Realitas Pemikir Umat

Khatib jumat setengah umur itu mengucapkan syukur kepada Allah, shalawat dan berwasiat taqwa. Kemudian membaca dua ayat Ash-Shaff: 10-11.

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Kemudian beliau memaparkan bahwa yang dimaksud dengan jihad bukanlah berperang dengan pedang dan senjata, tetapi bersikap serius di dalam mendakwahkan Islam, menuntut ilmu dan membangun. Semua itu harus dengan pengorbanan harta.

Tak ada keterangan lain bagi para jamaah yang mayoritas mahasiswa itu, tentang makna jihad secara etimologi dan makna yang mana yang dimaksud dengan jihad di dalam ayat itu.

Secara keseluruhan, khatib benar-benar menegasikan makna jihad secara syar’i yakni jihad dalam pengertian berperang menghadapi orang-orang kafir dengan mengorbankan harta dan jiwa di jalan Allah. Dan tanpa argumentasi apapun, memutlakkan arti jihad dalam ayat itu kepada makna bahasa, yakni bersungguh-sungguh.

Unikya, ayat yang dibaca dalam shalat jum’at adalah rangkaian ayat di surat Al-Baqarah 153-157 yang pada ayat  154 bermakna:

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”

Ayat yang tidak diragukan lagi menjelaskan tentang keadaan orang yang gugur syahid dalam perang membela dien Allah di sisi-Nya, bahwa mereka tidaklah mati, meski secara dhahir mereka mati tetapi sesungguhnya tetap hidup dan mendapatkan rizki dari Allah tanpa putus.

 

Da’i Yang Kian Langka

Mencari jejak orang yang berbicara tentang dien Alah ini dengan jujur, berdasarkan ilmu, memiliki keberanian untuk menyampaikan secara benar sebagai tuntutan kejujuran intelektual, pada persoalan ayat-ayat yang sensitif seperti ini, sungguh langka. Apalagi dilandasi pengenalan terhadap manhaj talaqqi (urutan berpikir dalam memahami dien Allah) secara baik, lebih langka lagi.

Tak harus berapi-api, meskipun berbicara jihad, yang penting jujur dan memenuhi tuntutan pertanggung jawaban ilmiah dalam Islam.

Penulis yakin bahwa tidak ada maksud dari khatib tersebut untuk secara sengaja mengkorup keterangan  ayat yang mulia itu. Ketulusan roman mukanya mengisyaratkan hal itu, namun tetaplah Allah yang Maha Tahu. Keadaannya, mungkin lebih dekat kepada ungkapan faqid asy-syai’ laa yu’thiih (Orang yang tidak punya tak mungkin memberi). Atau pribadi tulus yang termakan kampanye de-Islamisasi media massa.

 

Banyak Penceramah, Sedikit Yang Faqih

Mencari sosok alim rabbaniy, orang yang berilmu yang mempertanggungjawabkan ilmunya kepada Allah, selalu mengajarkan ilmunya, tak lelah terus mendalami, tanpa merasa telah cukup atau merasa telah sampai, sangat sedikit. Sementara betapa banyak hari ini orang tampil berbicara mendakwahkan Islam kepada manusia tanpa memiliki bekal minimal, apalagi kompetensi. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menjelaskan akan datangnya suatu masa dimana merebak jumlah penceramah namun sedikit fuqoha’ (orang yang benar-benar paham agama).

“Kalian berada di satu zaman: shalat dipanjangkan sedangkan khutbah pendek, banyak ulama di tengah-tengah kalian sedang penceramah sedikit. Akan datang suatu zaman nanti: shalat dipendekkan sebaliknya khutbah justru panjang (bertele-tele), tukang khutbah banyak tetapi sedikit orang alim.” (HR. Ath-Thabrani)

 

Keadaan Bertingkat Yang Dihadapi Umat

Ada beberapa keadaan menyedihkan yang melanda umat hari ini. Pertama seperti telah dijelaskan dengan ilustrasi kejadian faktual yang kita temukan hampir di setiap tempat di kurun ini, orang berbicara agama tanpa memiliki kapatistas dan tidak menyadari bahwa dirinya tidak punya kapasitas. Jika dia menyadari, tidak ada alternatif orang lain yang lebih berilmu di tempat itu.

Keadaan kedua, adanya pribadi ahli ibadah (menurut persepsi manusia pada umumnya), yang sejatinya tidak mengerti tentang dinullah kecuali sedikit dalam masalah-masalah ibadah mahdhoh, kadang terbatas seputar masalah wirid yang ditekuninya, sedang di dalam persoalan hukum dan masalah-masalah yang mendalam mengenai persoalan agama tidak mengerti. Tampilan keshalihan dhahir yang diperagakannya memukau manusia. Karena itu, dia dimanfaatkan oleh pihak yang ingin mempengaruhi masyarakat awal umat Islam, sedang diri orang itu tidak menyadari kapasitas ilmunya yang begitu terbatas.

Keadaan yang lebih buruk, adanya pihak yang mempelajari agama dan mengajarkannya , namun menimba  dari sumber pengambilan yang tercemar mental pecundang, menerima kenyatan Islam yang kalah dan menyerah kapada kekalahan itu. Mereka menjelaskan Islam dengan tafsiran ketidakberdayaan seperti keinginan pihak yang menang. Kelompok ini diwakili oleh komunitas yang meng-klaim sebagai Islam liberal dan setiap kelompok yang mengikuti jalan pikiran mereka.

Keadaan paling buruk seperti yang diberitakan oleh Allah dalam ayat-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka!.” (QS. Al-Baqarah: 174-175)

Sosok pribadi yang memiliki tashawwur yang benar tentang Islam, tetapi berubah kecenderungannya terhadap dunia sehingga mencampakkan akherat dan keridhaan-Nya di belakang punggung.

Perubahan kultur di tengah masyarakat, dimulai dari perubahan mindset secara massal, dilanjutkan dengan perubahan sikap dan tindakan secara sengaja, dikawal dengan peraturan dan dengan pengawasan dalam waktu yang cukup, sehingga internalized (melembaga). Jika proses ini berhasil, terbentuklah kultur baru.

Dakwah Islam akan menjanjikan perubahan sikap dan tindakan di tengah masyarakat umat Islam jika proses seperti di atas berjalan  secara terkawal dan ter-manage. Keprihatinan kita karena jumlah da’i yang menjadi agen perubahan dari mindset masyarakat begitu langka dan terbatas. Ini merupakan ladang amal yang luas dan menantang bagi mereka yang berorientasi hidup akhirat. Wallahulmusta’an.

sumber: Majalah arrisalah edisi 121 hal. 33

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *