Riba Perusak Transaksi

Ketetapan hukum mubah suatu praktik muamalah tidaklah berlaku mutlak. Hendaknya muamalah yang dilakukan terhindar dari beberapa faktor yang dapat merusak transaksi. Faktor-faktor tersebut adalah riba, gharar dan kezhaliman. Berikut kami paparkan beberapa hal terkait riba.

Riba itu Haram

Riba secara etimologi berarti tambahan. Abdul Azhim Badawi menyebutkan bahwa riba pada asalnya berarti tambahan, baik berupa tambahan pada objeknya sendiri atau tambahan (di luar objek) sebagai ganti terhadap objek tersebut. Sedangkan secara terminologi riba adalah tambahan pada sesuatu yang khusus. (al-Wajiz fi al-Fiqh as-Sunah, 346).

Keharaman riba dapat dikatakan merupakan suatu aksioma. Dalam Islam, keharamannya ditetapkan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, di antaranya yang tertera dalam surat al-Baqarah ayat: 275 yang artinya, “Dan Allah telah mengharamkan riba.” Dan juga ayat-ayat lain yang jumlahnya tidak sedikit. Sedangkan dalam as-Sunnah di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka itu semuanya sama.” (HR.Bukhari, 5962 dan Muslim, 1598).

Umat Islam juga telah berijma’ tentang keharaman riba, dan ia termasuk dosa besar. Riba merupakan kezhaliman yang besar, jika diqiyaskan dengan syariat yang menjadikan keadilan sebagai prinsipnya, maka tentunya kezhaliman itu haram hukumnya. (Taudhih al-Ahkam, 4/367).

Bahkan keharaman riba ditetapkan juga oleh seluruh agama samawi selain Islam dan dilarang keras dalam ajaran Yahudi dan Nasrani. Disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika engkau meminjamkan harta kepada salah seorang dari kalangan bangsaku, janganlah engkau bersikap seperti rentenir dan janganlah engkau mengambil keuntungan dari piutangmu”. disebutkan juga dalam Perjanjian Baru, “Jika kalian memberikan pinjaman kepada orang yang kalian harapkan imbalan darinya, maka keutamaan apakah yang akan kalian peroleh? Lakukanlah kebajikan dan berilah pinjaman tanpa mengharapkan adanya imbalan.” (Fiqhus Sunah, 3/123).

Macam-Macam Riba

Ada 3 macam bentuk riba. Pertama riba fadhl, yaitu Riba yang terjadi dengan adanya kelebihan pada salah satu objek transaksi tukar-menukar pada objek yang jenisnya sama, meskipun berbeda macamnya. Contohnya adalah pertukaran antara beras c4 1 kg dengan beras raja lele 1,5 kg. Meskipun kedua beras tersebut berbeda macamnya, jika ada kelebihan pada salah satunya maka terjatuh kedalam riba fadhl.

Kedua riba nasiah, yaitu riba yang terjadi disebabkan adanya penangguhan dalam penyerahan barang, meskipun jenisnya berbeda. Seperti halnya emas dengan perak. Meskipun jenisnya berbeda jika ada penangguhan salah satu dari keduanya, maka terjatuh dalam riba nasiah.

Ketiga riba qurudh, yaitu riba yang terjadi pada transaksi qardh (pinjam-meminjam/permodalan), dengan mensyaratkan adanya keuntungan atau manfaat tambahan sebagai timbal balik dari objek yang dipinjamkan. Misalkan seseorang meminjamkan uang dengan syarat adanya tambahan nominal saat pengembalian. (Taudhih al-Ahkam, 3/468-467).

Ketiga bentuk riba tersebut terjadi pada enam macam komoditi ribawi, sebagaimana tertera dalam hadits Rasul:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ، أَوِ اسْتَزَادَ، فَقَدْ أَرْبَى، الْآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim, 1584 dan Ahmad, 11484).

Dari hadits di atas, ada beberapa point penting yang dapat kita ambil. Pertama, pada pertukaran barang sejenis seperti emas dengan emas, ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu: tunai dan semisal dalam takaran atau timbangan. Kedua, pertukaran barang beda jenis dengan ‘illat (kelompok) yang sama seperti emas dengan perak, ada satu syarat yang harus dipenuhi yaitu: tunai, walau dalam takaran atau timbangan salah satunya berlebih. Ketiga, bahwa hanya enam jenis komoditi ribawiyah inilah yang disebutkan dalam nash, sementara selainnya diqiyaskan kepadanya. (Taudhih al-Ahkam, 4/386).

Terkait dengan qiyas para ulama terhadap barang ribawi yang tidak disebutkan dalam nash, mereka berselisih mengenai ‘illat atau sebab mengapa barang tersebut digolongkan sebagai barang ribawi. Dalam hal ini Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan menjadi tiga kelompok besar. Pertama, Hanafiyah dan Hanabilah, illat pada enam komoditi ribawi adalah sebagai barang yang ditimbang, ditakar, dan karena kesamaan jenis. Sedangkan kelompok kedua adalah Malikiyah, illat pada emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar secara umum atau sebagai barang berharga untuk alat tukar. Sedangkan empat komoditi lainnya karena sebagai makanan pokok yang dapat disimpan. Ketiga, Syafi’iyah, illat pada empat komoditi dan semisalnya yaitu karena sebagai makanan, baik berupa makanan pokok, buah-buahan dan obat-obatan, Sedangkan untuk emas dan perak dan semisalnya karena keduanya sebagai alat tukar atau sebagai barang berharga untuk alat tukar. (al-Wajiz fi al-Fiqh al-Islami, 2/98-100)

Selanjutnya para ulama bersepakat bahwa illat pada empat komoditi adalah sebagai makanan pokok yang dapat ditakar atau ditimbang. Sedangkan pada emas dan perak adalah sebagai alat tukar secara mutlak. Sehingga semisal emas dan perak karena memiliki illat yang sama adalah mata uang logam atau pun kertas. Sehingga pada makanan yang tidak ditakar atau ditimbang dan tidak sejenis, tidak berlaku riba. (ar-riba wa Adraruhu, 25-26).

Bahaya Riba

Said al-Qahthani menjelaskan bahwa riba memiliki bahaya dan dampak yang sangat merugikan. Sebab Islam tidak akan melarang sesuatu melainkan sesuatu tersebut mengandung kerusakan dan berbagai keburukan di dunia dan akhirat. Ada beberapa dampak negatif yang ditimbulkan riba. Secara akhlak dan kejiwaan mereka yang berinteraksi dengan riba adalah individu yang secara alami memiliki sifat kikir, berhati keras, tamak akan harta dan kemewahan dunia serta sifat-sifat hina lainnya. Dalam masyarakat dan perekonomian, riba membentuk masyarakatnya menjadi miskin dan tidak memiliki rasa simpatik. Mereka tidak akan saling membantu kecuali ada keinginan yang tersembunyi di balik bantuan yang mereka berikan. Masyarakat seperti ini tidak akan pernah merasakan kesejahteraan dan ketenangan. Dan perilaku riba mengarahkan ekonomi ke arah yang menyimpang dan hal tersebut mengakibatkan ishraf (pemborosan). (ar-riba wa Adraruhu, 71 dan 73)

sumber: majalah hujjah

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *