereka menjadi para penolong agama Allah Ta’ala, sebagai bentuk rasa syukur atas berbagai macam nikmat besar yang Allah karuniakan dalam ayat ke 143 hingga ayat ke 151. Nikmat-nikmat tersebut ialah;
Pertama: Allah jadikan ummat ini sebagai ummatan wasathan, yaitu umat pilihan, pertengahan.
Dalam beriman kepada para Nabi, tidak mengkultuskan seperti Nashrani dan tidak juga memusuhi seperti Yahudi. Pertengahan dalam syariat, tidak memberatkan karena pembangkangan Yahudi dan tidak juga meremehkan seperti Nashrani. Dalam bab thaharah dan makanan, tidak seperti Yahudi dimana sholat mereka tidak sah kecuali dalam rumah ibadah mereka, air tidak menyucikan dari najis, diharamkan atas mereka makanan yang baik-baik sebagai hukuman atas pembangkangan mereka, tidak juga seperti Nashrani yang tidak mengganggap najis dan tidak mengharamkan yang jelas-jelas haram dan buruk; mereka menghalalkan segala sesuatu.
Sedangkan Thaharah kaum muslimin lebih sempurna, Allah halalkan bagi mereka makanan, minuman dan pakaian yang baik-baik demikian halnya dalam pernikahan dan Allah haramkan atas mereka semua yang buruk. Maka umat ini lebih sempurna dalam agama, lebih mulia dalam akhlak dan amal perbuatan.
Kedua: Menjadi saksi atas seluruh manusia, karena keadilan dan ilmu yang dimiliki oleh umat ini.
Ketiga: dirubahnya kiblat ke tempat yang paling mulia di muka bumi yaitu Ka’bah al Musyarrafah.
Keempat: Allah nyatakan mereka di atas kebenaran, maka Allah perintahkan untuk tidak takut kepada orang-orang zhalim serta tidak menganggap mereka hebat (baca; merendahkan mereka).
Kelima: Allah sempurnakan nikmat kepada umat ini dan mengutus nabi dari kalangan mereka sendiri.
Keenam: Allah berikan mereka hidayah untuk bersyukur dan dzikir mengingat-Nya. (Lihat At Tahrir wa At Tanwir dan Tafsir Assa’di pada tafsir QS. Al Baqarah: 153)
Keseluruhan nikmat yang Allah karuniakan di atas, menjadikan umat ini umat paling istimewa, memiliki karakteristik khusus, umat yang berbeda dari umat lainnya di muka bumi. Maka perintah pertama setelahnya adalah membekali diri dengan sabar dan shalat untuk mempersiapkan umat ini sanggup memikul ibadah yang berat, amal-amal besar, menjadikan mereka sukarela mengorbankan semua yang dimiliki untuk tersebarnya dakwah Islam dan menjadikan umat ini siap menanggung beban berat dan resiko-resiko berjihad fi sabilillah, berkurangnya harta benda, diliputi rasa takut oleh ancaman musuh bahkan kehilangan nyawa dengan mempersembahkan para syuhada sebagaimana Allah sebutkan dalam ayat selanjutnya yaitu ayat 154-157 dengan menggunakan fi’il mudhari’ (kata kerja sekarang dan akan datang), yang mengisyaratkan akan terjadinya ujian-ujian berat di kemudian hari.
Dengan sabar dan shalat, umat ini dipersiapkan demi tegaknya agama Allah di muka bumi. Dan peperangan pertama yang mereka hadapi adalah perang Badar Al Kubro, perang penentuan, kekuatan yang tidak seimbang melawan musuh berkekuatan tiga kali lipat pasukan dan Allahpun memenangkan Nabi dan para shahabat dengan kemenangan gemilang. (lihat At Tahrir wa At Tanwir dan Fi Zhilalil Quran)
Al Qur’an banyak sekali menyebutkan sabar, orang-orang yang bersabar dan keutamaan sabar, diantaranya firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (QS. Az-Zumar: 10).
Hal itu menandakan panjangnya perjalanan dan beratnya beban yang harus dipikul untuk istiqamah di atas jalan yang haq. Semua ujian yang akan dihadapi umat ini memerlukan kesabaran ekstra, sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam melaksanakan ketaatan, meninggalkan perbuatan maksiat.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya, sabar dalam meninggalkan maksiat lebih banyak pahalanya karena itu maksud dari perintah sabar.
Bahkan Imam Al Qurthubi di dalam tafsirnya menegaskan, bahwa orang yang bersabar meninggalkan perbuatan maksiat sesungguhnya orang tersebut telah bersabar di atas ketaatan. Kesabaran juga mutlak diperlukan dalam memerangi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, menghadapi berbagai macam tipu daya musuh, bersabar atas terlambatnya pertolongan Allah, panjangnya jalan perjuangan, berkuasanya kebatilan, sedikitnya orang yang mendukung perjuangan dan sulitnya mengendalikan jiwa yang lebih menyukai kenyamanan.
Nabipun banyak mengajarkan para shahabatnya bagaimana bersabar, seperti kejadian yang diceritakan oleh shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Aku melihat seakan Nabi mengisahkan salah seorang diantara para Nabi, padahal ketika itu kaumnya telah memukulnya hingga berdarah, sembari mengusap darah yang mengucur dari wajahnya beliau berdoa: “Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka orang-orang yang tidak mengetahui”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Terkadang jalan kebenaran terasa sangat panjang, beban yang harus dipikul terasa sangat berat, akibatnya kesabaranpun melemah atau bahkan hilang jika tidak ada tambahan bekal yang menguatkan. Disinilah hikmahnya kenapa Allah menyertakan shalat dengan sabar.
Shalat adalah tiangnya agama, cahaya bagi orang-orang beriman, sebagai hubungan kedekatan seorang hamba dengan Rabbnya. Dengan shalat, hati menjadi terang, menguatkan ruhiyah, kesedihanpun berganti kebahagiaan dan harapan.
Shahabat Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- apabila menghadapi suatu urusan, beliau bersegera melaksanakan shalat”. (Shahih Sunan Abu Daud – Syaikh Al Albani).
Itulah Rasulullah, beliau bersegera melaksanakan shalat, menyandarkan semua urusannya kepada Allah Ta’ala, baik shalat fardhu ketika masuk waktunya maupun shalat sunnah.
Tatkala seorang muslim memperbaiki kualitas shalatnya; dia sempurnakan syarat dan rukunnya, tidak tertinggal pula amalan-amalan sunnah dalam shalatnya, hatinya hadir dan tidak lengah, dia merasa sedang berdiri di hadapan Allah, memahami apa yang diucapkan dalam shalatnya, larut dalam bermunajat kepada Sang Khaliq, tidak diragukan bahwa shalatnya menjadi sebaik-baik penolong baginya, kesabaranpun kembali prima dan shalatnya dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar.
Tidak hanya kesabaran prima yang diraih, namun kesabaran yang disertai dengan senyum ridha akan ketentuan Allah, ketenangan dan keyakinan akan janji kemenangan. Karena Allah bersama orang-orang yang bersabar; dengan kecintaan dan kedekatan-Nya serta pertolongan-Nya kepada mereka, yang merubah kesulitan menjadi kemudahan.
Hanya dengan menegakan sabar dan shalatlah umat ini meraih kemenangan dan kepemimpinan, sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tegaskan: “Dengan sabar dan yakin, kepemimpinan dalam agama dapat diraih.” wallahu a’lam.