Riba dalam pandangan Yahudi
Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana dan Maha Adil, Dia-lah yang telah mengharamkan kedzoliman atas diri-Nya dan menjadikannya perkara yang haram juga di antara para hamba-Nya. Oleh sebab itulah, seluruh syari’at-Nya terbangun di atas kebijaksanaan dan maslahat yang melimpah. Semuanya kembali untuk kemanusiaan dengan kebaikan dan kebahagiaan di waktu sekarang dan nanti dalam kehidupan mereka dan tempat kembali mereka, dunia dan akhirat. Meskipun manusia mengetahui tentang hikmah ini ataupun tidak, hikmah ini akan tetap ada dan tidak mustahil. Seluruh kebijaksanaan-Nya meliputi keadilan, kasih sayang dan hikmah.
Orang yang mengamati hukum-hukum Allah dan apa saja yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan pandangan yang terang dan mendalam akan Nampak untuknya hikmah-hikmah dari setiap hukum dan akan terbuka seluruh rahasia-rahasia tasyri’. Bukan menjadi hal yang mengherankan, sesungguhnya hukum-hukum syariat ini datang dari Dzat Yang Maha Bijaksana yang tidak terpikirkan dari-Nya kedzoliman. Karena setiap perkara yang keluar dari keadilan pasti berujung pada kedzoliman, dan setiap perkara yang keluar dari rasa kasih sayang pasti berujung pada lawan katanya dan tentulah bukan bagian dari syari’at meskipun dimasukkan ke dalamnya takwil.
Allah –Subhanahu wa t’ala- menghendaki manusia dengan segala keragaman bahasa dan warna kulit mereka diciptakan dari satu jiwa; yaitu Adam –‘alihis salam-, dan semuanya diciptakan oleh Allah agar saling mencintai dan mengikatkan di antara mereka ikatan kecintaan dan kesetiaan agar setiap individu menyadari kewajiban-kewajibannya terhadapa saudaranya dan mengendalikan sikap tamak dan menghilangkan egoisme.
Ketika riba telah menjadi perbuatan dzolim yang paling buruk maka Allah mengharamkannya dalam seluruh syariatnya Dia pun juga mengharamkan riba kepada Bani Isroil. Telah termaktub dalam “perjanjian lama” yang ada di tengah-tengah kita : “apabila engkau menghutangkan harta kepada anak-anak bangsaku maka janganlah engkau menjadikan dirimu darinya seperti pemberi hutang dan janganlah engkau mengambil keuntungan untuk hartamu”. [25 dari pasal 22 dari kitab keluar]. Di tempat lain disebutkan pula: “Apabila saudaramu dalam kefakiran maka bantulah dia dan janganlah meminta darinya keuntungan ataupun manfaat”. [35 pasal 25 dari kitab Lawyen]. Dan dalam kitab “Tastniyah”: revisi ke 23 yang dinisbahkan kepada Musa: “Janganlah engkau meminjamkan harta kepada saudaramu dengan riba, riba perak, riba makanan dan riba dari apa pun yang kau pinjamkan –dan di dalamnya- bagi orang asing maka engkau boleh meminjamkannya dengan riba akan tetapi jangan kau lakukan untuk saudaramu agar tuhanmu yang senantiasa engkau menengadahkan tanganmu kepadanya selalu memberkahimu”. Hal ini menunjukkan bahwa bolehnya bagi mereka untuk mengambil riba dari orang asing secara terang-terangan. Sementara Islam memandang nash tersebut mengalami penyimpangan. Dasar dari pemikiran ini adalah pandangan orang-orang yahudi terhadap bangsa lain bahwa selain mereka adalah bukan satu jenis dengan mereka dan bangsa lain bukan semakhluq dengan mereka, mereka pun berkata : “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya” [QS. Al Maidah : 18]
Riba dalam pandangan Nashrani
Sesungguhnya agama Masihiyyah mengharamkan riba bukan hanya dari kalangan nashrani saja akan tetapi juga datang pengharaman dari selain mereka, gereja-gereja mereka telah sepakat dan tidak ada perbedaan antara gereja satu dengan yang lainnya. Dalam perjanjian baru dikatakan : “Apabila kalian meminjamkan harta kepada orang-orang yang kalian harapkan penghasilan maka kemuliaan apa yang akan dikenal bagi kalian ?!.. akan tetapi lakukanlah kebaikan dan berikanlah pinjaman tanpa mengharap kembalinya… niscaya pahala bagi kalian akan melimpah”. [34, 35 dari pasal ke-6 Injil Lukas].
Telah sepakat seluruh pendeta dan ketua-ketua gereja bahwa ajaran ini bersumber dari al Masih Isa –‘alaihis salam- dan pengharaman ini dianggap sebagai keputusan final terkait transaksi dengan riba. Hingga para bapa-bapa Yasu’i yang seringnya lebih condong kepada kebebasan dan lebih permisif dalam tuntutan hidup juga memberikan pernyataan tegas tentang riba, di antaranya adalah perkataan Scobar ; “sesungguhnya orang yang berkata riba bukanlah kemaksiatan adalah bentuk pengingkaran terhadap agama”. Bapa Buni juga berkata : “Sesungguhnya orang-orang yang melakukan transaksi riba telah kehilangan kemuliaan mereka dalam kehidupa di dunia, dan mereka tidak berhak untuk dikafani setelah kematian mereka”. [lihat: Dirosat Islamiyyah fi al ‘Ilaqot al ijtima’iyyah wa al dauliyah, oleh Syaikh Muhammad Abdullah Daroz, hal 151].
Martin Luther sang reformis agama nashrani menegaskan pengharaman riba ini dalam tulisannya berjudul “Perniagaan dan Riba”, dia mengharamkan banyak transaksi haram yang mengandung riba seperti yang diharamkan dalam Islam seperti jual beli najasy (=tambahan harga dalam jual beli yang tidak diingankan untuk membelinya melainkan hanya sebagai tipuan untuk lainnya agar membelinya dengan harga lebih mahal darinya). Dirinya pun juga mengharamkan transaksi lain yang dibolehkan dalam Islam seperti jual-beli Salam (jual beli denga barang yang telah disepakati sifatnya dan dibayar dengan pembayaran di depan), hal tersebut seperti yang dia sebutkan sendiri dalam tulisannya ; “Sesungguhnya di sana ada manusia yang tidak lagi peduli dengan hati nuraninya, mereka menjual barang dagangan mereka dengan cara penangguhan pembayaran disertai harga yang tinggi di atas harga yang dijual dengan kontan, bahkan ada juga manusia yang tidak suka transaksi kontan mereka lebih suka menjual barang dagangannya dengan penangguhan waktu”. Kemudian dia berkata : “Sesungguhnya perilaku jual beli seperti ini menyelisihi perintah Allah dan akal yang benar”. Dia berkata juga : “sesungguhnya di antara upaya berkilah untuk melariskan riba atas nama perniagaan adalah dijualnya suatu barang dalam tempo tertentu sementara sang penjual mengetahui bahwa pembelinya akan menjual barang tersebut dalam tempo ini dengan harga yang lebih murah sedikit dari harga sebelumnya, untuk menutup hutangnya dan membelinya dengan harga yang dia terpaksa membelinya”.
Dari sini kita dapatkan bahwa Martin Luther telah mengharamkan banyak ragam dari perniagaan yang dibolehkan dalam Islam, dia menganggap bahwa itu semua bagian dari riba. Dia pun menganggap segala keuntungan berapa pun besarnya adalah perkara haram.
Dalam masalah ini, dia berkata : “terdapat juga jenis transaksi yang sering terjadi di antara perusahan-perusahaan, yaitu seseorang menitipkan beberapa hartanya kepada seorang pengusaha sebesar 1.000 keping emas misalnya. Kemudian sang pengusaha tadi menunaikan 100 atau 200 pada setiap tahunnya baik dalam kondisi untung atau rugi. Dan dia membolehkan akad ini sebagai transaksi yang memberikan manfaat kepada sang pengusaha, karena tanpa dana pinjaman tersebut sang pengusaha masih menganggur tanpa pekerjaan, dan juga memberikan manfaat kepada pemilik modal, karena tanpa dana pinjaman ini hartanya menjadi tidak produktif…”.
Dari sini kita bisa mengetahui seberapa jauh pemahaman agama masihi/nasrani tentang riba. Dan bahwasanya islam bukanlah mengadakan sesuatu yang baru dalam pengharaman riba. Sesunguhnya Islam datang dalam rangka menyempurnakan dari kedua syariat ini (yahudi dan nasrani). Islam datang dengan membawa sesuatu yang lebih bijak dan adil dari setiap syari’at [lihat: haqoiqul Islam, Ustadz ‘Abbas al ‘Aqqod, hal 172 dan sesudahnya].
Pandangan agama tentang pengharaman riba ini telah ditetapkan dalam undang-undang sipil Eropa di tahun 789 M “tertulis x Lasyabil”. Dan pandangan ini terus berlangsung di Eropa sampai pada abad-abad pertengahan [lihat: Dirosaat Islamiyyah fi al ‘ilqoot al ijtima’iyyah wa al duwaliyah, hal 151 dan seterusnya].
Riba dalam pandangan filosof
Para pemikir tidak jauh pandangannya tentang riba dari syariat-syariat samawi. Terdapat pula beberapa pemikir yag mengetahui riba dari kerusakan-kerusakannya da bahaya-bahayanya yang menimpa individu dan masyarakat, mereka pun mengecam para praktisi riba dan menilai pekerjaannya sebagai profesi yang tidak sesuai tabiat manusia dan cara yang buruk. Berikut ini adalah pernyataan dari sebgaian mereka sebagai bukti atas seruan mereka.
Di antara mereka adalah Solon yang meletakkan peraturan perundangan lama, dirinya pun telah melarang riba. Begitu pula Aflaton yang berkata dalam bukunya “al Qonun” : “tidak halal bag seseorang untuk meminjamkan uang dengan riba”.[1]
*Sikap Aristo
Aristo menganggap bunga hutang berapapun besarnya adalah penghasilan yang tidak sesuai tabiat manusia. Karena penunaiannya dengan uang sejenisnya menjadi hasil yang didapatkan tanpa keikutsertaan pemiliknya dalam sebuah pekerjaan atau resiko usaha. Dalam hal ini dia pernah berkata dengan perkataaannya yang terkenal : “sesungguhnya uang tidak bisa melahirkan uang”. Yakni uang tidak selayaknya dijadkan sebagai komoditi yang diperjualbelikan dengan semisalnya sementara dibelakang itu diniatkan sebagai usaha. Karena uang tersebut menjadi alat ukur untuk nilai suatu barang. Dan alat ukur tidak bisa dijadikan komoditi yang diperjualbelikan yang seharusnya memiliki sifat yang konstan dan tidak berubah.
Aristo membagi metode usaha perniagaan dalam tiga bagian:
Pertama: transaksi alami ; yaitu tukar menukar kebutuhan hidup dengan kebutuhan hidup lainnya seperti tukar menukar baju dengan makanan. Inilah yang disebut dengan barter (=muqoyadloh). Metode ini merupakan metode lama sebelum menyebarnya bentuk-bentuk transaksi dan sebelum dijadikannya uang sebagai ukuran alat tukar yang terukur.
Kedua: tukar menukar kebutuhan hidup dengan uang, seperti menukar pakaian dengan beberapa dirham atau dinar. Ini adalah metode yang melekat pada kebudayaan manusia modern, tentu saja perkara ini tidak ada masalah.
Ketiga: transaksi yang tidak alami; yaitu menjadikan uang sebagai komoditi yang diperjualbelikan sebagai bentuk usaha. Tentu saja hal ini keluar dari tujuan dan menjadikan perniagaan sebagai percobaan di luar dari maslahatnya.
Seorang filosof Toma al Akweni melandaskan argument orang0orang nasrani dalam abad-abad pertengahan pada pendapat Aristo dalam masalah uang dan dirinya mewajibkan haramnya riba dari prespektif filsafat.
Kemudian para filosof nasrani mewarisi pemikiran Aristo dan Toma al Akweni dalam masalah uang yaitu agar tidak menjadikannya sebagai obyek perniagaan, David Hyem mengatakan: “sesungguhnya uang bukanlah benda yang diperjualbelikan akan tetapi uang adalah alat, dan ia bukanlah mesin-mesin perniagaan akan tetapi menjadi minyak pelicin yang melancarkan peredarannya”.[2]
Diterjemahkan dari kitab Al Riba wa al Mu’âmalât al Mashrifiyyah, Prof. DR. Umar bin Abdul ‘Aziz al Matrok (wafat 1405 H), Riyadh: Dâr al ‘Āshimah, cetakan ke-3 tahun 1418 H, hal 13 – 18
Penerjemah : Oleh: Abu Athif, Lc –غفر الله له ولواديه-
[1] Lihat “Buhuts fi al Riba” hal 12
[2] Lihat: haqoiqul Islam wa abaathil khushumihi, hal 117 dan ssudahnya, lihal pula Buhuts fi al Riba oleh Abu Zahroh hal 12 dan sesudahnya